Organisasi relawan politik lazimnya diinisiasi oleh lingkaran terdekat kandidat yang didukung dengan modal finansial, sosial, dan politik yang kuat. Faktor primordial dan kesamaan lainnya dengan kandidat dikomodifikasi sedemikian rupa sehingga organisasi ini akan bergerak secara sentripetal dalam mengikat massa secara sukarela.
Di satu sisi, pembentukan relawan politik merupakan sebuah solusi bagi para kandidat yang partai pengusungnya kurang optimal dalam bekerja atau kurang mendapatkan dukungan secara bulat oleh partai politik. Namun di sisi lain, organisasi relawan politik lebih rentan dalam menimbulkan politik transaksional.Â
Dalam politik praktis, semua dukungan politik yang diberikan kepada para kandidat yang berlaga di ajang demokrasi tidak mungkin gratis, there is no free lunch. Selalu ada take and give jika kandidat yang diusung pada akhirnya terpilih. Penelitian yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) yang menyebutkan bahwa saat ini setidaknya terdapat 44 relawan Joko Widodo yang duduk menjabat sebagai komisaris BUMN adalah realitas empirik untuk menegaskan prinsip take and give tersebut.
Urgensi regulasi
Masuknya relawan politik menduduki posisi strategis di BUMN juga seakan mengakali regulasi yang ada. Para pendukung kandidat capres dan cawapres tidak bisa duduk sebagai komisaris BUMN apabila terafiliasi dengan partai politik. Di sinilah celah baru bagi para pendukung. Mereka mendapatkan jatah politik di BUMN melalui jalur relawan yang tidak tersandung regulasi sama sekali. Tidak heran apabila baru-baru ini kita mendengar ada musisi yang diangkat sebagai komisaris BUMN meskipun tidak memiliki kompetensi dan pengetahuan yang memadai dalam mengelola perusahaan plat merah yang akan dia ampu ke depannya.
Kembali ke persoalan kapal besar relawan Joko Widodo ke depan pasca berakhirnya jabatan sang presiden 2024 nanti. Sudah dipastikan bahwa para relawan ini akan mencari induk semang baru demi memastikan bahwa mereka akan mendapatkan reward politik dari dukungan yang diberikan.Â
Ingat sekali lagi, tidak ada makan siang gratis dalam politik meskipun nomenklatur mereka adalah relawan yang secara bahasa berarti individu-individu yang bergerak secara sukarela dan tanpa pamrih. Yang membuat para relawan tersebut ketar-ketir adalah sikap Joko Widodo yang secara tegas menolak wacana presidensi tiga periode plus tidak memberikan arahan atau dukungan sama sekali mengenai nama-nama yang masuk bursa capres 2024 nanti.
Realitas empirik mengenai relawan politik merupakan fenomena yang tidak bisa dibiarkan mengalir dan berlangsung tanpa regulasi. Demi menegakkan prinsip-prinsip demokrasi yang terus bergerak progresif pasca reformasi, maka dipandang perlu untuk membuat regulasi mengenai eksistensi relawan, khususnya relawan yang secara resmi mendukung kandidat yang berkontestasi dalam Pemilu. Hal ini sangat penting untuk menghindari berbagai mudarat politik. Jangan sampai pengaturan terhadap partai politik yang sampai saat ini belum paripurna mendapatkan hambatan dan menjadi masuk angin dengan keberadaan relawan politik. Politik yang baik adalah politik yang bermartabat, bertanggung jawab, serta mampu menerima kosekuensi hukum yang mengikat. Relawan politik perlu diregulasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H