Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Laporan Tahunan 2023, terdapat peningkatan jumlah kasus gratifikasi yang berhasil diungkap, dengan 47 kasus gratifikasi yang diproses hukum, naik dari 38 kasus di tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan peningkatan kesadaran pelaporan, tetapi juga memperlihatkan betapa masih banyaknya praktik gratifikasi yang terjadi di berbagai institusi.
Namun, penegakan hukum terhadap gratifikasi masih sering terhambat oleh sulitnya proses pembuktian dan adanya celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku. Aulia Pohan, dalam bukunya Pemberantasan Korupsi di Indonesia (2021), menyebutkan bahwa "tantangan terbesar dalam memberantas gratifikasi adalah membuktikan adanya niat atau motif di balik pemberian tersebut, yang sering kali bersifat terselubung dan sulit untuk dilacak secara langsung."Â
Banyak kasus gratifikasi yang lolos karena kelemahan dalam pengawasan internal dan eksternal, serta budaya "berterima kasih" yang masih mengakar di berbagai institusi pemerintahan dan swasta. Sehingga, meskipun regulasi sudah cukup memadai, implementasinya masih menghadapi kendala signifikan dalam hal transparansi dan akuntabilitas.
Kelemahan dalam regulasi dan penegakan hukum terkait gratifikasi di Indonesia menjadi salah satu penghambat utama dalam upaya pemberantasan korupsi. Meskipun UU No. 20 Tahun 2001 telah menyediakan kerangka hukum yang jelas, terdapat kelemahan dalam definisi dan ruang lingkup yang diatur, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum.Â
Menurut Studi Kasus Korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (2022), sekitar 63% responden menyatakan bahwa undang-undang yang ada tidak cukup efektif dalam mengatur gratifikasi dan banyaknya celah hukum yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk menghindari sanksi.
 Selain itu, adanya disparitas dalam implementasi antara berbagai lembaga penegak hukum, seperti KPK dan kepolisian, serta kurangnya pelatihan dan sumber daya untuk aparat penegak hukum, memperburuk situasi ini.Â
Arief Budiman dalam artikelnya menyatakan bahwa "kurangnya pemahaman dan komitmen dari aparat penegak hukum terhadap substansi hukum dan pentingnya pencegahan gratifikasi menyebabkan rendahnya efektivitas penegakan hukum di lapangan" (Budiman, 2020). Dengan demikian, meskipun terdapat regulasi yang mengatur, tantangan dalam implementasi yang konsisten dan efektif tetap menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.Â
Dampak sosial dan ekonomi dari praktik gratifikasi di Indonesia sangat signifikan dan merugikan. Praktik ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan dalam sistem pemerintahan, tetapi juga mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.Â
Menurut Laporan Korupsi Global 2023 yang dirilis oleh Transparency International, sekitar 76% responden di Indonesia merasa bahwa korupsi, termasuk gratifikasi, menghambat kemajuan ekonomi dan menurunkan kualitas layanan publik.
 Hal ini menciptakan persepsi bahwa akses terhadap layanan dan sumber daya negara tergantung pada kemampuan untuk memberikan gratifikasi, sehingga merusak integritas dan etika dalam pelayanan publik. Dampak jangka panjang dari praktik ini juga berpotensi mengurangi investasi asing dan domestik, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan ekonomi.
Rekonstruksi hukum terhadap gratifikasi perlu dilakukan untuk menciptakan kerangka yang lebih efektif dan adaptif dalam menanggulangi praktik ini. Perubahan yang diperlukan mencakup penyempurnaan definisi gratifikasi dalam undang-undang, serta penguatan sanksi bagi pelanggar.Â