Mohon tunggu...
Boy Anugerah
Boy Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Pendiri dan Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mendefinisikan Kembali Makna Pahlawan

27 Desember 2017   20:13 Diperbarui: 27 Desember 2017   20:31 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada 10 November yang lalu, bangsa Indonesia memperingatinya sebagai hari pahlawan. Penamaan sebagai hari pahlawan ini merupakan bentuk penghormatan pemerintah dan rakyat Indonesia atas perjuangan para pejuang Surabaya 71 tahun yang silam dalam menegakkan kedaulatan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari tangan penjajah Belanda dan Inggris.

Penamaan hari pahlawan pada tanggal tersebut sangatlah tepat untuk menggambarkan betapa heroiknya perjuangan arek-arek Suroboyo yang hanya bermodalkan semangat dan bambu runcing dalam menghadapi bengisnya tentara kolonial Inggris.

Penamaan hari pahlawan yang merujuk pada peristiwa Surabaya ini tentu tidak serta merta menegasikan perjuangan para pejuang di berbagai daerah lainnya di Indonesia. Dengan segala hormat, pastinya segenap rakyat Indonesia juga sangat menghargai perjuangan para pahlawan dari Aceh sampai ujung timur Indonesia dalam mempertahankan setiap jengkal wilayah republik dari caplokan tentara kolonial.

Penetapan 10 November bisa dikatakan sebagai simbolisasi untuk menggambarkan bahwa dengan segala keterbatasannya, bangsa Indonesia memiliki nyali dan patriotisme yang tinggi dalam mempertahankan kemerdekaannya yang baru seumur jagung.

Sirkumstansi yang melingkupi pertempuran Surabaya dan pertempuran-pertempuran lainnya di berbagai wilayah Indonesia pada periode pasca kemerdekaan berada pada konteks revolusi fisik, yakni sebuah kondisi di mana apa yang menjadi ancaman sangatlah nyata, yakni tentara asing yang ingin merengkuh kedaulatan dan kemerdekaan dari tangan anak-anak bangsa. Metode perjuangan juga ditempuh melalui hal-hal yang sifatnya fisik seperti pertempuran dengan bambu runcing dan senjata api.

Kini di usinya yang 71 tahun, ancaman dan tantangan terhadap keutuhan dan kedaulatan Republik Indonesia sangatlah berbeda. Apa yang dihadapi para pejuang puluhan tahun yang silam di Surabaya tidaklah sama dengan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Arus globalisasi yang berputar cepat menghadirkan riak-riak ancaman yang lebih sulit dikenali.

Saat ini kita tak tahu siapa yang menjadi kawan dan lawan. Musuh juga tidak hadir dengan meriam, panser dan senjata api lainnya, melainkan mewujud dalam bentuk erosi sosial dan budaya dan penghancuran konfidensi diri bangsa Indonesia.

Secara kasat, erosi sosial dan budaya dimanifestasikan dalam bentuk lebih digemarinya lagu-lagu asing ketimbang lagu-lagu nasional, film-film hollywood ketimbang film-film produksi lokal, KFC dan McDonald ketimbang warteg. Kaum muda Indonesia lebih suka meniru budaya harajuku Jepang dan seni budaya pop Korea ketimbang mengembangkan kesenian tradisional seperti membatik, bermain wayang, atau melestarikan alat-alat musik tradisional. Dalam tataran yang lebih tinggi, yakni pemerintah sebagai penyelenggara negara, juga lebih suka mengadopsi kebijakan-kebijakan ala kapitalisme barat, seperti impor beras, gula, garam, dan masih banyak lagi.

Yang lebih fatal, ancaman terhadap bangsa Indonesia saat ini adalah luluh lantaknya konfidensi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar. Bisa dibayangkan, kita disebut sebagai negara agraris dan maritim, tapi justru mengimpor beras dan garam. Kita memiliki laut yang luas dan kaya, tapi perusahaan-perusahaan asing tak takut mengoperasikan kapal-kapalnya untuk menangkapi ikan-ikan di perairan kita. Yang lebih menyakitkan, nelayan kita yang sedang menangkap ikan justru diusir oleh pihak asing di wilayah kita sendiri.

Masih terngiang juga di telinga kita betapa menyakitkannya perlakuan yang diterima negara ini dari saudara serumpun Malaysia. Mereka tak takut untuk berseteru berebut wilayah Ambalat, Sipadan dan Ligitan. Warisan budaya kita seperti batik, angklung dan Reog Ponorogo juga diklaim sebagai milik mereka. Lantas dengan model ancaman dan tantangan yang dihadapi dewasa ini, model pahlawan apakah yang kita harapkan?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis hendak mendedahkan satu fakta bahwa bangsa ini kerap berfikir mundur dan sempit, tidak futuristik. Bangsa ini masih terjebak pada cara pandang keliru bahwa pahlawan adalah para tentara yang mengangkat senjata. Lihatlah peringatan hari pahlawan di instansi-instansi pemerintah, selalu diperingati hanya di taman makam pahlawan. Apakah ini an sich benar?

Jika kita mengaca pada konteks revolusi fisik, penempatan tentara atau mereka yang mengangkat senjata pastinya benar. Namun kondisi ini tidak an sich dan dapat berubah ketika konteks perjuangan sudah bergesar ke ranah yang lebih kompleks, seperti tantangan hari ini.

Ada juga dagelan lainnya di republik ini yang harus didekonstruksi total agar mendapat proporsi yang benar. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Karena labelisasi "tanpa tanda jasa" tadi, kesejahteraan guru tidak diperhatikan. Celakanya, profesi guru ditempatkan sebagai profesi kelas dua, jauh di bawah dokter, insinyur, bahkan polisi yang tak sungkan berlaku korup.

Perlu pemaknaan ulang atas definisi pahlawan sesuai dengan konteks kekinian, tentunya dengan tidak menegasikan aspek-aspek historis kepahlawanan sebelumnya. Jangan sampai cara pandang yang keliru membuat anak negeri ini sungkan berlaku heroik dalam mempertahankan bangsa dan negaranya. Jangan sampai karena tak berprofesi sebagai tentara maka tak layak disebut pahlawan. Juga jangan sampai hanya karena tak mampu mengokang senjata maka dikerdilkan jasa-jasanya bagi negara.

Mereka yang layak disebut pahlawan adalah mereka yang tulus dan ikhlas mengorbankan segenap pikiran, tenaga, dan dedikasinya untuk kemajuan republik, tanpa pamrih. Konsepsi ini sangat sederhana apabila hendak dibuat perumpamaan. Tak layak seorang tentara disebut pahlawan apabila "ogah-ogahan" dikirim ke medan perang.

Tak patut juga seorang guru disebut sebagai pahlawan apabila malas-malasan mengajar hanya karena gaji kecil atau ditempatkan di daerah terpencil. Siapapun bisa menjadi pahlawan, apapun profesinya, dimanapun mereka berada. Mereka yang mau dan mampu untuk menyingsingkan lengan baju mengisi pembangunan, memajukan bangsa dan negara, dengan ikhlas dan tanpa pamrih layak disebut pahlawan.

Tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini tidaklah mudah. Dibutuhkan mereka yang memiliki patriotisme tinggi dan semangat rela berkorban untuk mengambil posisi dan menutup segalan macam ancaman yang dapat meremukkan kedaulatan negeri.

Mereka yang melestarikan budaya bangsa yang kian tergerus, mereka yang berjuang memajukan pendidikan di daerah-daerah terpencil, ilmuwan-ilmuwan yang terus bekerja di ruang-ruang sunyi untuk menghasilkan temuan yang bermanfaat bagi negaranya, para aktivis dan siapapun yang menolak untuk korupsi, layak disebut sebagai pahlawan sesungguhnya. Apakah kalian berfikir kalian layak disebut pahlawan? saya berusaha mengaktualisasikannya, setidaknya mulai saat ini.

*) Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia

http://www.jurnalasia.com/?s=boy+anugerah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun