Dia tetap tak mau menggunakan olahan cungkringnya menggunakan bahan lain. Kabarnya beberapa penjual lain di kawasan Bogor yang membuat olahan cungkring mirip sate tusuk. Â
"Cungkring saya itu bahannya kaki sapi. Saya tidak menggunakan bahan lain selain kaki sapi,"Â tutur Kang Deden sambil sibuk melayani pembeli.
Nah keseruan berikutnya adalah... cari tempat duduk!
Namanya juga jualan kaki lima di pinggir jalan. Tak ada kursi yang disediakan. Tempatnya juga terbatas, karena mesti berbagi dengan pedagang makanan lainnya. Jadi?
Tengok sana, tengok sini, jadilah ke teras minimarket yang tak jauh dari situ. Ada meja dan kursi kosong. Bolehlah. Belakangan satu keluarga ikut nimbrung. Seorang ibu dan 3 anaknya yang sudah dewasa. Â Okelah, jadi ramai.
Ada lidi sebagai alat untuk menikmatinya. Tusuk kikilnya, lontongnya. Kikilnya empuk sepertinya direbus cukup lama. Terus yang unik adalah bumbu kacangnya. Lembut dan berasa lengket seperti bahan sagu. Ternyata bukan. Kang Deden bilang siih tepung beras. Â
Bumbu kacangnya menurutku rasanya unik. Beda dengan bumbu kacang ala Jawa. Sebuah rasa yang memberikan tawaran kenikmatan rasa yang berbeda. Khas. Itu yang membuat kuliner cungkring menjadi kuliner yang khas, etnik.
Lihat Jualan cungkring Kang Deden di vlog yang kubuat di bawah ini.Â
Merawat Kuliner TradisionalÂ
Konon jualan cungkring  warisan Pak Jumat itu sudah dirintis sejak 1975. Cungkring ini menambah deretan kuliner tradisional legendaris yang dijual di kawasan Surken.  Sebut saja ada bir kocok, martabak Encek,  laksa, soto kuning,  asinan jagung bakar, nasi goreng petai, bakso dan banyak lagi.