Tentunya para pembaca ingat bunyi syair lagu yang dibawakan oleh Rhoma Irama bahwa “yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin”. Kalimat tersebut menemukan kebenarannya dalam kehidupan politik saat ini, dimana untuk menjadi seseorang pekerjal di bidang politik harus mengeluarkan banyak biaya.
Saat seseorang akan menjadi calon legislative (caleg) terutama di daerah pemilihan yang ‘keras’, maka tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk bersaing merebut suara masyarakat. Paling sedikit berkisar puluhan juta rupiah, dan bahkan milyaran rupiah untuk menjadi anggota DPR RI. Sementara ketika terpilih kelak, masih harus mengeluarkan biaya untuk memelihara atau membayar jasa baik para konstituen yang telah memilihnya. Sehingga honor dan pendapatan resmi yang diterima dirasa tidak mencukupi. Wal hasil harus mencari ‘seseran’ dari proyek proyek pembangunan atau mencari pendapatan tidak resmi yang dibuat seolah resmi.
Kesibukan mencari pendapatan tidak resmi tersebutlah yang kemudian mencuat dalam kasus ‘papa minta saham’ di DPR RI atau Operasi Tangkap Tangan di DPRD Banten karena menerima suap dari BUMD. Sehingga anggota legislative yang seharusnya menjadikan aspirasi rakyat sebagai bagian kesibukan, malah ter-alihkan oleh urusan mencari uang.
Meminjam Meminjam istilah Mancur Olson dalam bukunya yang berjudul Power and Posperity yang memakai istilah roving bandits dan stationary bandits. Maka demokrasi di Indonesia hari ini bagaikan melahirkan roving bandits yang berusaha menghabiskan sebanyak mungkin sumber daya selagi ada kesempatan berkuasa sebelum digantikan oleh calon penguasa baru melalui mekanisme pesta demokrasi 5 tahunan
Fenomena yang sama juga melanda birokrasi kita dibawah kepemimpinan para kepala daerah hasil kerja sistem politik. Karena ketika meraih jabatan sebagai kepala daerah membutuhkan modal yang besar, maka tentunya sesuatu yang manusiawi jika ketika memimpin mengutamakan kembalinya modal yang telah dikeluarkan. Sehingga yang menjadi prioritas di benaknya bukanlah kepentingan masyarakat secara utuh.
Dengan demikian demokrasi yang berasal dari kata demos dan kratos yang memiliki makna leksikal pemerintahan rakyat, atau pemerintahan yang bekerja untuk rakyat, mengalami pergeseran istilah menjadi moneycracy atau sistem pemerintahan yang digerakan oleh uang dan untuk mencari uang. Karena ternyata uang atau materi yang menjadi focus kesibukan para penyelenggara kepemerintahan yakni birokrasi dan politisinya, bahkan masyarakat yang memilih parpol, legislative, dan kepala daerahnya karena lebih tergiur iming iming beberapa bungkus mie instan+ kerudung + sarung+amplop berisi uang sebagai bagian dari praktik money politik. Dan bahkan melanda para akademisi untuk mendapat dukungan biaya pendidikan serta para alim ulama untuk sekedar mendapatkan fasilitas haji dan umroh gratis.
Apakah sudah saatnya kita ucapkan selamat datang moneycracy dan selamat tinggal democracy ? biarlah sang waktu yang akan menjawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H