Mohon tunggu...
Boy Anugerah
Boy Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Pendiri dan Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Calon Tunggal dan Cacat Demokrasi

11 Februari 2018   11:55 Diperbarui: 11 Februari 2018   12:24 1266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Solusi tersebut tidak cukup karena tidak bersifat jangka panjang. Perlu dilakukan sebuah inovasi politik demi menjaga marwah dan spirit demokrasi di negera ini. Solusi tentu saja perlu dibuhulkan dengan mengidentifikasi terlebih dahulu akar masalah yang sesungguhnya. Setidaknya ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan fenomena calon tunggal ini.

Pertama, akar masalah yang bersifat teknikal politis. Partai politik kerap kali terjebak pada pragmatisme politik yang justru mencederai dignisi demokrasi. Dengan ekspektasi mengamankan jaring politik di suatu daerah, mereka selalu mengusung opsi "the champion" dalam setiap ajang Pilkada. Dengan mengusung opsi ini, tak mengherankan apabila ada satu calon yang diusung oleh banyak partai politik. Kondisi ini sedikit banyak bisa menjelaskan fenomena mengapa partai politik yang beda platform bisa bersatu dalam mengusung calon serta mengapa partai politik yang tadinya berselisih sengit dalam ajang Pilpres, namun seolah-olah tidak terjadi apa-apa di skala daerah yang lebih kecil.

Kedua, adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa daerah dengan hanya satu pasangan calon tetap bisa menyelenggarakan Pilkada dengan catatan adanya upaya yang optimal untuk memenuhi syarat minimal dua pasang calon. Jika tidak, calon tunggal akan bertarung melawan kotak kosong.

Ketiga, mereka yang hendak maju sebagai kepala daerah dari jalur perorangan terpasung oleh peraturan yang sangat berat. Calon independen atau non partai politik, harus mengumpulkan dukungan dari 6,5 hingga 10 persen dari daftar pemilih tetap pemilihan terdahulu. Akibatnya, mereka yang notabene punya hasrat kuat untuk menjadi second opinion bagi rakyat harus menanggung beban ganda (double burdens) dalam Pilkada, yakni ongkos politik yang besar untuk maju serta syarat administratif yag sulit.

Dengan mengacu pada inventarisasi masalah tersebut, sejujurnya tidaklah sulit untuk menerbitkan sebuah inovasi politik. Terlebih lagi jajaran birokrasi penyelenggara pemilu pasti sudah memahami konsepsi manajemen dasar umum bahwa setiap perencanaan dan aksi, selalu diikuti dengan monitoring dan evaluasi. Pertanyaannya, adakah kemauan politik untuk melakukan itu?

Hemat saya, perlu dilakukan langkah-langkah yang bersifat segera agar marwah demokrasi dalam Pilkada bisa ditegakkan dan semangat reformasi politik yang dihembuskan 20 tahun silam tetap bisa dijaga. Perlu ditetapkan regulasi agar partai politik tidak terjebak pada pragmatisme koalisi borongan. Mengharapkan partai politik untuk bertindak ideal dalam Pilkada tentu saja suatu hil yang mustahal. Oleh sebab itu, kerangka legal formal perlu ditetapkan. Masyarakat madani juga perlu menguatkan daya tekan dan dorongnya agar partai politik memperbaiki sistem kaderisasi sehingga tidak selalu melakukan pragmatisme politik dengan mendukung calon yang bukan kadernya sendiri.

Selain itu, dalam kerangka legislasi, perlu dibahas kembali mengenai ambang batas yang ideal agar calon-calon independen yang memiliki dorongan untuk berkontribusi dan spirit memecah kartel politik partai politik tidak selalu terjerumus pada permasalahan klasik, yakni tingginya syarat administratif yang ditetapkan. Jika ini bisa diperbaiki, amanat sila ke empat Pancasila, "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan dan perwakilan" akan dapat diejawantahkan dengan konsisten dan konsekuen. Itu harapan kita bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun