Mohon tunggu...
Boy Anugerah
Boy Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Pendiri dan Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Terorisme dalam Belitan Politik, Terorisme Politik vs Politik Terorisme

14 Mei 2018   17:47 Diperbarui: 15 Mei 2018   08:09 1391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia bukanlah Suriah, bukan juga Irak dan Afghanistan. Di negara-negara tersebut, aksi-aksi teror oleh militan Islamic State dan kaum pemberontak yang menewaskan banyak nyawa bukanlah hal yang luar biasa. Bom bunuh diri yang dilakukan oleh perempuan dan anak-anak serta baku tembak antara teroris dengan tentara pemerintah adalah pemandangan yang jamak ditemui sehari-hari. Wajar, karena Suriah, Irak dan Afghanistan adalah negeri-negeri yang dikecamuk perang, berbeda dengan Indonesia yang tenang dan damai.

Apa yang terjadi di Indonesia dalam seminggu terakhir ini tentu saja memunculkan kecemasan akut di masyarakat. Belum hilang dalam benak kita aksi koboi napi terorisme di Mako Brimob Kelapa Dua pada 8 Mei yang lalu yang menewaskan enam orang polisi, kembali publik dikejutkan oleh ledakan bom di tiga gereja di Surabaya pada 13 Mei yang  disusul pengeboman di Polrestabes Surabaya dan Rusunawa Wonocolo di Sidoarjo keesokan harinya. Total korban tewas berjumlah 17 orang. Kepanikan masyarakat kian menguat setelah beredar informasi bahwa akan terjadi aksi terorisme susulan di Jakarta yang akan menyasar belasan pusat perbelanjaan di ibukota.

Ada yang menarik dan perlu dicermati pasca kejadian ini yakni respons pemerintah. Bukan permintaan maaf dari pihak intelijen ataupun pemangku kepentingan lainnya karena "kecolongan" oleh aksi barbar teroris tersebut, melainkan menyeruak kembali wacana dan perdebatan mengenai pelibatan militer dalam penanganan terorisme tanah air, dorongan untuk segera mengesahkan revisi RUU Terorisme, hingga politik gedar-gedor ala oposisi yang mendiskreditkan lemahnya pemerintah dalam menciptakan rasa aman bagi setiap warga negara, maklum, jelang Pilkada serentak dan Pilpres 2019. Tak syak lagi, di tengah banyaknya korban bergelimpangan serta menguatnya ketakutan publik, politik terorisme mendapat tempat.

Politik dan terorisme adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Baiklah, untuk memudahkan pemahaman dan agar tidak terjebak kerancuan, saya bedakan  menjadi dua hal, yakni terorisme politik dan politik terorisme. Dua istilah ini nantinya akan sedikit banyak menggambarkan pola mitigasi dan kurasi seperti apa yang selaiknya ditempuh untuk meminimasi aksi-aksi teror yang kian masif akhir-akhir ini.

Terorisme politik merunut pada motivasi yang diusung oleh para teroris dalam menjalankan aksi-aksinya. Coba tanyakan apa motif Islamic State yang dikomandani Abu Bakr Al-Baghdadi dengan menebar teror di Irak dan Suriah. Impian untuk meruntuhkan sistem sekuler dan menegakkan Khilafah Islamiyah menjadi motif utamanya.

Dalam level domestik, aksi-aksi terorisme dengan menyasar kedutaan asing, tempat-tempat hiburan yang ramai dikunjungi turis asing, hingga tempat-tempat ibadah umat minoritas juga ditiup oleh keingian politik untuk merubah sistem pemerintahan yang dianggap sekuler dan pro-barat. Kebencian terhadap AS sebagai perwujudan hegemoni dan pemiskinan global menjadi penyebab  utama para teroris mengidentifikasi simbol-simbol asing sebagai target aksi-aksi mereka.

Politik terorisme merupakan istilah yang berbeda. Hal ini untuk menjelaskan bagaimana aksi terorisme dengan segala dampaknya dikomodifikasi oleh segelintir pihak untuk kepentingan pribadi. Hal ini menyebabkan esensi untuk mengidentifikasi postur terorisme baik motif, pendanaan, jaringan, sumber daya menjadi terkaburkan.  Diskursus menjadi pekat karena menjadi amunisi bagi kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai kepentingannya, alih-alih mencari motode penanganan dan solusi yang komprehensif ke depan.

Terlepas dari cost-benefit analysis tentang pelibatan TNI dalam penanganan terorisme, baik melalui Sat-Gultor 81 Kopassus atau menghidupkan kembali Koopssusgab yang merupakan gabungan dari tiga matra TNI seperti yang diusulkan oleh Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, wacana pelibatan militer dalam ranah keamanan yang menjadi domain Polri seakan tidak tepat momennya. Secara tidak langsung, diskursus tersebut sengaja hendak menohok kelemahan Polri yang "kecolongan" oleh kasus Mako Brimob serta jatuhnya korban jiwa yang tak sedikit di Surabaya.

Suasana semakin tegang tatkala presiden mengumumkan rencana untuk menerbitkan Perpu Antiterorisme sebagai respons mandeknya pembahasan revisi UU Terorisme di DPR yang sudah berjalan kurang lebih 2 tahun. Secara hukum, Perpu diterbitkan dalam situasi dan kondisi genting, apabila keadaan memaksa. Momen 5 ledakan bom di Surabaya dan Sidoarjo dalam 25 jam terakhir ini seakan dijadikan momentum untuk menerobos kemandekan hukum yang terjadi di legislatif selama ini. Kemandekan itu sendiri terjadi karena adanya perdebatan mengenai definisi terorisme dan pro kontra pelibatan TNI dalam penanganan terorisme yang notabene menjadi ranah kepolisian.

Mungkin semua pihak di negeri ini, khususnya para pemangku kepentingan, akan lebih bijak untuk melihat dan mendengarkan jerit pilu para keluarga korban aksi terorisme agar menjadi "santapan rohani" untuk lebih berkomitmen dengan tugas dan tanggung jawabnya. Persoalan penanganan terorisme merupakan persoalan yang sangat kompleks serta butuh solusi yang yang komprehensif dan dimensional. Kasak-kusuk revisi UU Terorisme serta aktivasi Koopssusgab merupakan bentuk simplifikasi penanganan terorisme di republik ini yang mengarusutamakan pendekatan keras dan menjadikan pendekatan lunak sebagai pelengkap saja.

Saya jadi teringat nasihat salah seorang ulama NU pada saat saya mendampingi beliau dalam sebuah seminar intelijen di Australia setahun silam. Mungkin ulama kita terlalu sibuk berpolitik, sehingga lupa menjalankan fungsi dakwahnya. Mungkin juga masyarakat kita terlalu apatis dengan mengganggap persoalan terorisme adalah tanggung jawab aparat saja. Secara tidak langsung beliau hendak menyatakan bahwa penanggulangan terorisme harus dilakukan secara integral dan holistik. Penanganan harus mencakup seluruh dimensi mengingat modus, strategi dan taktik kelompok teroris berubah dengan sangat dinamis.

Penanganannya pun harus melibatkan semua pihak secara sukarela dan sadar, bukan atas dasar rewards politik atau kepentingan pribadi dan kelompok. Ulama harus kembali ke khitah dalam menjalankan dakwahnya, bebas dari kepentingan politik. Polri harus semakin aktif melibatkan masyarakat sebagai mitra langsung baik dalam pencegahan maupun penindakan. Militer juga harus berpartisipasi secara proaktif dengan saling berbagi informasi intelijen terkait aktivitas terorisme, sebagai bentuk dukungan kuat kepada Polri. Cukup di Surabaya saja tangis keluarga korban membuncah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun