Mohon tunggu...
Boy Anugerah
Boy Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Pendiri dan Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Delinking" Tiongkok yang Dilakukan dengan Komprehensif

20 Maret 2018   13:00 Diperbarui: 20 Maret 2018   13:14 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan melihat keberhasilan Tiongkok, baik dalam konteks ekonomi maupun militernya, rasanya pendapat bahwa kapitalisme telah memenangkan pertarungan patut disangsikan. Saya justru melihatnya sebagai sebuah keberhasilan dan kebenaran pendapat Gunder Frank tentang perlunya delinking untuk keluar dari jerat Octopus Utara.

Delinking yang terjadi di Cina bukanlah sebuah delinking yang arogan dan kekeuh pada prinsip yang kolot, tapi sebuah delinking dengan pemahaman yang komprehensif ditunjang dengan kesadaran bahwa mereka adalah negeri besar dengan segudang potensi yang mereka miliki.

Delinking Tiongkok adalah sebuah delinking yang mau untuk mengakui bahwa lawan juga memiliki kelebihan yang bisa diambil tanpa harus berlaku keras dan frontal dengan mereka seperti halnya Kuba dan Korea Utara. Di sini Tiongkok menyadari bahwa perdagangan (tanpa kata bebas), konsep yang diyakini Utara, mutlak harus dijalani sebuah negara untuk tetap survive.

Akan tetapi perdagangan tersebut tidaklah dibiarkan melenggang sendirian tetapi dikawal oleh sebuah prinsip yang diyakini oleh masyarakat Tiongkok, yakni sosialisme untuk kemaslahatan bersama. Delinking yang mereka jalankan adalah delinking dengan mengembangkan segala potensi yang dimiliki untuk tembuh dan besar.

Banyaknya jumlah penduduk yang selama ini menjadi kutukan telah berubah menjadi sebuah keunggulan karena pemberdayaan masyarakat. Masyarakat disodorkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk melayani cipta dan karsa mereka. Salah satu hasil yang bisa dilihat adalah perindustrian motor di negara tersebut. Industri motor tidak hanya dilakukan di pabrik tapi juga sudah menjadi sebuah industri yang bisa dikerjakan di rumah di kala senggang.

Keberhasilan Tiongkok seolah-olah menjadi gugatan dari Tiongkok sendiri yang ditujukan tidak hanya kepada kaum kapitalisme Amerika dan Eropa, tapi juga bagi para pemeluk komunis akut di Kuba dan Korea Utara. Mereka tak mau disebut sebagai pengikut Utara karena telah mencoba menerapkan kapitalisme. Mereka menganggap hal tersebut sebagai keberhasilan sosialisme dengan menciptakan kemandirian bangsa. Sosialisme baru atau sosialisme inklusif, begitulah masyarakat Tiongkok menyebutnya.

Tiongkok juga tak hendak disamakan dengan sosialisme Kuba dan Korea Utara karena bukan saja kemiskinan yang akut yang bersarang di sana, tapi juga masokisme para pemimpin mereka yang berleha-leha di tampuk kekuasaan dengan membiarkan rakyat menderita.

Coba lihatlah, apakah Castro pada masa ia hidup dan Jong Un tau rasanya tidak makan seharian, bekerja membanting tulang demi sesuap nasi yang tetap saja tidak cukup untuk mengenyangkan busung seperti rakyatnya? Tentu saja yang mereka tahu sosialisme-komunisme haruslah berjalan, titik, sedang mereka tetap berfoya-foya dengan segala kemewahan mereka. Tentu saha hal tersebut menjadi hipokrisi yang menjijikkan.

Saya teringat tentang kisah seseorang yang bingung dan putus asa karena tidak tahu bagaimana caranya mengarungi sebuah sungai yang deras airnya sedang dia sendiri tidak cakap untuk berenang. Kemudian datanglah tukang kayu yang memberikan sebuah perahu untuk mengarungi sungai itu, Giranglah orang tersebut karena bukan saja berhasil mengarungi sungai tapi juga selamat sampai tujuan.

Saking girang dan bersyukurnya ia sehingga menenteng perahu itu kemanapun dia pergi dan akhirnya mati karena kelelahan. Begitulah Kuba dan Korea Utara yang miskin dan terpuruk karena tetap memegang komunisme yang tidak memberikan apa-apa bagi rakyatnya, kecuali bagi segelintir tiran yang tersenyum di balik kepulan asap cerutunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun