Dunia tersentak ketika mendengar berita terbunuhnya Duta Besar (Dubes) Rusia untuk Turki, Andrei G Karlov, pada 19 Desember kemarin. Dubes Karlov tewas ditembak oleh seorang polisi anti huru-hara Turki, Mevlut Mert Altintas, pada saat menyampaikan pidato pada pembukaan pameran lukisan di ruang pameran seni utama, Ankara, Turki. Setelah menembak Dubes Karlov, Mevlut meneriakkan kata-kata "Jangan lupakan Aleppo! Jangan Lupakan Suriah!". Mevlut akhirnya tewas ditembak oleh polisi Turki yang langsung datang ke lokasi kejadian setelah menolak untuk menyerah.
      Tragedi yang menimpa Dubes Karlov bukanlah hal yang pertama terjadi dalam dunia diplomatik. Pada tahun 2012, Dubes Amerika Serikat untuk Libya, John Christopher Stevens menjadi diplomat AS kedelapan yang tewas ketika melaksanakan tugas negara. Ia tewas dalam serangan yang diyakini dilakukan oleh loyalis-loyalis pemimpin Libya terguling, Muammar Khadafi. Setelah kejadian ini, banyak pengamat internasional mengaitkannya dengan intervensi yang dilakukan oleh AS dan NATO terhadap konflik di Libya. Koran-koran di Rusia bahkan membuat analisis bahwa langkah AS dan NATO di Libya, perlahan tapi pasti menjadi boomerang effect bagi mereka sendiri ketika mengkampanyekan demokrasi di negara totaliter.
      Pembunuhan seorang diplomat yang notabene merupakan kepanjangan tangan sebuah negara berdaulat sudah pasti menimbulkan implikasi politik tingkat tinggi dalam tata politik internasional. Dalam kasus terbunuhnya Dubes Karlov di Turki, bisa saja pernyataan kedua kepala negara, Vladimir Putin dan Reccep Tayyip Erdogan  yang menyebut penembakan tersebut sebagai upaya untuk memprovokasi hubungan kedua negara merupakan strategi cooling down agar hubungan diplomatik kedua negara tidak langsung bergejolak.
      Penulis meyakini bahwa pemerintah Rusia tidak akan tinggal diam. Besar kemungkinan pemerintah Rusia melalui perwakilan diplomatik mereka di Turki serta aparat militer dan intelijen yang akan diterjunkan langsung ke Turki akan menyelidiki secara lebih jauh dan detil mengapa penembakan tersebut bisa terjadi, bagaimana pengamanan yang disediakan oleh pemerintah Turki untuk perwakilan diplomatik negara sahabat, serta mengapa pelaku penembakan langsung ditembak di tempat sehingga tertutup peluang untuk mengurai aktor utama penembakan tersebut. Pemerintah Rusia juga tentunya akan menekan Turki agar dibentuk tim investigasi bersama agar hasil penyelidikan tidak menimbulkan bias politik.
      Setelah terjadinya penembakan terhadap Dubes Karlov, muncul beragam reaksi di dunia internasional. Perdana Menteri Ukraina, Pavlo Klimkin, memberikan pernyataan yang bernada sinis. Ia menyatakan bahwa penembakan tersebut merupakan konsekuensi yang harus ditanggung Rusia. Rusia harus bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia serta pembunuhan terhadap ribuan orang yang tidak bersalah di Suriah dan Ukraina (The Jakarta Post, 22/12).
      Di Indonesia, Dubes Rusia untuk Indonesia, Mikhail Galuzin, berang atas pemberitaan media-media Barat yang menyudutkan Rusia atas keterlibatan Rusia yang mendukung Pemerintah Suriah pimpinan rezim Bashar Al Assad dalam menghadapi faksi-faksi pemberontak. Galuzin menyatakan bahwa komitmen Rusia jelas yakni menolong pemerintahan resmi Suriah dalam menghadapi pemberontak. Ia menegaskan bahwa kejadian di Turki tidak akan menyurutkan langkah Rusia dalam memerangi terorisme internasional di Suriah dan tempat-tempat lainnya (Rakyat Merdeka, 22/12).
      Kebijakan luar negeri sebagai produk dari politik luar negeri sebuah negara selalu memuat kandungan kepentingan nasional. Kepentingan nasional di sini merupakan output dari pengambilan kebijakan pemerintah, juga aspirasi kepentingan masyarakat domestik. Jika dikaitkan dengan kasus tertembaknya Dubes Karlov di Turki, suka tidak suka akan sangat terkait dengan campur tangan Rusia dalam situasi politik dan keamanan di Suriah.
      Dalam konteks Suriah, keterlibatan Rusia didasari oleh sedikitnya dua faktor. Pertama adalah status Rusia sebagai aliansi strategis Suriah. Ketika menyebut "aliansi" sudah barang tentu makna tersebut lebih kuat jika dibandingkan dengan negara sahabat atau negara mitra. Dikatakan demikian karena Suriah merupakan pasar senjata Rusia terbesar di Timur Tengah. Secara historis, Rusia juga merupakan negara pertama yang mengakui kemerdekaan Suriah pada 1946. Rusia juga sempat menghapuskan hutang Suriah sebesar kurang lebih 13 miliar dollar AS sebagai bentuk sokongan ekonomi.    Bagi Rusia, Suriah memiliki arti penting dalam bidang politik. Suriah merupakan pion bagi Rusia dalam proxy war yang dijalankan di Timur Tengah, dari masa Perang Dingin hingga hari ini.
      Kedua, dalam konteks geopolitik global, Rusia seakan tak mau ketinggalan dengan sekutu ideologisnya, Tiongkok. Kebangkitan Tiongkok yang ditandai dengan eksistensi mereka di berbagai front internasional seperti konflik di Laut China Selatan dengan Taiwan dan claimant states Asia Tenggara, serta Laut China Timur dengan Jepang, menjadi stimulus tersendiri bagi Rusia bahwa dibutuhkan front untuk menaikkan pamor di panggung internasional. Sejak Uni Soviet pecah berkeping-keping dan menandai berakhirnya Perang Dingin, Rusia hanya dianggap sekedar "negara kecil" yang tak layak dipandang oleh Barat. Rusia juga dianggap sebagai "liyan" atau sesuatu yang lain oleh negara-negara Eropa, meskipun secara geografis terletak di Eropa. Kedua faktor inilah yang menjadi pull factors keterlibatan Rusia di Suriah.
      Melalui kejadian ini, Pemerintah Rusia dan negara-negara di dunia sudah selaiknya menarik pembelajaran bahwa apapun kebijakan luar negeri yang diambil oleh sebuah negara, selalu membawa pada konsekuensi. Apa yang terjadi pada Rusia sejujurnya masih "lebih baik" apabila dibandingkan dengan AS. Sebagai dampak dari kebijakan Global War on Terrorism (GWOT) dengan menginvasi Afghanistan dan Irak, AS harus menanggung akibat dijadikannya AS sebagai target empuk para teroris. Tewasnya Dubes Stevens di Benghazi, serangan bom di Prancis, Jerman, dan Inggris dalam beberapa tahun terakhir merupakan akibat yang harus ditanggung AS dan sekutu-sekutunya.
      Sebagai bentuk pembelajaran ke depan, setiap negara dengan risiko politik yang tinggi disarankan melakukan pengetatan pengamanan kepada perwakilan diplomatiknya, baik yang berstatus sipil atau militer. Derajat pengamanan yang diberikan harus berbeda antara negara satu dengan negara lainnya sesuai dengan analisis risiko politik dan keamanan yang terlebih dahulu dipenuhi. Negara yang menjadi tuan rumah atau negara tujuan sebuah perwakilan diplomatik juga harus berkomitmen penuh untuk menjamin keamanan diplomatik perwakilan negara lain. Tidak hanya pengamanan yang bersifat reguler, tapi juga intelijen dan pemantauan terhadap potensi-potensi ancaman yang mungkin bisa timbul. Dalam kasus Dubes Karlov, tak berlebihan apabila penulis menyebut bahwa keamanan Turki sangat minim sehingga bisa kecolongan. Semoga tidak terulang kembali di masa yang akan datang.