Mohon tunggu...
Bambang Pribadi
Bambang Pribadi Mohon Tunggu... profesional -

B. Pribadi (Bambang Pribadi) sering dipanggil BP saja, pernah belajar ilmu kehutanan dan ekonomi, selain sebagai penulis dan editor, ia juga pelukis, perancang grafis, karikaturis, ilustrator, pernah menjadi dalang wayang kulit gagrak Ngayogyakarta…. www.bambangpribadi.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sketsa #27 Membaca Sejarah

30 Mei 2010   11:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:52 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa Tuhan tak menyertakan kemajuan teknologi sejak awal manusia diciptakan? Sehingga sejarah masa lampau hanya bisa dibaca, tidak bisa dilihat ulang apalagi didengar? Andai saja nenek moyang kita seorang fotografer, betapa kita merasa sangat beruntung bisa melihat-lihat sekumpulan album warna-warni sejarah. Apalagi jika mereka adalah kamerawan tentu kita bisa memutar ulang film-film dokumenter yang mendentumkan juga suara-suara nenek moyang kita. Mengapa sebagian sejarah hanya bisa dibaca dan dengan demikian dikira-kira?

Itulah sebagian kecil isi kepala Darmo yang ditumpahkannya ketika kami bermain-main di tepi blumbang kecil di bawah pohon-pohon gayam yang rindang. Jika Darmo sudah meletakkan pantatnya di sebuah batu di dekat akar-akar pohon gayam itu, tak ada teman-teman lain yang sudi menemaninya. Teman-teman kami lebih suka bermain air di pancuran dan kemudian menghambur ke sawah berburu burung blekok. Tak ada teman lain yang bersedia mendengarkan pikiran-pikiran absurd Darmo. Bahkan, sepasang burung srigunting lebih suka berdiskusi sendiri dan segera menjauhkan diri ke ranting gayam paling ujung. Jika sudah demikian, aku adalah satu-satunya teman yang merasa ingin mendengarkannya. Bila Darmo sudah bosan mengoceh, ia mengambil potongan koran dan membacanya dengan tekun dan tak mau diganggu. Kukira membaca potongan koran bagi Darmo adalah membaca potongan sejarah. Tak mau mengganggunya, aku lalu lari menyusul teman-teman lain menghalau burung-burung emprit di sawah.

Baiklah kuceritakan tentang Darmo. Sedikit demi sedikit. Sebab anak muda ini sepupuku, selalu menjadi karibku, bertalenta sebagai pemikir ulung. Isi kepalanya penuh dengan percikan menyala-nyala. Di desa kami Darmo seperti tanaman langka yang tumbuh rimbun dengan daun-daun pengharapannya sendiri. Sebab, harapan dan juga impian adalah kata-kata yang paling tidak populer di desa kami. Tanah kami adalah tanah gersang biji-biji impian.

Sewaktu SD dulu aku dan Darmo sangat jago sepakbola. Darmo adalah striker paling tajam desa kami. Seandainya ia terlahir di belantara Amazon, saat beranjak dewasa mungkin ia akan serupa Ronaldo, atau setidak-tidaknya Ronaldinho. Akan tetapi asupan gizi tentulah biang keladi yang tak memungkinkan kami bisa menjulangkan badan secara maksimal. Kami cenderung bertubuh pendek kebanyakan. Maka, karena tubuhnya pendek, rambutnya tak panjang, lagi pula warna kulitnya cenderung hitam, kami menyebut Darmo sebagai si Pekat alias Pele Khatulistiwa. Tak ada pertandingan tanpa buah gol dari kedua kakinya. Di bawah pengaruh kakinya, bola selalu terbuai-buai manja, sangat jinak, dan setia bukan main. Tak ada satu pun pemain belakang lawan yang mampu mencuri kesetiaan bola dari kakinya.

Jika kedua kaki Darmo adalah magnet bagi bola, bagiku magnet itu terletak di kedua tanganku. Sebab, akulah kiper piawai segala musim. Dengan kaos tangan yang sering dipakai peronda siskamling, segala jenis bola takluk di tanganku. Bola kering musim kemarau maupun bola basah musim penghujan, aku sudah hafal cara bola-bola itu meluncur ke arah gawang. Aku pandai meramal arah bola. Menyadari bakat itu, kami berdua lalu bercita-cita sebagai pesepakbola profesional, yang kelak akan membawa tim nasional ke ajang Piala Dunia.

Setiap hari—waktu itu—tak ada hari tanpa main bola. Sepakbola adalah mainan favorit anak-anak miskin seperti kami. Cukup dengan sebutir bola, 22 anak akan merasa bahagia sepanjang waktu. Lagi pula, membeli bola merupakan hal paling masuk akal bagi anak-anak di desa kami. Dengan uang patungan, bola adalah barang mainan paling terjangkau.

Ketika kami beranjak besar dan mulai sedikit paham ihwal persepakbolaan Indonesia, cita-cita mengikuti Piala Dunia menjadi sangat tidak logis. Dari data sejarah yang kami dapat, nyaris tak ada yang bisa dibanggakan tentang tim nasional sepakbola kita, apalagi untuk menjadi Juara Dunia. Kecuali dulu sekali di tahun 1938, itu pun kita belum Indonesia, masih Hindia Belanda. Di tahun itu kita adalah negara Asia pertama yang berhasil masuk dalam putaran final Piala Dunia, walaupun kemudian langsung dilumpuhkan oleh Hongaria di babak pertama dengan skor sadis 0-6. Rupanya, sebab masuknya Indonesia ke putaran final karena menggantikan posisi Jepang yang mengundurkan diri. Selain karena asupan gizi, agaknya cara membaca sejarah pun berpengaruh atas tumbuh-tidaknya impian kami. Seperti prajurit-prajurit ingusan yang impiannya tertembak peluru sejarah, kami menguburkan impian itu sambil menghiburnya dengan nyanyian pengandaian. Pengandaian adalah lirik lagu penuh duka dari puisi-puisi penyesalan.

Kami lalu sering berandai-andai. Seandainya saja aku dan Darmo sudah dilahirkan di zaman itu, kupikir keadaan yang terjadi sebaliknya. Indonesia telah memukul Hongaria 6-0 dan berlenggang ke perempat final berjumpa Swiss di Stadion Victor Boucquei di kota Lille, Prancis. Keenam gol itu sudah pasti tercipta dari kaki Darmo sehingga kemudian ia dijuluki si pencipta balak hattrick alias double hattrick. Sedangkan berkat kedahsyatanku sebagai kiper, pasukan Hongaria hanya bisa termehek-mehek, bersedu-sedan, mengutuki nasib malang karena ujung-ujung tombakpujaan mereka tumpul semua. Tetapi, meminjam kalimat seorang guru*, sayangnya kata “seandainya” tidak tercantum dalam kamus sejarah mana pun dan sejarah kehidupan siapa pun.

Bedalah dengan tim bulutangkis kita. Maka, waktu SMP cita-cita kami berubah. Kami ingin menjadi pemain bulutangkis saja. Cita-cita ini tampaknya lebih masuk akal. Banyak pemain bulutangkis kita telah berjaya di tingkat dunia dan berhasil mengharumkan nama bangsa. Seringkali pahlawan-pahlawan berpedang raket itu menyanyikan Indonesia Raya dengan penuh hormat dan menyaksikan Sang Merah Putih berkibar-kibar di tiang tertinggi dengan mata berkaca-kaca. Jadilah kami melupakan sepakbola, dan berlatih bulutangkis setiap hari dan berhenti jika kok sudah tak berbulu sama sekali.

Selidik punya selidik, Darmo menemukan kesimpulan kecil, mengapa tim sepakbola kita tertinggal jauh dari tim bulutangkis. Entah kesimpulan itu didapat dari mana, tapi bagi kami yang masih kecil-kecil itu pemikiran Darmo cukup make sense, masuk di hati. Katanya, jika sudah agak dewasa, orang kita ini tak mempunyai bakat bekerja secara kelompok. Semakin besar jumlah kelompok semakin sulit meraih prestasi kelompok. Inilah paradoksnya—katanya lagi—di negara yang kental dengan gotong-royongnya ini, mati kutu jika harus bahu-membahu meraih prestasi dalam jumlah kelompok yang terlalu besar. Sepakbola adalah permainan dengan jumlah anggota kelompok yang besar, sebelas orang. Bulutangkis bisa single, atau paling banter ganda alias dua orang saja. Masuk akal!

Sayangnya, bulutangkis adalah olahraga mahal bagi kami. Dengan raket seadanya, net berupa tali jemuran, dan kok yang sebulan tak ganti-ganti, mana mungkin kami ahli main bulutangkis. Cita-cita menjadi atlet bulutangkis nasional lalu menjadi sangat mustahil. Kami pun membatalkannya. Kukira, sebagian besar orang miskin seperti kami sangat pandai membatalkan cita-citanya. Sedikit saja terlihat kabut kemustahilan menghalangi jalan, kami mundur teratur seperti iring-iringan bebek digiring pulang ke kandang. Sejak itu impian bagi kami adalah sebuah kata asing yang paling mustahil, sangat tak masuk akal. Tetapi karena jasa Darmo, kami tetap mencari-cari sejarah untuk membangun harapan baru lagi.

Dan hari itu, ketika kami mendengar pidato Pak Murbaut untuk pertama kalinya, Darmo seperti benih di kemarau panjang yang mendapat tetes-tetes air pengharapan. Sosoknya mulai menunjukkan kehidupan baru. Matanya berbinar-binar, sebab ia kagum pada jajaran guru-guru yang kemudian disejarahkan oleh Pak Murbaut satu per satu. Guru-guru yang menurut perkiraannya layak digugu dan ditiru. Guru-guru yang tidak takluk pada nasib karir pengabdian begitu saja. Guru-guru yang secara kreatif menyiasati garis-garis nasib untuk digubah secara indah. Guru-guru penuh impian, penuh pengharapan, dan berjanji menganggap kami bukan lagi murid-muridnya tetapi sahabat-sahabat yang akan dikasihinya. Guru-guru yang kepada mereka memang layak ditambahkan semua hal, termasuk kehidupan berkecukupan.

“Di sekolah menengah bisnis ini, kami hanya menerima guru dan karyawan yang memang bisa ditiru. Kami adalah sekumpulan guru-guru aneh, pemilik-pemilik bisnis dan waralaba, pemilik toko, pemilik warung tegal, pemilik warnet, pengusaha kos-kosan, pengusaha kuliner, pengarang-pengarang lagu populer, penulis aneka buku laris, penulis buku pelajaran bermutu, pengarang-pengarang fiksi bestseller, sastrawan, pelukis dan perupa berkarakter, penyanyi dan pemain alat musik profesional, dalang, sinden, penyanyi keroncong, ....” lanjut Pak Murbaut yang lalu menyebut litani panjang lagi soal bakat dan profesi jajaran guru dan karyawan sekolah kami.

Kini aku dan sebagian murid-murid mengangguk-angguk, sebagian menggeleng-gelengkan kepala. Aku menengok lagi ke arah Darmo. Si Pekat, sepupuku itu tidak lagi mengangguk, karena ia sudah melakukannya jauh-jauh sebelum kami. Kukira kini kutahu sebabnya, mengapa Darmo tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk ketika mengamati jajaran guru-karyawan serta area parkir mereka yang penuh disesaki mobil. Ini tentu gara-gara potongan-potongan koran yang rutin dibacanya di bawah pohon gayam di tepi blumbang desa kami! Darmo telah mengenal sebagian dari mereka sejak membaca potongan sejarah mereka di koran-koran bekas itu.

Tanpa aba-aba tiba-tiba Darmo berdiri lalu bertepuk tangan keras-keras. Semua siswa ikut berdiri dan bertepuk tangan, sangat meriah. Jajaran guru dan karyawan tersipu habis-habisan.***

Bersambung dalam sketsa-sketsa berikutnya....

30-05-2010 bp

*P. Swantoro, dalam bukunya “Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu”, KPG dan Tembi, 2002, hal. 403.

*** Sketsa-sketsa sebagai pangkal judul di blog saya ini dimaksudkan sebagai bahan mentah (bisa berubah sewaktu-waktu). Sketsa-sketsa yang telah diposting berkesinambungan walau belum berurutan, yang jika digabungkan dan ditambah sedikit sana-sini kelak menjadi sebuah (mungkin beberapa buah) novel.

Sketsa sebelumnya:

Sketsa #1 Sekolah Aneh

Sketsa #2 Guru-Guru Aneh

Sketsa #3 Warteg Legendaris

Sketsa #4 Meditasi

Sketsa #5 “The Dessert Storm”

Sketsa #6 Hari-hari Serba Puitis

Sketsa #7 “The Amazing Storm”

Sketsa #8 “The Borobudur English”

Sketsa #9 Imajinasi

Sketsa #10 Orang-orang Teraneh Sedunia Part #1

Sketsa #11 Lelaki Maut Penyebar Tawa

Sketsa #12 Piramida Air Mata

Sketsa #13 Cicak-Cicak Apresiator

Sketsa #14 Tuhan pun Pandai Berhemat

Sketsa #15 Pak Lurah Tercinta

Sketsa #16 Teori Cinta

Sketsa #17 Kesimpulan Para Pejantan

Sketsa #18 Nafsu dan Cinta

Sketsa #19 Pelajaran Menjual

Sketsa #20 Doa Sebelum Makan

Sketsa #21 Ada Uang Abang Sayang

Sketsa #22 Dasar Hippocrates!

Sketsa #23 Gerimis Teka-teki

Sktesa #24 “The High Middle School”

Sketsa #25 “Les Trois Mousquetaires”

Sketsa #26 Teori Korupsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun