Ahli hukum internasional, Antonio Cassese, dalam bukunya International Criminal Law menekankan bahwa pelanggaran HAM berat mencakup tindakan yang dilakukan dengan niat jahat dan berdampak besar pada komunitas atau kelompok, sehingga membutuhkan penanganan melalui sistem peradilan internasional.
Pelanggaran HAM berat, menurut ahli hukum internasional seperti Antonio Cassese, didefinisikan sebagai tindakan yang melanggar hak-hak fundamental manusia secara sistematis dan meluas, serta dilakukan dengan niat jahat.
 Tindakan seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan masuk dalam kategori ini karena adanya pola tindakan yang terorganisir, bukan sekadar pelanggaran individual.Â
Dalam bukunya International Criminal Law, Cassese menekankan bahwa pelanggaran ini harus dilakukan dengan niat terencana yang melibatkan aktor-aktor negara atau pihak dengan kekuasaan yang signifikan.
Keputusan dari lembaga HAM internasional, seperti Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), memberikan standar bahwa pelanggaran HAM berat harus memenuhi unsur "serangan meluas dan sistematis" terhadap populasi sipil.Â
Dalam berbagai putusan, seperti pada kasus genosida Rwanda atau kejahatan perang di bekas Yugoslavia, penegak hukum internasional mencari bukti pola tindakan yang terkoordinasi, adanya kebijakan resmi, atau setidaknya persetujuan dari otoritas untuk melakukan kekerasan yang melanggar HAM.Â
Instrumen internasional, seperti Konvensi Jenewa dan Statuta Roma, menjadi acuan utama dalam mendefinisikan dan mengadili pelanggaran ini.
Jika merujuk pada sudut pandang Komnas HAM RI, pelanggaran HAM berat diartikan sebagai tindakan yang memenuhi syarat-syarat kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida, yang dilakukan secara meluas atau sistematis.Â
Dalam penyelidikannya terhadap kasus Trisakti, Semanggi I, dan II, Komnas HAM menyatakan bahwa peristiwa tersebut memperlihatkan pola tindakan represif yang melibatkan aparat keamanan negara dan mengakibatkan kematian serta cedera berat pada mahasiswa dan warga sipil.Â
Namun, Komnas HAM menghadapi kendala politik dan hukum dalam mendorong penyelesaian kasus ini di pengadilan HAM ad hoc.
Secara historis dan filosofis, peristiwa Mei 1998 di Indonesia menunjukkan adanya tindakan kekerasan yang diorganisir oleh aparat keamanan dalam menanggapi demonstrasi massa.Â