PADA 11 September 2001 yang silam, ketika New York City dan Washington DC diguncang oleh serangkaian serangan teror oleh kelompok Al-Qaeda, banyak kalangan yang menganggap aksi teror tersebut akan menjadi pemicu terjadinya kerja sama atau bahkan aliansi global untuk memerangi kelompok teroris sampai ke akar-akarnya.
Indikasinya jelas yakni dirilisnya kebijakan Global War on Terrorism (GWOT) oleh Amerika Serikat dengan menyerukan partisipasi global dari semua pihak. Namun demikian, setelah hampir 16 tahun berselang, aksi-aksi teror bukannya hilang dari muka bumi, tapi justru bermetamorfosis ke bentuk yang lebih mematikan, licin dan sulit dideteksi.
Apa yang dialami oleh Amerika Serikat sebagai negara adidaya, juga dialami oleh Inggris. Lagi-lagi kita dibuat berduka dan seakan-akan tak percaya bahwa negara setangguh Inggris sekalipun bisa dihajar oleh aksi teror. Citra Inggris sebagai negara kuat dengan dinas rahasia militernya yang legendaris, M15 untuk domestik dan M16 untuk asing, seolah sirna ketika hanya dalam tiga bulan terakhir saja, Inggris mengalami tiga kali serangan teroris. Terakhir, keindahan London Bridge dan Sungai Thames dirusak oleh serangan teror yang menewaskan sedikitnya 7 orang dan 48 orang luka-luka.
Apa yang terjadi di Inggris juga terjadi di Tanah Air. 24 Mei yang lalu warga Kampung Melayu diguncang oleh bom bunuh diri yang membuat tiga orang polisi dan dua orang pelaku bom bunuh diri tewas. Tragedi Kampung Melayu ini meneruskan serangkaian aksi sebelumnya seperti bom Thamrin, bom panci di Cicendo, serta bom molotov di Samarinda. Laporan Indeks Terorisme Global 2016 menyebutkan bahwa dampak aksi terorisme di Indonesia menempati urutan tertinggi ketiga di Asia Tenggara, setelah Filipina dan Thailand (Kompas, 5/6).
Masifnya terorisme di berbagai belahan dunia ini, suka tak suka memunculkan pertanyaan dari banyak pihak yakni apakah dunia saat ini sudah memasuki sebuah kondisi yang disebut sebagai ketidakberdayaan global? Sejauh mana negara-negara di dunia melaksanakan kerja sama untuk menanggulangi terorisme? Diskursus akan semakin menukik tajam apabila dimunculkan pertanyaan yang lebih kritis, bisakah kita semua mewujudkan dunia tanpa terorisme?
Respon Global
Semua paham bahwa genealogi terorisme mengajarkan bahwa akar terorisme tidak bersifat tunggal. Banyak penjelasan yang bisa didedahkan, namun pada intinya akar terorisme adalah persoalan kemiskinan, alienasi masyarakat dan golongan, disparitas sosial, ketidakadilan global, serta kebutuhan untuk mendialogkan kembali dialog-dialog intra dan antar agama yang terjadi saat ini. Oleh sebab itu, adalah sebuah keniscayaan bahwa membasmi terorisme sampai ke akar-akarnya tidak bisa dilakukan sendiri oleh suatu negara. Butuh kerja sama masif dan global, seperti halnya pola dan postur terorisme itu sendiri.
Memang tidak semua kerja sama yang dilakukan oleh berbagai negara serta merta menghasilkan kondisi damai, nir konflik dan nihil terorisme. Kebijakan GWOT Amerika Serikat misalnya, tak sedikit yang menganggapnya sebagai pemantik masifnya terorisme itu sendiri. Negara-negara sekutu Amerika Serikat yang tergabung dalam NATO justru satu per satu terkena imbas aksi teror tersebut.
Jerman, Prancis, hingga Inggris. Kondisi ini memunculkan sebuah pemahaman baru bahwa dalam menangani terorisme tak cukup hanya memiliki kapabilitas militer yang mumpuni, para personel militer dalam jumlah yang besar, atau kecanggihan teknologi saja, tapi juga dibutuhkan kepekaan dan kemampuan untuk menarik simpati global, khususnya mereka yang menjadi para pelaku teror.
Dalam persepsi yang lebih luas, mereka yang harus ditarik simpatinya ini adalah mereka-mereka yang merupakan korban kemiskinan, orang-orang yang terpinggirkan karena status ekonomi dan sosial, serta para liyan yang mendapatkan diskriminasi dan ketidakadilan global. Dalam tataran global, mereka yang terjerumus ke dalam aksi teror kebanyakan berasal dari kaum imigran, negara-negara yang dikecamuk oleh perang saudara, serta negara-negara yang miskin dan papah karena konstruksi kepentingan kapitalis global.
Dalam level Asia Tenggara, kerja sama negara-negara kawasan termasuk Indonesia di dalamnya harus jujur diakui belum cukup maksimal, terutama dalam konteks mitigasi penyebaran cikal bakal terorisme itu sendiri. Merujuk data Foreign Terrorist Attacks (The Henry Jackson Society), Indonesia dan Filipina menjadi dua negara Asia Tenggara yag menjadi target sasaran untuk dijadikan cabang Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS). Diestimasikan jumlah total pengikut sebanyak 800 orang. Kondisi ini bisa disebut mengkhawatirkan karena dalam studi kawasan, instabilitas di satu negara bisa menjadi efek bola salju bagi negara lainnya. Krisis di Marawi Filipina misalnya merupakan konkretisasi dari ancaman terorisme di kawasan.