Mohon tunggu...
Boydo Saragih
Boydo Saragih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pemerhati Hukum

Mahasiswa S1 Ilmu Hukum UNSRAT Manado, konsentrasi di bidang Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Evaluasi UU TPKS Indonesia Berdasarkan Penelitian Jeroen ten Voorde; Belajar dari UU TPKS Belanda

31 Oktober 2024   09:57 Diperbarui: 31 Oktober 2024   10:16 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Media Unram

Belanda baru-baru ini menerapkan undang-undang baru yang mengatur kekerasan seksual dengan pendekatan yang lebih ketat dan berpihak pada korban. Pada Maret 2024, Belanda secara resmi mengganti model UU kekerasan seksual mereka dengan peraturan yang tidak hanya melihat aspek pemaksaan atau ancaman dalam kasus kekerasan seksual, tetapi lebih menekankan persetujuan aktif dari semua pihak yang terlibat. Dalam UU baru ini, persetujuan harus jelas, eksplisit, dan tidak sekadar diartikan sebagai "tidak adanya penolakan." Artinya, tanpa adanya persetujuan eksplisit, tindakan seksual dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pendekatan ini bertujuan untuk menghapus pembelaan klasik yang sering kali menyudutkan korban, seperti anggapan bahwa "korban tidak melawan," dan menempatkan tanggung jawab pada pelaku untuk memastikan adanya persetujuan yang tegas. Langkah ini juga sejalan dengan Konvensi Istanbul yang mendorong setiap negara anggotanya, termasuk Belanda, untuk mengutamakan perlindungan terhadap hak korban kekerasan seksual.Berbeda dengan aturan di Indonesia, yang masih menggunakan unsur pemaksaan atau ancaman sebagai elemen utama untuk menuntut pelaku, Belanda kini mengakui bahwa ketiadaan persetujuan sudah cukup sebagai dasar untuk menuntut tindak kekerasan seksual. Undang-undang ini mengatur bahwa pemerkosaan dan pelecehan seksual dapat terjadi meskipun tanpa adanya kekerasan fisik. Hal ini memberikan kemudahan bagi korban untuk melaporkan kasus yang mereka alami tanpa harus menghadapi beban pembuktian yang berat, seperti bukti adanya luka fisik atau penolakan keras. Perubahan ini mencerminkan kesadaran hukum di Belanda yang semakin mendalami aspek-aspek psikologis dan sosial yang mempengaruhi korban kekerasan seksual. Banyak korban yang merasa sulit untuk melawan atau bahkan berbicara ketika mereka berada dalam situasi yang membuat mereka tertekan atau takut. Dalam kasus-kasus tersebut, UU  baru ini dapat memberi perlindungan lebih karena fokusnya tidak hanya pada respons korban, tetapi juga pada tanggung jawab pelaku untuk memahami situasi secara lebih cermat dan bijak.

Salah satu aspek menarik dalam undang-undang ini adalah pembagian tindak pidana kekerasan seksual ke dalam dua kategori utama: tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan (intensional) dan yang dilakukan karena kelalaian (negligence). Dalam kategori kesengajaan, pelaku dianggap dengan sengaja melakukan tindakan seksual tanpa persetujuan dari korban. Sedangkan dalam kategori kelalaian, pelaku mungkin tidak secara eksplisit berniat melanggar, tetapi bertindak dengan kelalaian terhadap tanda-tanda atau keadaan yang menunjukkan bahwa korban tidak setuju atau tidak nyaman. Misalnya, dalam situasi di mana korban dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar atau terlalu tertekan untuk menolak, hukum ini memandang bahwa pelaku seharusnya menyadari adanya kemungkinan korban tidak setuju. Kelalaian pelaku dalam memahami situasi ini tetap bisa menjadi dasar untuk menuntutnya secara pidana. Ini adalah salah satu bentuk perlindungan hukum baru yang dianggap sangat membantu dalam menangani kasus-kasus yang kompleks, di mana faktor emosional atau psikologis memainkan peran penting.

Selain itu, undang-undang ini memperkenalkan konsep 'duty of care' atau kewajiban untuk berhati-hati dan memastikan adanya persetujuan yang sah dari korban sebelum melakukan tindakan seksual. Jika pelaku tidak memverifikasi apakah korban benar-benar setuju atau hanya diam karena takut atau merasa tertekan, maka pelaku bisa dinilai telah melanggar kewajiban ini. Dengan kata lain, dalam UU Kekerasan Seksual Belanda yang baru, pelaku memiliki tanggung jawab untuk memastikan persetujuan yang tulus dan bukan hanya asumsi bahwa korban setuju. Konsep ini menjadi penting dalam mencegah pelaku menyalahgunakan ketidaksanggupan atau keadaan korban sebagai alasan untuk membela diri. Di Indonesia, aturan seperti ini belum diterapkan, dan kebanyakan kasus kekerasan seksual masih fokus pada aspek pemaksaan fisik, yang membuat banyak korban merasa sulit untuk mendapatkan keadilan.

Penerapan undang-undang baru ini di Belanda juga mencerminkan jawaban pemerintah atas tuntutan masyarakat dan kritik terhadap sistem hukum yang terlalu fokus pada aspek kekerasan fisik dalam kekerasan seksual, tanpa memperhitungkan situasi kompleks yang kerap dialami korban. Penelitian dan data kasus kekerasan seksual menunjukkan bahwa banyak korban yang tidak melawan bukan karena mereka menyetujui, melainkan karena kondisi psikologis dan ketakutan yang membuat mereka terpaksa diam. Oleh karena itu, UU ini mencerminkan kesadaran hukum yang lebih progresif dalam melindungi hak-hak korban secara menyeluruh.

Meski Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di Indonesia merupakan langkah maju dalam perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual, aturan ini masih menghadapi beberapa kendala jika dibandingkan dengan pendekatan yang lebih komprehensif seperti yang diterapkan di Belanda. Fokus utama UU TPKS Indonesia masih pada unsur pemaksaan atau ancaman sebagai dasar pidana, yang berarti bahwa korban harus menunjukkan bukti adanya paksaan atau kekerasan fisik untuk memperkuat klaim mereka. Pendekatan ini seringkali membuat korban merasa terbebani dengan tanggung jawab pembuktian, terutama dalam kasus di mana kekerasan atau ancaman tidak terlihat secara fisik, tetapi tetap menimbulkan trauma mendalam bagi korban.

Jika berkaca pada model UU Kekerasan Seksual Belanda, yang berfokus pada persetujuan aktif dan kewajiban pelaku untuk memverifikasi kesediaan korban, Indonesia dapat mempertimbangkan untuk memperkuat aspek persetujuan dalam aturan hukumnya. Mengintegrasikan konsep seperti 'duty of care' atau kewajiban memeriksa persetujuan dapat membantu mencegah interpretasi yang menyudutkan korban, di mana ketidaksanggupan korban melawan dianggap sebagai persetujuan. Pendekatan ini juga mengakui bahwa tidak semua korban dapat menunjukkan perlawanan fisik karena berbagai alasan psikologis atau sosial yang mungkin memengaruhi respons mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun