Ia ada dimana-mana. Kumulai ketika menyusuri lorong panjang bersama sang juru mudi menjemput angkasa malam. Rintik hujan meremas kepala. Kusut mulai menular ke jalan tanah penuh kubangan. Langit kian kelam. Namun di atap beton, Jackie Chan berjumpalitan mengejar dan menghadapi sekawanan perampok bertopeng. Dinding serupa lantai pualam. Tegak lurus dengan angkasa. Miring kepala menatap mereka. Pertempuran serupa letusan kembang api. Meledak dan melayang di udara. Yang kalah berhamburan tak tentu arah. Jackie Chan menjadi jawaranya. Tak jauh dari atraksi itu, di sesak himpitan gudang-gudang barang konsumsi. Berdiri dengan gagahnya rumah berpetak-petak membentuk kotak-kotak. Oksigen berebut udara dengan toksik. Dan kotak kecil menyala, menyiarkan epik Jackie Chan. Entah bagaimana narasinya, karena kujumpai sepotong bayangnya saja yang lekas berlalu. Tetapi, seperti yang sudah seharusnya terjadi, Jackie Chan pastilah sang juara. Itu sudah absolut dalam layar cerita. Air hujan memijat kepalaku yang basah. Mengalirkan airnya ke seluruh indera. Tubuhku mengapung. Ini waktunya rehat. Keponakanku datang membawa kisah pengantar tidur, entah judulnya apa, tetapi Jackie Chan menjadi pelaku utamanya. Wah, ini keterlaluan. Disaat aku ingin merebahkan diri, ia mengintervensi ruang privasiku. Namun, takdir mungkin sudah tersurat dan aku tak pernah membacanya. Jackie Chan ada dimana-mana malam ini. Ia serupa Tuhan.... Tetapi nyaris saja.... Kulihat ia terjatuh dan berbaring di ranjang rumah sakit. Ia merasakan pedih dan luka, ia menjadi manusia....kembali. Aah hampir saja aku mempercayai Jackie Chan itu Tuhan. Nyaris.
30 Desember 2011
04:04 WiB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H