Mohon tunggu...
Boydo Saragih
Boydo Saragih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pemerhati Hukum

Mahasiswa S1 Ilmu Hukum UNSRAT Manado, konsentrasi di bidang Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mayor Teddy di Pusaran Kabinet Merah Putih: Melanggar Aturan atau Sekadar Anomali?

21 Oktober 2024   14:49 Diperbarui: 21 Oktober 2024   14:56 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Viva

Mayor Teddy, adalah seorang perwira menengah TNI Angkatan Darat (AD) yang namanya sempat disebut Presiden Prabowo masuk dalam jajaran bursa anggota Kabinet Merah Putih pada Minggu (20/10) malam. Namun, Mayor Teddy Indra Wijaya tidak ikut dilantik bersama menteri dan kepala lembaga Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, hari ini.

Nama Mayor Teddy sudah diumumkan Prabowo sebagai Sekretaris Kabinet pada Minggu (20/10) malam. Lalu, bolehkah perwira aktif TNI memegang jabatan sipil?

Prajurit TNI aktif menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI terdiri atas prajurit sukarela dan prajurit wajib, yang merupakan warga negara yang sedang mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan berdasarkan ikatan dinas dan tunduk kepada peraturan perundang-undangan.

Jabatan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah: pekerjaan (tugas) dalam organisasi atau pemeritahan yang berkenaan dengan pangkat dan kedudukan. Pengertian jabatan dapat ditarik dari penjabaran Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yaitu: "Jabatan negeri adalah jabatan dalam bidang eksekutif yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, termasuk didalamnya jabatan kesekretariatan lembaga tertinggi atau tinggi negara, dan kepaniteraan pengadilan".

Pengertian jabatan menurut Logemann dalam bukanya yang diterjemahkan oleh Makkatutu dan Pangkarayo yaitu: "...Lingkungan kerja awet, dan digaris batasi, dan yang disediakan untuk ditempati oleh pemangku jabatan yang ditunjuk dan disediakan untuk diwakili oleh mereka sebagai pribadi. Dalam sifat pembentukan hal ini harus dinyatakan secara jelas." Sesuai dengan pemahaman diatas, Logemann menghendaki suatu kontinuitas dan kepastian pada suatu jabatan supaya organisasi berfungsi dengan baik.

Militer sebagai suatu institusi harus memiliki hubungan yang harmonis dengan masyarakat dan pemerintah. Konsepsi yang paling sederhana adalah dengan menempatkan dirinya sebagai institusi yang netral dan memperlakukan semua pihak pada posisi yang sama. Namun pengalaman pada masa orde baru menunjukkan adanya pendekatan yang tidak seimbang dan dengan nyata memihak pada satu kekuatan sehingga menimbulkan kesan bahwa hanya ada dua kekuatan yang berkompetisi untuk mempertahankan posisi masing -- masing yaitu militer dan pemerintah, sementara masyarakat dianggap sebagai pelengkap saja. Sangat perlu rasanya apabila militer benar -- benar dapat melepaskan diri dari kepentingan politik dan selalu berpegang pada fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara. Kalaupun dirasa perlu untuk berpolitik, maka seharusnya menanggalkan identitas militernya dan kembali sebagai masyarakat sipil sehingga tidak terjadi loyalitas ganda. Sangat tidak baik apabila orang yang menempati fungsi pemerintahan harus tunduk pada dua atasan. Sudah menjadi kesan tersendiri bahwa peran politik menyebabkan penyimpangan fungsi pada instansi lainnya.

Hubungan sipil-militer di Indonesia sangat ditentukan saat fase revolusioner. Ada dua faktor yang menghubungkan kondisi perkembangan ini, yaitu kelemahan umum institusi sipil dan pihak militer yang sejak awal sudah terlibat. Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 3 November 1945 memperkenalkan sistem pemerintahan parlementer melalui Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang mendorong terbentuknya partaipartai politik. Presiden Soekarno yang cenderung lebih menyukai sistem parlementer dan menentang sistem multi partai membuatnya memilih ABRI sebagai sebuah kekuatan yang dapat menyaingi partai politik dalam format baru perpolitikan Indonesia. Disaat yang sama, karakteristik militer di Indonesia cenderung membentuk kelompok ini untuk ikut terlibat dalam perpolitikan. Tokoh penting lahirnya dwifungsi ABRI lainnya adalah Jenderal A.H. Nasution. Dalam pidatonya pada Dies Natalies AMN (Akademi Militer Nasional) November 1958, Nasution meyebutkan bahwa dwifungsi ABRI merupakan jalan tengah, yang tidak menginginkan ABRI hanya dianggap sebagai alat semata dari pemerintahan yang dikuasai politisi sipil.

Identitas TNI sebagai militer Indonesia dinyatakan dalam Pasal 2 UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara profesional dan tentara nasional, yang jika ditelaah maknanya adalah : Tentara Rakyat yakni tentara yang anggotanya berasal dari warga negara Indonesia. Tentara Pejuang adalah tentara yang berjuang dan tidak kenal menyerah untuk melaksanakan tugasnya dalam menegakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tentara Profesional yaitu tentara yang terdidik, terlatih, dan dilengkapi dengan baik, dan dijamin kesejahteraannya sehingga menutup ruang untuk politik praktis dan bisnis jabatan, serta mengikuti kebijakan politik negara yang berprinsip demokrasi, supremasi sipil, ketentuan hukum nasional dan internasional yang telah diratifikasi, dan hak asasi manusia. Tentara Nasional yaitu tentara yang berkebangsaan Indonesia yang menjadikan tugas negara diatas kepentingan daerah, suku, agama, dan ras.

Pasca era reformasi, terjadi pergeseran atas peranan dan fungsi TNI. Penyebabnya adalah timbul desakan-desakan di tengah masyarakat sipil yang menginginkan agar TNI kembali ke fokusnya sebagai alat pertahanan negara. Menurut Saurip Kadi, desakan keinginan tersebut muncul setelah pengalaman sejarah mengenai peristiwa-peristiwa buruk yang dialami oleh sebagian masyarakat akibat konsekuensi doktrin dan peran dwifungsi TNI sebelum reformasi.

Pembahasan yang perlu dikaji adalah ketika tindakan TNI yang yang notabenya adalah militer bersinggungan dengan ranah sipil. Polemik seperti ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Penjabaran mengenai faktor yang mempengaruhi keterlibatan militer dalam ranah sipil sendiri telah dijabarkan pada bab-bab terdahulu.

Keterlibatan TNI terhadap jabatan-jabatan sipil sebenarnya tidak benar-benar hilang setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Penghapusan dwifungsi ABRI dan pengurangan dan penarikan fraksi ABRI di Parlemen sampai tahun 2004 menjadi salah satu kemajuan pelaksanaan mandat reformasi agar TNI tidak lagi menduduki jabatan sipil.

Pembahasan ini menguat dan dirasa tepat untuk diangkat kembali setelah sebelumnya rapat pimpinan TNI pada tahun 2019 yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, Jenderal TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyampaikan sebuah wacana perlunya ditambahkan pos jabatan baru di internal maupun kementerian-kementerian bagi perwira tinggi TNI.

Pendapat ini dilatar belakangi bahwa perlunya mengakomodir sekitar 150 perwira tinggi dan 500 perwira menengah TNI yang berada posisi tanpa jabatan atau memegang 55 jabatan yang tidak sesuai dengan pangkatnya. Mengenai keterlibatan TNI terhadap jabatan sipil sendiri sebenarnya telah diatur secara jelas dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang berbunyi : "(1) Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritannya" Pada Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dikatakan bahwa persyaratan utama apabila anggota/prajurit TNI dapat menduduki pos jabatan pada lembaga ataupun kementerian yang berorientasi kearah masyarakat sipil adalah telah berada pada masa pensiunnya atau mengundurkan diri dan melepaskan statusnya sebagai prajurit TNI. Upaya ini dimaksudkan agar tidak ada anggota TNI yang merangkap atau mereposisi jabatan sipil pada masa dinasnya sehingga fokus sebagai alat pertahanan negara.

Kedudukan TNI adalah sebuah lembaga negara yang dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militernya berada dibawah presiden, dan berada dibawah koordinasi Departemen Pertahanan dalam hal kebijakan strategi, dukungan pertahanan, dan dukungan administrasi sehingga dalam setiap pengambilan tindakannya melalui intruksi Panglima TNI harus berdasarkan perintah Presiden yang telah dipertimbangkan dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. TNI juga berperan aktif sebagai penindak dan pemulih bagi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fungsi utama TNI adalah sebagai alat pertahanan negara, melalui tugas Operasi Militer Perang dan Operasi Militer Selain Perang yang tindakan dan ketentuannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Legalitas jabatan sipil oleh anggota TNI aktif, hanya dapat dilakukan oleh TNI yang sudah mengundurkan diri atau tidak lagi aktif keprajuritannya, kecuali dalam bidang koordinator Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun