“Apa yang Uda lakukan di kamar saya?” tanya Mas S. Aji dengan suara sedingin es. Aku gelagapan. Tertangkap basah mencuri, membuatku gugup tidak kira-kira.
“Uda pasti mau mencuri di kamar saya!” tuduhnya langsung.
“Aku tidak mencuri!” aku mengelak.
“Masuk kamar orang tanpa ijin sama artinya mencuri! Uda pasti mau mencuri uang saya. Saya sudah menduganya. Tapi sayang, Uda terlalu terlalu goblok mengira saya menyimpan uang tersebut di atas lemari. Asal tahu saja, uang itu tidak saya simpan di sana, tapi saya taruh dalam tas dan sengaja saya taruh di atas ranjang.”
Kemudian ia meraih tasnya itu dan mengeluarkan uangnya. Bergepok-gepok uang lembaran merah bergambar tokoh proklamator terlihat menyilaukan mata.
“Uda pasti mau mengincar uang ini, kan?” tuduhnya telak.
“Mas Mas Aji. Aku tidak tertarik dengan uang itu. Aku juga tidak tertarik dengan benda-benda berharga di kamar ini. Kalau soal uang, aku juga punya. Kalau tidak percaya, lihat isi dompetku,” jawabku sembari mengeuarkan dompet dari saku belakang celana. Inilah yang membuatku heran. Entah mengapa aku punya dompet. Seumur-umur aku tidak punya dompet dan pantang untuk punya. Aku lebih suka menaruh di saku celana belakang semua uangku. Uang baru seringkali lusuh ditanganku karena terlalu lama diduduki dan kena keringat pantat.
“Lalu, apa tujuan Uda masuk ke kamarku?” cecarnya lagi.
Aku terdiam. Karena tidak punya alasan lagi, akhirnya aku mengaku kalau aku berniat mencuri puisi karya S Aji.
“Untuk apa puisiku Uda curi?”
Haruskah aku jujur padanya? Lama sekali aku terdiam, berusaha mencari dalih. Akhirnya akupun berterus terang kepadanya.