Tarik-menarik atas pilihan bentuk negara, sistem politik, dikotomi pribumi-nonpribumi, kesenjangan Jawa-luar Jawa, menguatnya etnisitas, serta radikalisasi gerakan keagamaan menjadi cerminan semua itu. Apabila kesemuanya tak mewujud dalam sebuah sintesa kebangsaan, akan berpotensi menjadi faktor pemecah.
Bibit-bibit perpecahan tersebut akhirnya terbukti dengan banyaknya gerakan pemberontakan pada awal kemerdekaan. Mulai dari PRRI di Sumatera, DI/TII di Jawa, RMS di Maluku, hingga OPM di Papua.
Yang paling kesohor tentu saja G30/S PKI yang menimbulkan polemik sampai hari ini. Namun dari sekian banyak upaya meruntuhkan kesatuan republik tersebut, kita patut berbesar hati, RI masih berdiri hingga hari ini di usianya yang tak lagi muda.
Daya Tahan
Ketangguhan dan daya tahan sebuah bangsa bukanlah mitos yang dikonstruksikan ke pikiran dari generasi ke generasi. Ketangguhan dan daya tahan bangsa merupakan sebuah ujian eksperimental dari segala macam ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT), entah itu berasal dari faktor internal maupun eksternal.
Banyaknya AGHT menjadi peluang dan tantangan untuk menguji seberapa kuat komitmen ke-Indonesia-an kita. Ketangguhan dan daya tahan bangsa merupakan produk dari manajemen yang baik atas segala persoalan yang dihadapi.
Manajemen yang baik itu tentu membutuhkan patokan. Hal inilah yang bisa menjelaskan mengapa Indonesia mampu melewati satu demi satu ujian dengan baik. Indonesia memiliki Pancasila sebagai landasan idiil. Pancasila masih menjadi pedoman kita dalam berpikir dan bersikap.
Ketika menghadapi guncangan, hendaknya kita menyikapi dengan kepala dingin dan pikiran jernih. Jerih payah dan darah para pahlawan tak seharusnya dihargai murah dengan mengambil tindakan anarkistis yang membahayakan persatuan.
Begitu banyak pihak yang tak suka Indonesia berdiri tegak sampai hari ini sehingga menggunakan segala cara untuk meruntuhkannya. Mereka menggunakan bahan bakar yang paling mudah, yakni isu-isu SARA.
Layaknya bensin, sedikit saja terkena api, konflik SARA dapat meluas. Kasus-kasus bernuanasa SARA seperti di Medan, hendaknya diserahkan kepada pihak berkompeten untuk mengusutnya.
Mekanisme hukum lebih relevan ditempuh ketimbang menghidupkan opini rasialis dan menebar kebencian satu sama lain. Untuk memperkuat kohesivitas kebangsaan secara multidimensional, perlu dilakukan upayaupaya yang bersifat merekatkan dan menyempitkan perbedaan.