Mohon tunggu...
Boy Daniel Pakpahan
Boy Daniel Pakpahan Mohon Tunggu... Profesional bidang Restoran dan Perhotelan -

life is a blessing

Selanjutnya

Tutup

Bola

Liverpool dan Mimpi

5 Oktober 2015   14:44 Diperbarui: 5 Oktober 2015   14:45 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua puluh lima tahun yang lalu. Seperempat abad sudah berlalu semenjak terakhir kali Liverpool FC menikmati euforia menjuarai (dahulu) Liga Inggris. Sampai sekarang di era Premiere League, belum pernah lagi Si Merah merasakan mahkota trofi Premiere League. Benar, bahwa mereka sempat menjadi kampiun nomor satu di Eropa pada malam penuh keajaiban di Istanbul 2005 lalu, tetapi itupun bukan dengan status sebagai "Raja Inggris". Kampiun PL waktu itu adalah Arsenal. Liverpool sendiri harus puas di peringkat keempat dengan perbedaan 30 poin dengan Arsenal, sang juara musim 2003/2004. Bermodalkan peringkat keempat, mereka berhak untuk tampil dalam babak kualifikasi Liga Champions. Sejarah mencatat, merekalah yang akhirnya menjadi Raja Eropa musim itu.

Tetapi untuk urusan domestik alias Premiere League, Liverpool masih belum bisa menumbangkan dominasi trio Arsenal, Chelsea dan Manchester United, belum lagi melesatnya Manchester City dan bertambah kuatnya Everton dan Tottenham Hotspur membuat persaingan Big Four kita berkembang menjadi Magnificent Seven.

Pelatih datang silih berganti, pemain datang dan pergi, namun trofi yang dinanti-nanti tidak kunjung tiba. Sampai akhirnya dalam satu musim 2013/2014 di mana Luis Suarez begitu menggila dengan gol demi golnya. Daniel Sturridge tidak kalah produktif menjebol gawang lawan. Liverpool begitu perkasa. Arsenal dan Manchester United takluk di Emirates dan Old Trafford. Manchester City pun sukses dijinakkan di Anfield. Semua fans fanatik Liverpool seperti sudah merasakan dahaga juara Premiere League akan segera terhapuskan. Mereka tidak lagi dipandang sebagai "sejarah" saja, tetapi mereka mampu mengaktualisasikan diri bahwa Liverpool sang legenda bukan hanya sekedar legenda tetapi kehebatan dinasti yang baru siap untuk dimulai. 

Namun apa daya, rupanya mimpi itu belum siap untuk turun ke bumi. Mimpi itu masih betah untuk bergelantungan di tautan bintang-bintang di langit. Masih terlalu jauh untuk digapai dan dicapai. Si Biru Chelsea menyandung Si Merah, dan Manchester City menyeruak tampil di garis terdepan. Selisih 2 angka dalam klasemen terakhir. Liverpool harus puas, walau tidak mungkin puas, berada di posisi kedua. Sebuah tragedi yang memilukan. Khususnya bagi sang kapten, sang bendera Liverpool, yaitu Steven Gerrard. Blunder yang mengirim Liverpool menghujam bumi dan menatap mimpi dengan air mata.

Suarez pergi. Para pengganti seharga puluhan juta euro datang menjanjikan harapan. Anak-anak muda bertalenta dan bertenaga siap menjadi masa depan dinasti yang baru. Sang komandan Brendan Rodgers tampak optimis. Suarez pergi, tidak masalah. Si Badut Bengal Balotelli datang dengan harapan dapat mengulang cerita sukses kala bersama Manchester City. Tetapi apa daya, jangankan meraih posisi kedua, bahkan dengan mengenaskan terlempar dari empat besar. Liverpool hanya mampu bertengger di posisi keenam. Tidak ada tempat di Liga Champions, beruntung masih ada tempat di Liga Europa. Musim lalu ditutup dengan pembantaian 1-6 di kandang Stoke City. Satu gol berbalas enam gol. Satu enam. 

Gerrard pergi. Mungkin sang kapten lelah menanti, atau justru sudah memasrahkan diri bila dirinya tidak akan pernah menggenggam erat trofi berkepalakan mahkota Premiere League. Liga Champions sudah pernah ia cium, piala Liga sudah pernah ia angkat tinggi, piala FA sudah pernah ia banggakan. Tetapi ini, juara Premiere League, adalah hirarki sejati sebagai klub Inggris legendaris. Giggs sudah berulang kali menciumnya. Terry sudah, Lampard sudah, Ferdinand sudah, tinggal dirinya. Ah, tetapi sudahlah. Biarlah mimpi itu terkubur. Ia tetap Steven Gerrard. Sang Legenda. Legenda yang tidak pernah membawa pulang medali juara Premiere League. Rasanya, ia cukup berbesar hati hidup dengan sejarah itu.

Musim belum berjalan, masalah rumit menerpa pemuda bernama Sterling. Putusan dijatuhkan. Jual saja anak muda itu! Para donatur di kota Manchester berbaju biru dengan senang hati menggelontorkan poundsterling bernilai jutaan buat sang anak muda itu. Jadi! Pergilah dia dengan segenap kekesalan dan pahit dari para pendukung Anfield Gank. Kini, kembali pemain baru berdatangan dengan label harga puluhan juta euro. Ada pemuda Brasil yang bermain di Jerman, ada predator buas dari Aston Villa, ada pemain tim nasional Inggris dari Manchester City. Optimisme kembali mengapung. Lupakan sang nomor 8, lupakan si pemuda Sterling itu. Kita punya Firmino! Ada Benteke! Ada Milner! 

Delapan pertandingan berlalu. Tiga kali menang, tiga kali imbang dan dua kali kalah. Delapan kali memasukkan dan sepuluh kali kebobolan. Saat tim-tim lain pun tidak konsisten, Liverpool tidak mampu memanfaatkan situasi dengan meraih angka penuh saat melakukan pertandingan "yang seharusnya" dapat dimenangkan. Tumbang di kandang oleh West Ham. Imbang saat menjamu Norwich. Oh Suarez, di mana dirimu. Saat engkau ada, gawang John Ruddy selalu menjadi makanan empuk bagi ketajaman eksekusimu. Belum lagi imbang saat melawan Bordeaux dan Sion. 

Keputusan sudah dijatuhkan. Pintu keluar sudah ditunjukkan. Langkah-langkah Brendan Rodgers tidak lagi menapaki rumput-rumput Melwood ataupun Anfield. Jejak sang komandan tersapu oleh waktu. Tiga tahun, tanpa trofi, ibarat sebuah dosa besar di antara tumpukan nestapa akan kerinduan menjadi juara. Sang Legenda begitu indentik dengan trofi dan juara. Tetapi, masa paceklik rupanya belumlah berlalu. Rodgers pergi, tetapi mungkin tidak ditangisi. Siapa sang komandan berikutnya? Ada pria Jerman di ujung sana dan mungkin juga ada pria Italia yang pernah di London. Semua punggawa dan fans Si Merah menatap dan menanti dengan penuh harap. Masih delapan pertandingan dan jarak hanya 6 poin dengan Manchester City di puncak. Masih ada harapan untuk membawa mimpi itu ke bumi sekarang. Tetapi mereka memerlukan pertolongan dari sang komandan. Dari pemimpin yang mampu mewujudkan mimpi itu. Kini mereka menanti. Sebuah langkah-langkah yang menuntun mereka kepada perjuangan, kepada kemenangan, kepada euforia. Di sana mereka berkata You'll Never Walk Alone. Sekarang mereka menanti sosok yang akan berjalan bersama mereka. Kini mereka meniti kembali, seperti tahun-tahun lalu, jalan menuju puncak untuk menghidupkan kembali Sang Legenda dan mewujudkan mimpinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun