Mohon tunggu...
Boyke Pribadi
Boyke Pribadi Mohon Tunggu... Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten -

menulis berbagai hal dalam kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kehormatan Pemilu

19 Maret 2014   21:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:44 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sesungguhnya yang lebih berharga dari uang adalah kehormatan”, kalimat ini sering kali didengar sebagai sebuah pesan dari para orang tua kepada anaknya. Padahal inti dari kalimat ini merupakan rahasia untuk mencapai kehidupan yang baik. Itulah sebabnya banyak kalimat bijak yang berasal dari seluruh belahan dunia manapun mengatakan bahwa Kehormatan adalah diatas segalanya dalam hidup ini. Karena memang salah satu tujuan hidup adalah meraih kehormatan hidup sebagai manusia sesungguhnya.

Menyimak fenomena yang sedang marak saaat ini adalah pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia, penulis teringat sebuah kalimat dari Kofi Annan mantan sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (1997-2006) tentang ‘Integritas Pemilu’. Menurut Anan hanya pemilu yang dilakukan dengan integritas yang dapat menghasilkan pejabat terpilih yang mewakili kepentingan masyarakat pemilih. pemilihan yang akan dilakukan dengan integritas  harus  didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi hak pilih universal dan kesetaraan politik , dan  profesional , tidak memihak dan transparan dalam persiapan serta administrasi sepanjang siklus pemilu.

Guna menjaga integritas pemilu maka setiap penyelenggara pemilu seperti KPU, BAWASLU, dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), hingga jaringan ke bawahnya sampai kepada tingkat KPPS selalu disumpah dan dipersyaratkan dengan 12 azas penyelenggara pemilu sebagai mana yang disebut dalam BAB II pasal 2 UU 15/2011, bahwa penyelenggara pemilu berpedoman pada azas: mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas.

Dari arti katanya, integritas adalah keutuhan, atau kesatuan yang utuh. Kalau dalam kehidupan sehari hari, pribadi yang memiliki integritas dapat dipahamkan sebagai pribadi yang memiliki kesatuan yang utuh antara niat, pikiran, perasaan, ucapan lisannya, dan perilakunya sehari hari. Jadi pribadi yang penuh integritas akan tampil jujur apa adanya sesuai antara perkataan dan perbuatan.

Dengan demikian, Integritas Pemilu akan mengikat seluruh aktor yang berperan dalam pemilu seperti ; parpol, caleg, penyelenggara, pemerintah, dan masyarakat pemilih untuk bersama sama menjalankan seluruh tahap pemilu, sejak dari persiapan, pelaksanaan, hingga proses penetapan hasilnya dengan penuh kesungguhan yang memperhatikan dan mengutamakan tujuan dari diadakannya pemilu, yakni memilih para wakil rakyat dan pemimpin masyarakat.

Namun demikian mengingat masih sangat banyak masyarakat kita yang awam dan tidak begitu peduli dengan proses bekerjanya sistem demokrasi, maka tentu tugas dan kewajiban menjaga integritas pemilu berada di tangan parpol, pemerintah, dan penyelenggara yang dianggap lebih memahami makna dan tujuan dari sistem demokrasi yang dijalankan di Republik ini.

Memang bangsa ini telah berkali kali menjalankan kegiatan pemilu namun bila merujuk kepada analisis R. Wiliiam Liddle bahwa “proses penyelenggaraan pemilu selama rezim orde baru, lebih merupakan selebrasi demokrasi yang artificial, tidak menyentuh substansinya. Bahkan untuk sebuah demokrasi prosedural-pun jauh dari memenuhi persyaratan, karena pemilu yang berlangsung secara tidak fair, penuh kecurangan, pemaksaan kehendak bahkan intimidasi” (R.wiliam Liddle, 2008)

Seiring berjalannya waktu dan semakin terbukanya informasi, maka gaya pemilu orde baru tentunya tidak bisa dilakukan kembali pada saat ini, karena hanya akan melahirkan pemimpin yang tidak legitimatif dan sangat rentan menimbulkan krisis kepercayaan di tengah-tengah masyarakat pemilihnya. Namun demikian bukan berarti pemilu dalam era reformasi bisa berjalan sempurna sebagai salah satu langkah memilih wakil rakyat dan pemimpinnya. Sebab bila pada era orde baru siapapun termasuk penyelenggara pemilu bisa di intervensi oleh kekuasaan pemerintah yang sangat besar, dan para pemilih dapat di-intimidasi scara represif, maka pada pemilu setelah era reformasi masih memiliki celah untuk menyimpangkan integritas para penyelenggara pemilu dan pihak aparat pemerintah yang terkait dengan pemilu.

Celah yang membahayakan pada pemilu era reformasi ini adalah adanya intervensi materi yang bisa di’tembakkan’ kepada semua pihak sejak dari masyarakat pemilih, parpol, caleg, penyelenggara pemilu, hingga aparat pemerintah yang terkait dengan kegiatan pemilu. Materi atau uang yang diberikan kepada masyarakat pemilih, dimaksudkan untuk membeli suara secara langsung, agar masyarakat dapat memberikan suara kepada sang pembeli tanpa peduli latar belakang dan motif sang pembeli yang ingin menjadi wakil rakyat tersebut. Fenomena ini semakin menjadi lazim dan terbuka seiring berjalannya pemilu dan pemilihan kepala daerah sejak era reformasi. Padahal apapun bentuknya, pembelian suara ini bisa dikategorikan sebagi suap dalam proses demokrasi.

Intervensi materi terhadap parpol biasanya diberikan oleh pihak yang bernafsu ingin menjadi calon legislatif, melalui ‘pembelian’ nomor urut yang lebih membuka peluang kesuksesan sebagai anggota legislatif, sebut saja dengan istilah nomor peci untuk nomor urut 1 sampai 3 dan nomor urut sepatu untuk nomor diurut yang lebih besar dari 3. Meskipun sebenarnya, pada beberapa partai nomor urut tersebut tidak terlalu menentukan keberhasilan untuk menjadi anggota legislatif, namun paling tidak nomor urut kecil lebih mudah diingat oleh konstituen, ketimbang nomor urut besar yang mengharuskan calon lebih banyak berdoa agar dilirik dan dipilih oleh masyarakat pemilih.

Ternyata berdasarkan pengalaman, calegpun dapat juga di intervensi oleh materi untuk menghibahkan konstituennya kepada sesama caleg yang memiliki peluang yang lebih besar, bahkan penulis pernah mengetahui ada caleg yang sebenarnya masuk terpilih sebagai legislatif namun pada akhirnya harus menyerahkan peluangnya kepada caleg lain yang berani membeli kursi tersebut dengan alasan caleg yang terpilih membutuhkan biaya untuk menjalankan prosesi pernikahan.

Lebih parah lagi, intervensi materi telah menyeruak dikalangan penyelenggara pemilu, dan lebih banyak dilakukan pada tingkat paling bawah seperti KPPS dan PPS hingga PPK. Bahkan di beberapa daerah di indonesia tidak sedikit penyelenggara setingkat KPU propinsi/kabupaten  dan Bawaslu propinsi serta Panwaslu kabupaten yang diberhentikan karena diduga terlibat permainan dengan caleg dan calon kepala daerah.

Melihat kondisi diatas, maka sudah saatnya kita semua menyerukan penegakan kehormatan pemilu guna melawan gejala intervensi materi atau uang tersebut, karena seolah seluruh unsur tunduk terhadap hal tersebut. Sehingga ada seloroh di tengah tengah masyarakat yang berbunyi ‘dihadapan uang semua manusia sama’. Padahal sebagaimana kalimat pembuka pada opini ini bahwa masih ada yang lebih berharga di atas uang atau materi yaitu kehormatan.

Untuk menegakkan kehormatan pemilu, terutama guna menjaga integritas dari para penyelenggara pemilu, maka untuk pertama kali dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia, pada tahun  2007 melalui UU 22/2007 dibentuk Dewan Kehormatan KPU guna menjaga integritas KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum. Jika pada tahun 2007 Dewan Kehormatan KPU sebagai bagian terpadu dari KPU maka berdasarkan UU 15/2011 DK-KPU resmi berdiri sendiri dengan nama Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemilihan umum disamping KPU dan BAWASLU.

Mengutip penjelasan ketua DKPP Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH bahwa Tugas dan kewenangan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum) berkaitan dengan orang per orang pejabat penyelenggara pemilihan umum, baik KPU maupun Bawaslu. Dalam arti sempit, KPU hanya terdiri atas para komisioner di tingkat pusat, provinsi, dan di tingkat kabupaten/kota. Demikian pula dalam arti sempit, Bawaslu hanya terdiri atas pimpinan atau anggota Bawaslu tingkat pusat dan Bawaslu tingkat provinsi. Namun, dalam arti luas, penyelenggara pemilihan umum itu, baik dalam lingkungan KPU maupun Bawaslu, menyangkut pula para petugas yang bekerja secara tetap atau pun yang bekerja secara tidak tetap atau adhoc. Artinya DKPP hanya terkait dengan para penyelenggara pemilu, sehingga DKPP tidak mengurusi berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh Organisasi Peserta Pemilu selama proses pesta demokrasi berjalan ataupun kesalahan para calon kepala daerah selama proses pilkada berjalan.

Guna menangani pelanggaran kode etik penyelenggaraan  pemilu oleh para penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten/kota kebawah, maka DKPP merekrut mitra di tingkat propinsi sebagai unsur tim pemeriksa daerah yang terdiri dari 1 orang ex Oficio anggota DKPP Pusat, 1 orang ex oficio KPU Propinsi, 1 orang ex oficio Bawaslu propinsi, dan 2 orang tim pemeriksa dari unsur masyarakat umum.  Sehingga bila masyarakat baik masyarakat umum maupun caleg serta Organisasi Peserta Pemilu menemukan dugaan pelanggaran kode etik dari para penyelenggara pemilu dari tingkat kabupaten/kota kebawahnya, maka dapat melaporkan dugaan tersebut ke bawaslu di tingkat propinsi, dan bawaslu akan melaporkan dugaan pelanggaran kode etik tersebut ke DKPP Pusat, sehingga DKPP pusat akan memerintahkan tim pemeriksa daerah untuk melakukan verifikasi atas laporan tersebut, dan bila diketemukan bukti yang kuat maka akan dilakukan sidang kode etik yang melibakan pihak pelapor, pihak terlapor, saksi, saksi ahli untuk diperiksa guna mengetahui lebih detail tentang dugaan tersebut.  Setelah dilakukan sidang tersebut maka DKPP Pusat kan mengkaji untuk mengeluarkan keputusan menyangkut nasib pihak terlapor.

Dengan demikian, hadirnya lembaga DKPP pada pemilu kali ini, diharapkan dapat menghasilkan pemilu berkualitas guna melahirkan wakil rakyat dan pemimpin yang memiliki integritas untuk melayani masyarakatnya. Meskipun terwujudnya pemilu yang ber-integritas ditengah tengah masyarakat yang permissive dan men-tolelir berbagai pelanggaran ini masih merupakan mimpi besar, namun mimpi ini dapat terwujud bila semua pihak menjunjung tinggi kehormatan pemilu, apalah artinya kemenangan bila didapat dengan meng-abaikan kehormatan diri.  Semoga kita semua dilindungi oleh Allah SWT dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang kehilangan kebanggan dan kehormatan sebagai sebuah masyarakat yang beradab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun