Pagi itu ketika putriku hendak berangkat sekolah, ia menemukan seekor Pipit yang tergeletak di halaman rumah. Tubuhnya lemah bulunya basah.
"Ayah, bolehkah ia kupelihara?" pintanya dengan rasa iba.
"Tidak bisa!" jawabku cuek saja.
"Kenapa?" lagi ia bertanya.
"Untuk apa kamu pelihara Pipit? Burung yang tak berguna! Lagi pula nambah-nambah kerjaanmu saja!" Aku santai saja. Ia berlari ke dalam mencari kardus, bertemulah kotak kecil di balik meja setrika. Ditaruhnya burung kecil itu kedalam kotak.
"Sepertinya ia lagi sakit, kasihan tak ada yang merawatnya." Ia bergumam sendiri.
"Cepat cuci tanganmu, kalau tak ingin tertular sakitnya!" perintahku padanya. Bersungut-sungut ia pergi ke kran di samping rumah.
Bunyi klakson motor mamanya mengagetkan dirinya. Pertanda ia cepat-cepat naik ke boncengan agar tak terlambat masuk sekolah.
"Tolong jagain, ya, Yah! Nanti sepulang sekolah akan aku urus." Ia pun berlalu dibawa mamanya.
"Enak aja!" ujarku seperti ditujukan bukan pada siapa-siapa.