Ada yang membuat saya sedih belakangan ini. Terkadang saya membandingkan diri, bagaimana bapak membesarkan kami anak-anaknya dengan saya membesarkan anak. Beliau punya kekuasaan otonom bagaimana mendidik dan membesarkan kami. Meskipun kami tinggal dalam keluarga besar, dan bapak adalah Urang Sumando di rumah emak, tapi kalau bapak marah karena kenakalan kami, saudara-saudara emak atau kakek dan nenek, tidak pernah turut campur.
Perlu diketahui, dalam budaya Minang, seorang pria kalau berkeluarga maka ia akan masuk ke keluarga istri, dan itu disebut Urang Sumando. Tapi kalau ia mampu dan sepakat dengan istrinya, boleh ngontrak atau punya rumah sendiri.
Nah, ini yang tak pernah terpikirkan oleh saya. Dulu ketika menikah, saya dan istri tinggal di Jakarta. Tapi setelah beberapa lama, saya memutuskan pulang ke kampung halaman, dan saya tinggal dengan keluarga istri. Saya pikir, saya akan mengalami hal yang sama dengan bapak. Ternyata beberapa tahun, setelah 2 anak saya lahir, sesuatu terjadi. Kebersamaan saya dengan istri berakhir, hanya karena ibu mertua. Ibu mertua merasa punya hak dan intervensi terhadap ke-otonom-an saya. Itu yang tidak saya suka. Sementara istri terlalu takut sama ibunya.
Istri saya seorang wanita pekerja. Otomatis, kedua anak saya diasuh oleh neneknya. Tapi setahun yang lalu, sebelum punya pekerjaan konvensional alias ngantor seperti sekarang, saya bekerja di rumah sebagai penulis dan freelance content writer untuk beberapa media online. Mungkin ini yang tidak disenanginya, melihat saya hanya berkurung di dalam kamar tak boleh diganggu. Pertengkaran yang membuat saya angkat kaki dan kembali ke rumah orangtua. Saya pulang ke rumah ortu dengan perasaan seperti orang kalah, tidak bisa melawan. Ternyata pihak ketiga yang merusak hubungan suami istri, tidak saja ada karena salah satunya berselingkuh, tapi juga faktor mertua. Ini yang tidak saya antisipasi dari dulu.
Tapi semua sudah terjadi. Bukannya saya mengecilkan arti beliau. Kontribusinya juga banyak dalam kehidupan keluarga kecil kami. Beliaulah yang mengurus urusan rumah tangga karena istri bekerja. Memasak dan mengurus cucu-cucunya. Mungkin karena hal itu, ia merasa punya hak dalam mendidik cucunya.
Aih... saya ngomongin apa, sih? Kok, malah curcol? Oke, kita kembali ke topik.
Saya dan istri sebenarnya tidak pernah ada masalah. Susah dan senang kami lakoni bersama. Dan walau kehidupan kami sekarang ini terpisah, tapi setiap ada kesempatan kami akan berkumpul di luar bersama anak-anak. Salah satu tempat favorit yang sering kami kunjungi adalah KFC yang ada di Jalan A. Yani.
Kenapa KFC? Karena di KFC A. Yani berada di lokasi yang strategis di tengah kota, dekat dengan rumahku, dekat dengan rumah istri, tidak terlalu jauh dari tempat kerja, dan dekat dari sekolah anak. Yang kedua, kedua anakku suka makan ayam goreng. Ketiga, dan ini yang paling penting, KFC tempat favorit kami ini, ada arena bermain anak-anaknya juga.
Kedua anakku, suka makan sambil bermain. Di saat mereka bermain, saya dan istri mencoba untuk kembali menyatukan hati, berkomunikasi intens, menyusun rencana ke depan di saat anak-anak asyik bermain. Tentu ada percakapan kami yang tidak boleh diketahui anak-anak. Kalau di tempat lain, mereka bisa mendengarkan percakapan kami, dan bisa jadi ikut nimbrung. Maklumlah anak-anak jaman sekarang, mereka kritis sekali.
“Uda, ingat tidak waktu pertama kali kita berkenalan? Uda mengajak saya makan di KFC, dan Uda memesan menu yang sama seperti menu sekarang ini. Paket lunch box KFC.”