Mohon tunggu...
Boy Anugerah
Boy Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Pendiri dan Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Waspada "Brain Drain", Bukan Curiga!

28 Maret 2018   11:55 Diperbarui: 28 Maret 2018   20:09 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sektor pendidikan merupakan sektor penting dalam pembangunan nasional. Sektor ini tak ubahnya seperti fondasi yang akan menentukan kokoh tidaknya bangunan sosial, ekonomi, maupun politik suatu negara. Karena berada pada posisi vital dan sangat menentukan, gangguan dan hambatan di sektor pendidikan berpotensi besar menimbulkan dampak negatif bagi pembangunan nasional.

Ada banyak sekali permasalahan dan hambatan dalam sektor pendidikan di Indonesia, seperti keterbatasan sarana dan prasarana, mutu atau kualitas pendidik yang belum meningkat, akses informasi dan teknologi yang masih minim, serta kesejahteraan para guru yang tak kunjung meningkat. Permasalahan di sektor pendidikan tersebut pada dasarnya berada pada level internal atau domestik Indonesia.

Sejauh ini permasalahan-permasalahan tersebut sudah masuk pada diskursus umum antara pemerintah dan masyarakat untuk dicarikan solusinya.Namun dari semua permasalahan di sektor pendidikan tersebut, masih ada satu permasalahan yang luput dari perhatian publik. Permasalahan ini berada pada level eksternal dan juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi pembangunan nasional apabila tidak disikapi secara tepat. Permasalahan ini lazim disebut brain-drain.

Brain-drain sejatinya merupakan diskursus umum negara-negara berkembang. Akan tetapi permasalahan ini belum terlalu diangkat di Indonesia. Brain-drain sendiri merupakan sebuah peristilahan dengan merujuk pada semakin banyaknya kaum terdidik-terpelajar dari negara-negara berkembang yang melakukan pergerakan ke luar negeri seperti ke negara-negara Eropa, Australia, Amerika Serikat, Jepang, dan negara maju lainnya untuk kepentingan belajar-mengajar (pendidikan).

Dalam kurun waktu tertentu, kaum terdidik-terpelajar ini menghabiskan waktu untuk menyelesaikan studi mereka. Setelah menyelesaikan studinya, mereka umumnya enggan kembali ke tanah air. Mereka lebih memilih menetap di negara tempat mereka belajar, mencari pekerjaan dan penghidupan di sana, bahkan bersalin kewarganegaraan.

Dalam pengertian yang lebih luas, brain-drainjuga dimaknai sebagai pergerakan kalangan expert dari negara berkembang ke negara maju untuk mencari kehidupan/penghidupan yang lebih baik.

Kalangan expert ini tidak hanya berasal dari dunia pendidikan (mahasiswa dan dosen) tapi juga berasal dari bidang seni dan olahraga. Contoh konkret brain-drain dari kalangan expert ini dapat dilihat di Brazil. Di negeri Samba tersebut, banyak pesepakbola muda yang hijrah ke negara-negara Eropa dengan tujuan mencari popularitas dan penghasilan yang lebih besar.

Apa yang terjadi di Brazil juga terjadi di negara-negara berkembang lainnya tak terkecuali Indonesia. Ambil contoh, menjelang kelulusan sekolah, banyak generasi muda yang mengunjungi pameran pendidikan dari institusi pendidikan asing yang menggelar pameran pendidikan di tanah air. 

Institusi tersebut memberikan  penawaran yang menarik mengenai berbagai kelebihan dalam proses belajar-mengajar di negara mereka, yang notabene sudah lebih maju dibandingkan Indonesia. Tidak jarang generasi muda, khususnya dari keluarga mampu yang tergiur pada tawaran tersebut.

Dalam skala yang lebih luas, brain-drain di Indonesia juga terjadi pada bidang seni dan budaya. Belum lekang dari ingatan kita bagaimana Malaysia mencaplok batik Indonesia sebagai warisan budaya mereka. Pencaplokan tersebut menyiratkan sebuah ancaman yang lebih besar. 

Malaysia tidak hanya mencaplok batik Indonesia, tapi juga berupaya untuk menarik pengrajin batik Indonesia agar eksodus ke negeri mereka. Di bidang olahraga, hal serupa juga pernah terjadi dan tak tertutup kemungkinan akan terulang. Banyak pebulutangkis atau mantan pebulutangkis memutuskan untuk berganti kewarganegaraan, bermain atau menjadi pelatih bagi negara lain dengan imbalan yang lebih besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun