Mohon tunggu...
Bozz Madyang
Bozz Madyang Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Food Blogger

#MadYanger #WeEatWeWrite #SharingInspiringRefreshing #FoodBlogger - Admin Komunitas Kompasianer Penggila Kuliner (KPK) Kompasiana - Email: bozzmadyang@gmail.com - Instagram/Twitter: @bozzmadyang

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Tiwul dan Gatot Instan, Olahan Kreatif Kuliner Tradisional

4 Juli 2016   22:27 Diperbarui: 21 Juli 2016   10:09 1789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gatot instan. (Ganendra)

Tahu khan nasi tiwul? Nasi dari olahan gaplek atau singkong yang menjadi label dari Kota Wonogiri. Kota Gaplek yaa Wonogiri. Pasalnya nasi tiwul dahulu sempat menjadi makanan pokok masyarakat Wonogiri, Gunung Kidul (juga daerah sekitarnya). Namanya juga zaman susah pangan. Nasi dari beras padi masih menjadi barang mahal, nasi olahan singkong atau ubi kayu menjadi alternatif seiring Tanaman Singkong banyak tumbuh di kota-kota itu.

Sekarang nasib ‘tiwul’ menjadi semacam kuliner ‘kelangenan’ dan ‘kangenan’, laaa sudah beda zaman. Sempat ngrasain juga nasi tiwul sejak kecil. Biasanya dikonsumsi dengan Ikan Teri plus sambal bawang, widih sudah sensasional. Apalagi disajikan dengan bungkus daun jati. Berasa etnik banget.

Nah, beberapa waktu lalu, di momen pulang kampung, alias mudik di Lebaran 2016 ini sempat jalan-jalan ke Pasar Wonogiri. Biasa antar Ibu belanja. Kebiasaan lama dulu saat liburan sekolah atau kuliah ketika di rumah, yaaa antar tiap pagi Ibu kulakan warung klontongnya di pasar. Beli sayur mayur, kelapa, minyak, dan aneka sembako untuk warung klontong di rumah. #Nostalgia hahaa

Singkatnya aku tunggu Ibu sambil jalan seputaran penjual di area pasar yang ramai. Lewat di kios Bu Darmo, kios yang menyediakan aneka oleh-oleh camilan dan lain-lain. Warung yang bertahan cukup lama dan populer sejak lama. Banyak banget macamnya. Mulai dari aneka olahan krupuk mentah, srundeng, kacang mede khas Wonogiri, rengginang, godril, gatot dan tiwul instan. Tiwul instan?

Srundeng dan Godril khas Wonogiri. (Ganendra)
Srundeng dan Godril khas Wonogiri. (Ganendra)
Yaa tiwul instan, teksturnya berbentuk butiran-butiran kering. Olahan dari tiwul yang sudah matang lalu dikeringkan. Lalu dikemas dalam plastik ukuran sedang. Karena sudah dalam kondisi kering maka bisa disimpan tahan lama.

“Bisa disimpan berbulan-bulan Mas,” kata mbak penjualnya. Artinya cocok banget buat oleh-oleh bagi mereka yang kangen makanan ini namun jauh di rantau.

Cara memasaknya? Gampang banget, Karena tiwul ini sebenarnya sudah matang sebelumnya, maka tinggal di-dhang alias dikukus saja. Boleh ditambahin Gula Jawa sesuai selera. Praktis deh.

Tiwul sendiri dibuat dari singkong yang dibuat menjadi gaplek terlebih dahulu. Gaplek itu dibuat dari singkong yang dikeringkan. Jadi singkong yang telah dikupas. Umumnya cara sederhana, yaitu singkong dikupas, utuh atau dibelah kemudian dijemur. Eh ada dua macam gaplek lhooo. Ada gaplek yang putih biasa ditepungkan, ini yang dibuat menjadi tiwul. Ada juga gaplek hitam yang sudah difermentasikan. Ini yang dibuat menjadi gatot. Warna hitam pada gatot dihasilkan dari proses fermentasi. Dulu aku sering lihat saat ke rumah nenek di desa yang lebih jauh. Di halaman terhampar gaplek singkong yang dijemur.

Nah ternyata jenis gatot juga diolah instan. Dijual juga di warungnya Bu Dharmo. Gatot Instan dengan warna khas agak hitam. Gatot instan ini juga sebelumnya juga sudah matang, lalu dikeringkan, sehingga bisa tahan lama juga.

Gatot instan. (Ganendra)
Gatot instan. (Ganendra)
Cara penyajiannya juga gampang, gatot instan yang dikemas dengan ukuran sama seperti tiwul instan ini harus direndam dulu semalaman sambil dicuci. Baru kemudian di-dhang atau dikukus, boleh ditambahin gula jawa sesuai selera. Lebih joss lagi tambahin parutan kelapa saat menikmatinya.  Praktis dan gampang untuk mereka yang ingin menikmati camilan tradisional yang sudah mulai susah dicari di kota.

Kedua jenis camilan instan itu cukup murah dijualnya. Hanya dengan uang Rp. 10 ribu untuk masing-masing kantong, kita bisa membawanya sebagai oleh-oleh di kota. Cuman sayangnya tak dilengkapi dengan cara pengolahan dan berat olahan. Maklum masih skala  tradisional. Cocok buat buah tangan lebaran.

By the way, rasanya bisa juga menjadi bisnis kuliner tradisional untuk para konsumen di luar daerah, baik bagi yang belum pernah mencicipi dan penasaran mencicipinya maupun bagi mereka yang ingin mengkonsumsi menu tiwul masa dulunya. Pastinya kuliner daerah selalu memberikan nuansa berbeda dalam rasa. Bukan hanya nikmat yang berbeda namun mungkin juga rasa nostalgia. Mau cicipin?

#SalamKuliner #KulinerWonogiri

@rahabganendra 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun