Ulama dituntut untuk menjalankan peran keagamaannya secara murni dan riil di masyarakat. Tantangan politik bangsa ini dalam 730 hari ke depan sungguh tidak mudah. Ancamannya begitu besar yang dapat berimplikasi pada retaknya persatuan dan segregasi bangsa secara masif. Asumsi ini tidak berlebihan, apabila kita rujukkan pada data kuantitatif Pilkada yang akan diselenggarakan di 171 daerah, juga secara empirik, dalam skala kecil, Pilkada DKI Jakarta menjadi pembelajaran bahwa negeri ini memiliki fragilitas yang sangat tinggi untuk terpecah belah.
Oleh karena itu, ulama dituntut untuk menjalankan peran strategisnya dalam memberikan pencerahan dan penguatan kesadaran di masyarakat. Syiar dan dakwah yang dilakukan secara rutin dan berkesinambungan, dengan menananamkan nilai-nilai Islam secara murni dalam kognisi dan kesadaran masyarakat diharapkan mampu menjadi katalisator demi mewujudkan masyarakat yang cerdas berfikir dan bertindak dalam Pemilu nanti. Masyarakat yang mampu secara rasional memilih pemimpinnya yang amanah, masyarakat yang tidak rentan dikomodifikasi oleh kekuatan politik, apalagi menjadi objek pecah belah dari kekuatan politik yang menghembuskan politik identitas.
Apabila kaum ulama bisa menjalankan perannya dengan optimal dalam 2 tahun yang terjal dan panas ke depan, tidak berlebihan apabila kita menyebut kaum ulama sebagai negarawan berketuhanan, guru bangsa yang sesungguhnya, digugu dan ditiru oleh segenap lapisan masyarakat, termasuk para pemimpin bangsa. Dalam konteks kebangsaan, kaum ulama merupakan pemimpin masyarakat madani dalam mengukuhkan persatuan dan ketahanan nasional republik ini. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H