Pindang, tahukah anda? Ikan pindang? Bukan. Ini bukan jenis kuliner ikan. Namun sebuah panganan tradisional khas dari Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah yang semakin langka. Langka karena para pembuat sekaligus penjualnya semakin sulit ditemui. Bahkan di sekitaran kota Wonogiri disebut-sebut tinggal seorang penjual yang masih menekuninya. Entah kalau di pelosok-pelosok. Sang penjual pun pun karena faktor turunan dari keluarga yang mau tak mau menjadi tanggungjawab Mbakyu Sutar alias Yu Sumi sang pembuat pindang. Dan pindang masakan Yu Sumi ini dikenal khas enaknya. Mau tau seperti apa?
Pindang? Apa sih?
Saya sendiri sebenarnya masih asing dengan nama kuliner ini, saat seorang teman memperkenalkannya. Adalah Aris Setya, seorang teman yang kenal awalnya di Kompasiana. Yaaa.. teman satu kabupaten, satu kecamatan, namun lain kampong malah kenalan dan berlanjut kopdar berawal dari tulisan di Kompasiana. Nah momen lebaran 2015 di kampong kemarin tuh, kami sepakat kopdar di lokasi yang strategis, Alun-alun kota Wonogiri. Asyikk ternyata ada lesehan dan lumayan banyak penjual. Dan aku baru tau, yang trend di kotaku saat lesehan begini adalah Wedang Ronde dan Bakso Bakar!! Top dah.
Eh, kembali ke laptop hahaaa. Pindang ini sebenarnya adalah olahan daging kambing namun ada juga yang menggunakan daging sapi, eh tapi bukan pyur daging sih, tapi ‘tetelan’. Tetelan ini adalah tulang kambing atau sapi. Biasanya khan di bagian tulang melekat tuh daging-daging, urat, dan lain-lain. Itulah yang digunakan dicampur dengan ‘gaplek’. Tahu gaplek? Gaplek singkong loorr… bukan ‘nggapleki’ kalo itu artinya lain hahahaaa.
Gaplek itu dibuat dari singkong yang dikeringkan, dijemur. Ini menjadi bahan utama untuk membuat Pindang. Biasanya gaplek ini utamanya dibuat menjadi nasi tiwul. Nasi tiwul pasti tahu dong, menurut eyangku (alm) dulu, tiwul menjadi makanan pokok jaman perang kemerdekaan. Dan terkenal di seantero Wonogiri, laaaa dulu memang menjadi makanan pokok sih, saat ‘larang’ (mahal/langka) beras.
Nah mendapat info soal Pindang ini dari Aris, keesokan paginya, aku ‘mruput’ ke lokasi. Lokasinya tak sulit kok, apalagi tanya orang pada tau. Persisnya di kawasan Pokoh. Pokoh ini, bila kita dari arah Solo menuju Pacitan atau Ponorago melewati jalur selatan, Wonogiri, maka akan dilalui. Ada SMPN 2 Pokoh Wonogiri, di depannya ada gang masuk. Sekitar 200 an meter sudah ketemu rumahnya. Menurut Aris mesti pagi-pagi ke rumah penjualnya, Yu Sutar atau lebih dikenal dengan sebutan Yu Sumi. Mesti pagi karena dipastikan bakalan antri. Buka jual sih jam 05.30 wib setelah kelar masak, masih anget. Dan jualnya bukan di pasar tapi di rumahnya. Itupun bukan di luar rumah yang keliatan orang dari luar tapi… di samping dapurnya!! Jadi dari luar kagak keliatan dah. Hmmmm jadi ingat Gudeg Pawon Jogjakarta yaaa heheee.
Benar saja jam masih menunjuk mendekati angka 06.00 wib, aku tiba di rumah bergaya Jawa Limasan ala kampong ini namun sudah antri. Ada sekitar 7 orang yang sudah standby…. yaaa bener-bener standby alias berdiri hehee. Ya sudah antrilah saya. Sambil dengerin obrolan mereka yang khas Jawa banget. Mulai dari obrolan pasar, rumah tangga, anak-anak sampai obrolin si A, si B hehee. Aku sih lebih sibuk memperhatikan Yu Sumi yang nglayanin pembeli. Yu Sumi duduk di ‘lincak’, sejenis bangku besar dari kayu. Ada daun jati di sebelah kanannya berikut kertas minyak pembungkus plus straples. Di depannya persis ada ‘Termos’ nasi berukuran gede, tempat pindang! Sementara di sebelahnya lagi ada rantang berukuran sedang tempat ‘ulam bacem’ alias bacem babat dan tetelan sapi.
Tangan Yu Sumi sangat cekatan saat membungkus satu persatu pindang pesanan. Mengambil pindang dengan centong sedemikian rupa. Lalu meletakkannya di daun jati yang beralaskan kertas minyak. seorang pembeli membantu men-straplesnya. Biar cepat mungkin yaaa. Soalnya rerata pembeli masing-masing membeli 10 – 25 bungkus!! Waduh pantesan antrinya makin lamaaaaa hahaa.
Bacem ulam sapi. (Ganendra)
Aku sih bertahan, soalnya penasaran rasanya. Aku tengok sekilas saat diletakkan di daun jati seperti mirip ‘petis’. Namun beda warnanya. Kalo petis warnanya lebih coklat gelap. Kalau pindang ini warnanya lebih terang. Belakangan saat mencicipi rasanya juga beda sih. Kalau petis ada manisnya, liat, kenyal dan ada ‘balung-balungnya’ (tulang). Kalau pindang ini tulangnya lebih dikit, ada gajih-gajihnya, dan rasanya tidak manis, agak gimanaaa getu. Enak sih. heheheeee
Tak terasa menunggu antrian lama juga yaa. Aku sibukkan diri dengan menengok ke dapur. Dapur ala kampong tentunya. Ada panci besar tempat ‘menanak’ pindangnya. Tidak memakai kompor tapi ‘pawon’ batu dengan kayu bakar. Menurut Yu Sumi bikinnya sih gampang saja. Awalnya rebus air dalam panci besar, masukin ‘tetelan’ dan semacamnya. Dulu sebelumnya menggunakan daging kambing. Karena pindang aslinya memang menggunakan daging kambing. Namun belakangan banyak orang yang tak menyukai daging ‘prengus’ khas kambing. Jadi Yu Sumi akhirnya menggantinya dengan tetelan sapi, yang lebih akrab diterima lidah sebagian besar orang. Nah setelah tetelan dimasukkan dicampur dengan gaplek singkong, lalu dibumbui. Bumbunya sih umum saja seperti ketumbar, bawang, brambang, merica juga dan tak lupa dikasih daun jeruk. “Ben ra amis Mas,” kata Yu Sumi. (Biar tak amis)
Ini dia pindangnya masih di panci. (Ganendra)
Akhirnya sekitar jam 06.55 wib aku dapet juga deh giliran. Aku pesen 10 bungkus saja pindangnya lalu ulam bacemnya 2 bungkus. Harga pindangnya… Rp. 2000!! sebungkus … Ulam bacemnya Rp. 5000, sebungkus. Sambil membantu menstraples, lanjutlah obrolanku. Yu Sumi mengaku awalnya malu jual pindang.
“Gak ada cita-cita bakul pindang Mas,” katanya.
Tapi yaaaa, karena memang factor turunan keluarga, Yu Sumi akhirnya belajar juga bikin pindang dan menjualnya. Dulu bukan hanya dia saja yang jual, kakak-kakaknya juga jualan yang sama.
“Sakniki, mpun podho mboten wonten Mas, dados’e nggih naming kulo,” katanya dengan bahasa Jawa medhok. (Sekarang sudah tidak ada Mas – kakaknya meninggal - jadi tinggal saya yang jual). Yaaah semoga saja deh ada generasi yang mewarisi kemampuan jual pindang ini. Sayang banget kalau punah.
Kenapa pakai daun jati?
Unik dan eksotiknya, pindang ini dibungkus daun jati. Tepatnya alasnya daun jati, soalnya bagian luar memakai kertas minyak. Dulu sih, hanya pakai daun jati saja. Soalnya dulu daun jati mudah didapat dan lebar-lebar. Sekarang di jaman kemajuan, Yu Sumi tak bisa menolak juga dengan keberadaan kertas minyak. Padahal aroma khas daun jati adalah salah satu yang menunjang khasnya pindang. lalu kenapa pakai daun jati? Bukan daun pisang atau semacamnya?
Selidik punya selidik ternyata alasannya sederhana. Jadi gini. Pindang ini, cara makannya tidak pakai sendok, tapi pakai ujung telunjuk!!
Gimana caranya? Yaaa tinggal ‘didulit’ alias dicolek dengan ujung telunjuk. Pindang yang sudah masak lkhan teksturnya sudah menjadi bubur. Bubur gaplek yang mengandung daging tetelan. Nah, saat colak colek pindangnya, pindang yang kek bubur itu akan ‘keset’ dan nggak tumpah kalau pakai daun jati. Tekstur daun jati yang kasar, keset dan tak licin sangat sesuai untuk pembungkus pindang. Kalau daun pisang, yaaa licin. Pindang bisa meluncur bebas alias kesana kemari hahaaa.
Pindang ini bisa juga digunakan menjadi semacam lauk pauk. Dicampur dengan nasi. Namun saya sih lebih seneng langsung ‘digado’ tanpa nasi. Tinggal dulat dulit…nyam-nyam… dan sensasional. Swedaaapppp !! Hahahaa. Penasaran rasanya?
#SalamKuliner #SalamKulinerNusantara #SalamKenyang
@mas_lahab aka @rahabganendra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H