Mohon tunggu...
Boyke Pribadi
Boyke Pribadi Mohon Tunggu... Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten -

menulis berbagai hal dalam kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik

democracy VS Moneycracy

14 Desember 2015   06:45 Diperbarui: 14 Desember 2015   06:45 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

         Pilkada serentak sebagai salah satu instrument demokrasi di tanah air telah selesai digelar pada tanggal 9 desember lalu. Dari hasil hitung cepat yang dilakukan telah dapat  dilihat perbedaan suara masing masing pasangaann calon hingga pada angka yang melebihi tingkat kesalahan pengambilan sample sehingga kemungkinan besar telah nampak pasangan mana yang akan menjadi kepala daerah terpilih.

            Ada fakta yang menarik, khususnya pada pilkada di propinsi banten yang dilakukan di empat (4) daerah yakni Kabupaten Serang, Kabupaten pandeglang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang selatan. Bahwa calon yang memenangkan pilkada merupakan pasangan calon dengan jumlah kekayaan yang paling besar dibandingkan dengan pasangan yang menjadi lawannya.

            Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diumumkan KPU Banten, untuk Kabupaten Serang, Kekayaan Calon Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah melaporkan harta yang dimilikinya per tanggal 27 Juli 2015 sebesar Rp7,7 miliar.   Sedangkan calon wakil bupati Serang pasangan Ratu Tatu Chasanah yakni Panji Tirtayasa per 10 juli 2015 Rp7,4 miliar.

            Bandingkan dengan pasangan yang menjadi lawannya yaitu Ahmad Syarif Madzkurullah total harta kekayaanya pertanggal 4 Agustus 2015 yaitu Rp 307 juta dan pasanganya Aep Syafullah total harta kekayaannya per tanggal 23 Juli 2015 yaitu Rp 1,408 miliar.

            Untuk daerah kabupaten pandeglang, Irna Narulita Dimyati, memiliki harta kekayaan mencapai Rp 23,162 miliar dan Tanto Warsono Arban yang mendampingi Irna Narulita Dimyati, meliliki kekayaan sebesar Rp 6 miliar. Sedangkan pasangan calon yang menjadi lawannya Ratu Siti Romlah Rp 6,050 miliar dan Yan Riadi Rp 2,216 miliar. Selanjutnya Aap Aptadi kekayaanya mencapai Rp 4,544 miliar dan wakilnya Dodo Djuanda Rp 421 juta.

            Untuk daerah Kota Cilegon  Iman Aryadi memiliki harta kekayaan sebesar Rp 9,317 miliar. Calon wakilnya Edi Aryadi memiliki kekayaan Rp 4,712‎ miliar. Sementara pasangan yang menjadi lawannya adalah  Sudarmana Rp 6.931 miliar dan Marfi Fahzan Sinungan Rp 1,748 miliar.

            Sedangkan untuk daerah Tangerang Selatan total kekayaan Airin per tanggal 23 Juli 2015 sebesar Rp 84,005 miliar dan Benyamin Davne, pendamping Airin, per tanggal 23 Juli 2015 harta kekayaanya mencapai Rp 2,085 miliar. Sementara pasangan yang menjadi kompetitornya yakni Arsid total kekayaan per 3 Agustus 2015 Rp 3,376 miliar dan Elvirer Ariadiannie Soedarto yang merupakan calon wakil wali kota Tangsel yang mendampingi Arsid sebagai wali kota, memiliki kekayaan Rp 7,8 miliar dan US$ 50.000. serta pesaing lain yakni Muhamad Ikhsan Modjo, total kekayaannya per tanggal 24 Juli 2015 sebanyak Rp 4,033 miliar dan US$ 1.500. Untuk wakilnya Li Claudia Chandra total kekayaanya per tanggal 27 Juli 2015 mencapai Rp 7,682 miliar.

            Dari data data tersebut dapat dilihat dengan jelas benang merah atau hubungan antara kekayaan dengan peluang untuk memenangkan pertarungan memperebutkan jabatan kepala daerah. Dan hal ini menjadi sebuah kewajaran manakala dikaitkan dengan isyu jual beli perahu yang dilakukan oleh pihak partai politik sebagai salah satu syarat sah pencalonan yakni adanya partai politik yang mengusung dengan jumlah minimal kursi di DPRD atau jumlah minimal suara sah saat pemilu 2014.

Dengan demikian praktik jual beli perahu bukanlah sekedar isyu belaka, melainkan fakta yang terjadi, namun ditutup tutupi karena didalamnya terkandung aib dan bahkan dapat dikategorikan gratifikasi karena mengandung unsur penyuapan kepada pihak pemegang keputusan di partai politik untuk mengusung seseorang dengan membayar sejumlah uang.

Sekalipun memang ada argumen tentang visi-misi dan peluang kemenangan sang calon, namun semua hal tersebut dapat direkayasa dengan membayar konsultan untuk membuat visi misi dan melakukan survey untuk mengetahui potensi sang calon dalam mendulang suara. Dan memang pada akhirnya hasil pilkada membuktikan bahwa sang calon yang diusung menjadi pemenangnya.

Dari satu sisi hal tersebut merupakan sebuah keniscayaan, terutama jika kita memandang dari sisi demokrasi procedural. Namun bila kita berusaha melihat dari aspek demokrasi yang substantive, maka akan nampak adanya persoalan bahwa untuk melahirkan seorang pemimpin harus memiliki uang terlebih dahulu. Padahal sangat mungkin seorang pemimpin yang baik lahir dari lingkungan yang sederhana dan bukan dari lingkungan yang kaya raya. Artinya dalam konteks yang terjadi saat ini tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin. Karena hanya orang tertentu yang memiliki sumberdaya ekonomi lah yang bisa menjadi pemimpin.

Tentunya para pembaca ingat bunyi syair lagu yang dibawakan oleh Rhoma Irama bahwa “yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin”. Kalimat tersebut menemukan kebenarannya dalam kehidupan politik saat ini, dimana untuk menjadi seseorang pekerjal di bidang politik harus mengeluarkan banyak biaya.

Saat seseorang akan menjadi calon legislative (caleg) terutama di daerah pemilihan yang ‘keras’, maka tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk bersaing merebut suara masyarakat. Paling sedikit berkisar puluhan juta rupiah, dan bahkan milyaran rupiah untuk menjadi anggota DPR RI. Sementara ketika terpilih kelak, masih harus mengeluarkan biaya untuk memelihara atau membayar jasa baik para konstituen yang telah memilihnya. Sehingga honor dan pendapatan resmi yang diterima dirasa tidak mencukupi. Wal hasil harus mencari ‘seseran’ dari proyek proyek pembangunan atau mencari pendapatan tidak resmi yang dibuat seolah resmi.

Kesibukan mencari pendapatan tidak resmi tersebutlah yang kemudian mencuat dalam kasus ‘papa minta saham’ di DPR RI atau Operasi Tangkap Tangan di DPRD Banten karena menerima suap dari BUMD. Sehingga anggota legislative yang seharusnya menjadikan aspirasi rakyat sebagai bagian kesibukan, malah ter-alihkan oleh urusan mencari uang.

 Meminjam Meminjam istilah Mancur Olson dalam bukunya yang berjudul Power and Posperity yang memakai istilah roving bandits dan stationary bandits. Maka demokrasi di Indonesia hari ini bagaikan melahirkan roving bandits yang berusaha menghabiskan sebanyak mungkin sumber daya selagi ada kesempatan berkuasa sebelum digantikan oleh calon penguasa baru melalui mekanisme pesta demokrasi 5 tahunan

Fenomena yang sama juga melanda birokrasi kita dibawah kepemimpinan para kepala daerah hasil kerja sistem politik. Karena ketika meraih jabatan sebagai kepala daerah membutuhkan modal yang besar, maka tentunya sesuatu yang manusiawi jika ketika memimpin mengutamakan kembalinya modal yang telah dikeluarkan. Sehingga yang menjadi prioritas di benaknya bukanlah kepentingan masyarakat secara utuh.

Dengan demikian demokrasi yang berasal dari kata demos dan kratos yang memiliki makna leksikal pemerintahan rakyat, atau pemerintahan yang bekerja untuk rakyat, mengalami pergeseran istilah menjadi moneycracy atau sistem pemerintahan yang digerakan oleh uang dan untuk mencari uang. Karena ternyata uang atau materi yang menjadi focus kesibukan para penyelenggara kepemerintahan yakni birokrasi dan politisinya, bahkan masyarakat yang memilih parpol, legislative, dan kepala daerahnya karena lebih tergiur iming iming beberapa bungkus mie instan+ kerudung + sarung+amplop berisi uang sebagai bagian dari praktik money politik. Dan bahkan melanda para akademisi untuk mendapat dukungan biaya pendidikan serta para alim ulama untuk sekedar mendapatkan fasilitas haji dan umroh gratis.

Apakah sudah saatnya kita ucapkan selamat datang moneycracy dan selamat tinggal democracy ? biarlah sang waktu yang akan menjawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun