Mohon tunggu...
Boy Anugerah
Boy Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Pendiri dan Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pena dan Strategi Gerakan Mahasiswa

28 Desember 2017   14:18 Diperbarui: 28 Desember 2017   14:20 1891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahasiswa adalah simbolisasi jiwa-jiwa ideal yang sangat menentukan nasib bangsa dan negara ke depan. Di sebut ideal karena pada usia merekalah nilai-nilai keagamanan, norma sosial dan budaya, serta beragam ilmu pengetahuan diinternalisasikan. Nilai dan norma tersebut kemudian dibalut dengan pengalaman melalui interaksi secara langsung dengan masyarakat sehingga mewujud sebagai kepekaan dan kesadaran sosial yang tinggi. Inilah yang menjadi faktor utama pemicu lahirnya gerakan mahasiswa.

Akumulasi pengetahuan dalam periode seseorang ketika menjadi mahasiswa berubah menjadi rasa ingin tahu yang besar ketika melihat fenomena langsung dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, pemahaman tentang negara kesejahteraan yang diterima oleh seseorang mahasiswa di bangku kuliah menjadi sebuah konsepsi tersendiri dalam kognitif mahasiswa tersebut, menjadi apa yang disebut das sollen, apa yang seharusnya tentang negara. Namun ketika konsepsi tersebut dibenturkan dengan realitas, seperti masih banyaknya kemiskinan, pengangguran, dan kriminalitas di tengah masyarakat, maka hal tersebut akan menimbulkan sebuah kontestasi pemikiran tersendiri, antara yang seharusnya dengan yang senyatanya tentang negara, das sein. Melihat realitas seperti ini, mahasiswa yang notabene memiliki idealisme tinggi tak akan tinggal diam, langkah konkret harus ditempuh melalui pergerakan, entah itu melalui unjuk rasa atau advokasi langsung kepada masyarakat.

Gerakan mahasiswa merupakan sebuah seni ekspresi diri kaum muda. Mereka berkumpul dalam suatu wadah organisasi, entah itu dinamakan himpunan, persatuan, gerakan, kesatuan, intra ataupun ekstra kampus. Dalam wadah ini mereka mengasah kemampuan dalam berorganisasi, bertukar pendapat, mengkaji berbagai isu-isu riil di masyarakat, dan yang utama adalah melatih idealisme dan kepekaan sosial. Sebagai langkah konkret, aksi-aksi turun ke lapangan ditempuh agar lebih bisa merasakan denyut nadi kehidupan masyarakat. Mereka sadar bahwa tak semua masyarakat, apalagi masyarakat kelas bawah yang tidak terdidik dan terpelajar, paham akan masalah yang mereka hadapi. Oleh sebab itu, dibutuhkan pendampingan atau advokasi kepada masyarakat.

Dalam era demokrasi seperti saat ini, gerakan mahasiswa menjadi pilar penting masyarakat madani yang menjalankan fungsi sebagai pengawas terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah agar pro-rakyat. Bersama elemen masyarakat madani lainnya, seperti lembaga swadaya masyarakat, organisasi masa, pers, dan sebagainya, mahasiwa bahu-membahu berkontribusi dalam mewujudkan negara yang hadir di masyarakat. Namun niat dan semangat perjuangan yang ideal dalam gerakan mahasiswa ini bukanlah tanpa cacat. Strategisnya suara mahasiswa kerap mengundang kekuatan politik lain, entah itu partai politik atau elit negeri untuk memboncengkan agendanya dalam setiap aksi-aksi mahasiswa.

Tidak semua gerakan mahasiswa ideal merupakan sebuah fakta yang harus diterima dengan lapang dada. Afiliasi pergerakan mahasiswa dengan kekuatan politik tertentu kerap menyebabkan perjuangan mahasiswa tak lagi ideal dan mewakili suara masyarakat. Yang lebih fatal lagi, terkadang unjuk rasa atau demonstrasi yang dilakukan mengusung isu-isu kelompok politik tertentu, wacana pesanan. Bahkan terkadang mahasiswa tak segan melakukan aksi-aksi anarkistis untuk mengundang perhatian dan ujung-ujungnya merugikan kepentingan orang banyak. Hal ini menyebabkan apa yang menjadi tujuan ideal pergerakan, yakni pendampingan kepada masyarakat tidak tercapai. Mahasiswa pun dicibir sebagai pengganggu kepentingan umum melalui aksi-aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang mereka lakukan. Muncul stigma negatif terhadap pergerakan mahasiswa.

Masalah-masalah lain dalam pergerakan mahasiswa juga menambah pelik keadaan. Mahasiswa sering terkotak-kotak dalam platform dan ideologi masing-masing organisasi. Layaknya partai politik, mereka terdikotomi antara nasionalisme dan religius, pendukung pemerintah dan oposisi, organisasi kajian dan organisasi peregerakan dan masih banyak fragmentasi lainnya. Musuh yang dihadapi oleh pergerakan mahasiswa tidak hanya stigma negatif kepada mereka, tapi juga ketidaksolidan diantara mereka sendiri dalam merumuskan metode perjuangan.

Zaman sudah bergerak. Era globalisasi sudah dimulai. Unjuk rasa dan demonstrasi sebagai sarana artikulasi suara mahasiswa sudah selayaknya ditinjau ulang. Pola ini mungkin relevan diterapkan pada masa awal kemerdekaan atau ketika menggulingkan rezim militeristik Soeharto, namun kurang menemui relevansinya saat ini. Indonesia sudah memasuki periode demokrasi. Tantangan dan kendala dalam masyarakat yang merupakan objek perjuangan mahasiswa juga telah bermetamorfosis menjadi bentuk baru yang lebih kompleks. Di sinilah urgensi untuk merumuskan metode perjuangan baru yang lebih jernih dan tepat sasaran.

Penulis menyarankan para mahasiwa untuk menggunakan metode perjuangan melalui pena, yakni metode menulis sebagai sarana menyuarakan ide-ide dan pemikiran atas segala permasalahan yang ada di masyarakat. Agar ide-ide ini sampai kepada pemerintah sebagai pemangku kepentingan dan perumus kebijakan, maka tulisan-tulisan tersebut harus dipublikasi sehingga mendapatkan atensi yang luas. Untuk itu dapat digunakan sarana media massa, baik koran, majalah, jurnal, atau buku-buku yang bisa dibaca masyarakat umum. Jikapun tidak bisa dipublikasi secara cetak, maka dapat menggunakan media online.

Penggunaan metode menulis dalam perjuangan mahasiswa sejatinya bukan barang baru. Para bapak bangsa seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka lebih mengedepankan pena mereka dalam mencapai kemerdekaan, bukan bambu runcing. Tulisan-tulisan mereka tidak hanya dimuat di Hindia Belanda, tapi juga dibaca di belahan bumi lainnya. Hal inilah yang sedikit banyak membuka mata dunia tentang perjuangan Indonesia sebagai sebuah negeri yang ingin merdeka, lepas dari cengkeraman penjajahn.

Namun sungguh disayangkan bahwa metode menulis ini tidak menjadi budaya dan warisan yang terus dipelihara. Masyarakat Indonesia masih terjebak pada paradigma hiper-realitas, mengagungkan yang fisik dan terlihat. Akibatnya, perjuangan lebih dimaknai sebagai angkat senjata melawan penjajah, bukan melalui diplomasi dan seni menulis. Ini juga yang ditiru oleh mahasiswa Indonesia pasca kemerdekaan hingga kini.

Melalui menulis, mahasiswa akan digembeleng untuk berfikir lebih ideal. Apa yang mereka tuliskan akan menjadi ide-ide orisinil yang ditujukan bagi kemajuan bangsa. Mereka juga sedikit banyak terhindar dari domplengan kekuatan politik dalam perjuangan mereka. Fragmentasi sesama pengawak gerakan mahasiswa karena beda ideologi dan platform juga bisa diminimalisir. Kegiatan belajar di bangku kuliahpun tidak akan banyak terganggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun