Mohon tunggu...
Boydo Saragih
Boydo Saragih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pemerhati Hukum

Mahasiswa S1 Ilmu Hukum UNSRAT Manado, konsentrasi di bidang Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Polemik Pernyataan Yusril, Apa Dasar Menyebutkan Bahwa Peristiwa 1998 Bukan Pelanggaran HAM Berat?

23 Oktober 2024   16:10 Diperbarui: 23 Oktober 2024   16:59 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Jakarta Islamic Centre

Pernyataan Prof. Yusril Ihza Mahendra bahwa peristiwa Mei 1998 tidak termasuk kategori pelanggaran HAM berat memicu polemik dalam wacana hukum dan keadilan. Menurut Yusril, pelanggaran HAM berat mensyaratkan adanya tindakan yang sistematis dan meluas dengan kebijakan negara yang terstruktur, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

. Dalam pernyataannya, ia berargumen bahwa kekerasan saat peristiwa tersebut lebih merupakan tindak pidana individu dan bukan hasil kebijakan resmi pemerintah yang terencana dan terstruktur

Namun, pendapat ini mendapat kritik karena dianggap mengabaikan realitas fakta di lapangan. KontraS dan berbagai pihak menyatakan bahwa penembakan mahasiswa dan kerusuhan yang terjadi mencerminkan adanya pelanggaran sistematis yang melibatkan aparat keamanan negara. 

Komnas HAM melalui KPP HAM juga telah menyimpulkan bahwa terdapat indikasi pelanggaran HAM berat, tetapi upaya hukum terhambat oleh sikap tidak kooperatif dari beberapa lembaga negara serta keputusan Pansus DPR yang menyebut tidak ada pelanggaran HAM berat. 

Namun, Dua hari setelah pernyataannya mengenai peristiwa Mei 1998 menuai kontroversi, Yusril Ihza Mahendra memberikan klarifikasi kepada wartawan.

Secara etimologis, "pelanggaran" berasal dari kata dasar "langgar" yang berarti melewati batas atau aturan yang telah ditetapkan. Dalam konteks hukum, istilah ini merujuk pada tindakan yang melanggar ketentuan hukum atau norma yang berlaku. 

Secara filosofis, pelanggaran mencerminkan perbuatan yang menyimpang dari aturan moral, hukum, atau adat yang diakui oleh suatu masyarakat. Misalnya, Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan menjelaskan bahwa tanpa aturan yang jelas, kekacauan akan muncul, sehingga hukum berfungsi untuk menjaga ketertiban dengan memberi batasan pada perilaku manusia.

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada setiap individu sejak lahir, bersifat universal, dan tidak dapat dicabut oleh siapa pun. Istilah "right" dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin "rectus," yang berarti sesuatu yang lurus atau benar, mencerminkan bahwa HAM adalah hak yang benar dan adil untuk dimiliki setiap orang.

 Filosof John Locke dalam Two Treatises of Government berargumen bahwa hak hidup, kebebasan, dan properti adalah hak fundamental yang harus dilindungi negara, dan pelanggaran terhadap hak-hak ini merupakan serangan terhadap keadilan dan kebebasan.

Pelanggaran HAM berat melibatkan tindakan sistematis atau meluas yang melanggar hak-hak dasar individu, seperti genosida, penyiksaan, atau perbudakan. Konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Roma 1998 mengatur bahwa tindakan-tindakan ini tidak hanya melanggar hukum nasional tetapi juga melanggar norma-norma internasional yang diakui secara universal.

 Ahli hukum internasional, Antonio Cassese, dalam bukunya International Criminal Law menekankan bahwa pelanggaran HAM berat mencakup tindakan yang dilakukan dengan niat jahat dan berdampak besar pada komunitas atau kelompok, sehingga membutuhkan penanganan melalui sistem peradilan internasional.

Pelanggaran HAM berat, menurut ahli hukum internasional seperti Antonio Cassese, didefinisikan sebagai tindakan yang melanggar hak-hak fundamental manusia secara sistematis dan meluas, serta dilakukan dengan niat jahat.

 Tindakan seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan masuk dalam kategori ini karena adanya pola tindakan yang terorganisir, bukan sekadar pelanggaran individual. 

Dalam bukunya International Criminal Law, Cassese menekankan bahwa pelanggaran ini harus dilakukan dengan niat terencana yang melibatkan aktor-aktor negara atau pihak dengan kekuasaan yang signifikan.

Keputusan dari lembaga HAM internasional, seperti Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), memberikan standar bahwa pelanggaran HAM berat harus memenuhi unsur "serangan meluas dan sistematis" terhadap populasi sipil. 

Dalam berbagai putusan, seperti pada kasus genosida Rwanda atau kejahatan perang di bekas Yugoslavia, penegak hukum internasional mencari bukti pola tindakan yang terkoordinasi, adanya kebijakan resmi, atau setidaknya persetujuan dari otoritas untuk melakukan kekerasan yang melanggar HAM. 

Instrumen internasional, seperti Konvensi Jenewa dan Statuta Roma, menjadi acuan utama dalam mendefinisikan dan mengadili pelanggaran ini.

Jika merujuk pada sudut pandang Komnas HAM RI, pelanggaran HAM berat diartikan sebagai tindakan yang memenuhi syarat-syarat kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida, yang dilakukan secara meluas atau sistematis. 

Dalam penyelidikannya terhadap kasus Trisakti, Semanggi I, dan II, Komnas HAM menyatakan bahwa peristiwa tersebut memperlihatkan pola tindakan represif yang melibatkan aparat keamanan negara dan mengakibatkan kematian serta cedera berat pada mahasiswa dan warga sipil. 

Namun, Komnas HAM menghadapi kendala politik dan hukum dalam mendorong penyelesaian kasus ini di pengadilan HAM ad hoc.

Secara historis dan filosofis, peristiwa Mei 1998 di Indonesia menunjukkan adanya tindakan kekerasan yang diorganisir oleh aparat keamanan dalam menanggapi demonstrasi massa. 

Berdasarkan kriteria hukum internasional, tindakan ini berpotensi memenuhi unsur pelanggaran HAM berat karena adanya penggunaan kekuatan secara meluas dan adanya korban yang jelas teridentifikasi.

Namun, keputusan Pansus DPR dan pernyataan beberapa pejabat hukum saat itu, termasuk upaya Yusril untuk menyatakan peristiwa tersebut bukan pelanggaran berat, mencerminkan dilema politik yang memperlambat proses hukum.

 hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang keseriusan komitmen terhadap perlindungan HAM di Indonesia dan tanggung jawab untuk menegakkan keadilan bagi korban.

Pernyataan Yusril Ihza Mahendra bahwa peristiwa Mei 1998 tidak termasuk kategori pelanggaran HAM berat menuntut analisis kritis dari sudut pandang hukum dan nilai-nilai moral yang mendasarinya. 

Pendekatan yang menekankan pada pemahaman sempit mengenai pelanggaran HAM berat yang mensyaratkan tindakan sistematis dan terencana oleh negara dapat diperdebatkan dengan mengingat fakta di lapangan yang menunjukkan adanya pola kekerasan terkoordinasi oleh aparat keamanan. 

Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai apakah argumen tersebut mencerminkan pemahaman hukum yang terlalu akademis dan mengabaikan realitas sosial yang dihadapi masyarakat Indonesia pada saat itu. 

Dalam konteks hukum internasional, pelanggaran HAM berat tidak dapat dilihat hanya dari tindakan individu, tetapi juga dari dampaknya terhadap masyarakat secara keseluruhan.

Mengabaikan fakta bahwa banyak korban yang jelas teridentifikasi dan mengalami kekerasan secara meluas dapat dianggap sebagai upaya untuk mengelak dari tanggung jawab negara. 

Sebagai seorang ahli hukum, seharusnya terdapat pertimbangan bahwa pelanggaran HAM berat tidak hanya melibatkan niat jahat, tetapi juga implikasi moral dari tindakan yang dilakukan oleh negara. Dalam hal ini, perspektif axiology yang berkaitan dengan nilai dan etika menjadi sangat penting. 

Hukum tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai kemanusiaan; oleh karena itu, setiap tindakan yang merugikan hak-hak fundamental individu harus dianggap sebagai pelanggaran serius, terlepas dari apakah tindakan tersebut dilakukan secara sistematis atau tidak. 

Penilaian moral terhadap kekerasan yang dilakukan oleh negara merupakan elemen kunci dalam memahami komitmen terhadap hak asasi manusia.

Keadilan tidak hanya dituntut dalam ranah hukum, tetapi juga harus mencakup pertimbangan moral yang lebih mendalam. Dalam kasus pelanggaran HAM, penegakan hukum seharusnya mencerminkan komitmen untuk melindungi hak-hak dasar setiap individu dan menuntut pertanggungjawaban bagi pelanggar. 

Pertanyaan yang muncul adalah apakah sistem hukum di Indonesia cukup responsif untuk menangani pelanggaran berat yang telah terjadi, atau justru terjebak dalam dilema politik yang menghalangi keadilan. 

Dengan demikian, penting untuk mendorong dialog yang lebih luas mengenai pelanggaran HAM dan menuntut transparansi serta akuntabilitas dari pemerintah dalam menegakkan hukum. 

Keberanian untuk mengakui kesalahan masa lalu dan berkomitmen pada perlindungan HAM di masa depan menjadi langkah awal yang krusial menuju keadilan yang sesungguhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun