Mohon tunggu...
Boy Mihaballo
Boy Mihaballo Mohon Tunggu... Seniman -

penulis fiksi-non fiksi, komposer, sutradara, web desainer, videografer, dan yang terpenting seorang amatir yang mencintai aktivitasnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membongkar Mitos Jendral

31 Januari 2012   10:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:14 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya adalah generasi orde baru. Lahir di kala orde baru mulai menguat di segala lini kehidupan bangsa ini. Bersekolah di masa orde baru mencengkeram pikiran dengan dogmanya tentang Pancasila. Dan kosakata yang mulia di era orde baru adalah Jendral. Ya, Jendral adalah subyek tak tercela di masa orde baru. Bahkan hingga kini pandangan itu tak berubah. Beruntunglah Reformasi ’98 dengan segala pengorbanannya telah membuka cakrawala pemikiranku. Dan berkat reformasi segala yang dulu suci kini bisa diperdebatkan kembali. Jendral adalah mitos sakral yang kini menjadi urgensi untuk dibongkar, berikut adalah beberapa mitos tentang Jendral yang terkuak dalam benakku.

  1. JENDRAL ADALAH ORANG YANG TEGAS.

Mitos nomor satu ini sejak 2004 menemui dekonstruksinya secara otomatis sejak Jendral SBY dilantik menjadi Presiden. Walau banyak pengamat politik yang mengatakan bahwa Presiden SBY adalah orang yang memperhitungkan segalanya dengan cermat namun itu hanya eufemisme dari ketidak-tegasan. Karena tegas menuntut kecepatan bertindak tidak hanya kecermatan berpikir. 2. JENDRAL PURNAWIRAWAN ADALAH WARGA NEGARA SIPIL. Ini adalah argumen para Jendral ketika memasuki arena politik, dan dibela oleh para pengamat politik sipil pembela militer yang kujuluki para sipilis. Memang benar bahwa begitu para Jendral memasuki masa purna bhaktinya maka ia menjadi warga sipil dengan hak dan kewajiban yang sama seperti warga sipil lainnya. Tetapi yang luput dari pandangan para sipilis dan publik ialah bahwa seorang Jendral akan tetap Jendral seumur hidupnya. Dalam kemiliteran, prajurit dengan pangkat terendah saja sudah didoktrin untuk berpikir dan bersikap sebagai seorang prajurit dimanapun dan kapanpun. Ini tercantum dalam Sumpah Prajurit. Jadi bila prajurit rendahan saja akan terus menjadi prajurit selamanya apalagi seorang Jendral. Di masa purna bhaktinya, seorang Jendral adalah warga sipil dengan paradigma militeristik yang kental. 3. JENDRAL ADALAH PENYANGGA DEMOKRASI. Ini jargon a la rezim militer dimanapun jua bahwa militer hadir berpolitik untuk menjaga tetap tegaknya demokrasi. Jargon ini tidak lebih dari mimpi buruk bagi demokrasi sejati karena seorang Jendral dididik bukan untuk menjadi negosiator/perunding/pro dialog tetapi menjadi petempur sejati. Di acara Jak TV beberapa minggu lalu dua orang Jendral yaitu Nono Sampono dan Hendarji berbicara dengan gagahnya tentang konsep CUMEMU (Cuaca, Medan, Musuh) sebuah konsep yang biasa dibicarakan ketika menyusun strategi dalam bertempur. Di kesempatan lain, di tv One, Jendral Sutiyoso juga berbicara konsep yang sama. Mereka rancu kala memasuki arena politik dengan medan perang. Ini berbahaya bagi perkembangan demokrasi kita yang baru mulai menggeliat. Dalam kalimat tegas saya bisa katakan bahwa paradigma militeristik itu anti demokrasi. 4. JENDRAL ADALAH PEMIMPIN SEJATI. Ini yang selalu digembar-gemborkan oleh para pengamat politik sipilis, mereka membanggakan lembaga militer yang secara tradisional telah melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa sejak dahulu. Mereka berkata begitu karena memang mereka medioker yang tak mau demokrasi berjalan menuju masyarakat madani yang menjunjung supremasi hukum.  Dan ilustrasi menarik tentang mitos ini ketika Jendral Prijanto diwawancarai MetroTV mengenai alasan pengunduran dirinya dan ia menjawab bahwa terdapat perbedaan antara dunia politik yang serba tidak jelas dengan struktur milter yang jelas hirarkinya. Ini merupakan kedangkalan berpikir seorang militer ketika memasuki ranah politik yang didominasi sipil dan tidak mengenal hirarki a la militer. Ketidakmampuan beradaptasi seorang militer di ranah politik ini adalah buah dari paradigma militeristik yang dikunyahnya seumur hidup. 5. JENDRAL ADALAH WARGA NEGARA KELAS 1. Ini adalah cerita lama versi orde baru ketika Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati, Ketua organisasi olah raga, komisaris BUMN didominasi oleh Jendral. Nyaris tak ada tempat buat sipil untuk menduduki posisi strategis di pemerintahan. Padahal Gubernur Jendral adalah warisan VOC yang mesti dibuang ke tempat sampah ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan berdirinya Republik Indonesia. Sejak reformasi semua warga negara adalah sama statusnya di depan hukum, sama hak dan kewajibannya. Tidak boleh lagi Jendral di anak emaskan dengan alasan apapun. Dan demi terciptanya proses demokrasi yang sejati maka , seperti yang terjadi di negara-negara kampiun demokrasi, Jendral mesti berada di bawah kendali sipil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun