Mohon tunggu...
Boy Anugerah LUSOR
Boy Anugerah LUSOR Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi / Pemain Ide

Founder Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kelit Kelindan Kejahatan Narkoba dan Pencucian Uang

15 April 2021   22:45 Diperbarui: 15 April 2021   23:24 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Kejahatan narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif atau yang dikenal sebagai kejahatan narkoba merupakan salah satu kejahatan yang bersifat luar biasa, di samping kejahatan korupsi dan terorisme. Digolongkan sedemikian rupa karena kejahatan ini sangat berbahaya, serta memberikan dampak buruk yang bersifat masif, salah satunya adalah merusak generasi muda penerus suatu bangsa. Selain dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, kejahatan narkoba juga disebut sebagai kejahatan transnasional atau lintas batas negara.

Disebut demikian karena kejahatan ini bersifat terorganisasi dengan baik, serta melibatkan banyak pihak, baik produsen, pengedar, maupun kurir, yang tidak hanya berasal dari satu negara saja, tapi bersifat lintas negara dan lintas benua. Merujuk pada karakteristik-karakteristik tersebut, pemerintah Indonesia tentu saja menjadikan kejahatan narkoba sebagai fokus utama penanganan tindak kejahatan transnasional. Terlebih lagi apabila menilik status Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia untuk penjualan dan peredaran narkoba.

Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan mengapa Indonesia menjadi target atau sasaran kejahatan narkoba transnasional. Pertama, faktor besarnya jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 260 juta jiwa. Ditambah lagi dengan kecenderungan yang meningkat pada penggunaan narkoba dari tahun ke tahun. Kedua, faktor geografis Indonesia yang luas dan sebagian besar berbatasan langsung dengan negara-negara lain sehingga menjadi pintu masuk bagi sindikat kejahatan narkoba transnasional.

Faktor ketiga adalah masalah keterbatasan aparat. Hal ini merujuk pada pernyataan mantan kepala BNN, Komjen Pol Budi Waseso, ketika memberikan pernyataan kepada media dalam menanggapi keberhasilan tim gabungan BNN, TNI, Polri, dan bea Cukai dalam membongkar penyelundupan narkoba di Batam pada Februari 2018 yang lalu. Menurutnya, peningkatan peredaran narkoba di Indonesia, selain disebabkan oleh luasnya wilayah perairan Indonesia, juga disebabkan oleh keterbatasan jumlah aparat yang bertugas.

Penanganan narkoba tidak hanya menjadi tanggung jawab BNN saja, tapi memerlukan koordinasi yang solid antar institusi baik BNN, Polri, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ditjen Bea Cukai, hingga TNI. Faktor keempat, yakni masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Irjen Pol (Purn) Benny Josua Mamoto, mantan pejabat BNN, mengungkapkan pengalamannya saat memeriksa buron pengedar narkoba di sebuah penjara di Bangkok, Thailand. Informasi yang didapat dari buron tersebut cukup mengejutkan karena salah satu alasan mengapa ia dan sindikatnya menjadikan Indonesia sebagai target atau sasaran adalah karena masih banyaknya oknum aparat yang bisa disuap.

Kenyataan bahwa Indonesia merupakan surga bagi peredaran narkoba adalah merujuk pada pengakuan dari seorang buronan pengedar narkoba dari Iran, ketika ditanya mengapa Indonesia jadi sasaran, "saya orang bisnis, saya melihat Indonesia pasar yang bagus. Angka permintaannya naik terus, harganya bagus, dan hukum bisa dibeli". Menurut analisa dari Bareskrim Mabes Polri, untuk harga shabu-shabu yang dipasarkan ke Indonesia memang sangat menggiurkan. Dari hasil identifikasi tersebut, didapatkan bahwa harga shabu jaringan internasional yang beredar mulai dari tingkat pabrik (Rp. 100-120 jt/kg), Bandar (220-300 jt/kg), agen (340-440jt/kg) dan akhirnya sampai ke konsumen bisa mencapai 1 - 1, 2 milyar/kg.

Dalam konteks pemberantasan kejahatan narkoba, dibutuhkan sebuah pemahaman yang komprehensif serta analisis yang cermat mengingat kompleksnya kejahatan ini, baik dari sisi motif, struktur organisasi, maupun strategi dan taktik yang diterapkan di lapangan. Sehingga nantinya dapat dirumuskan strategi pemberantasan yang jitu. Kejahatan narkoba merupakan kejahatan yang terkonspirasi dan terencana dalam permufakatan jahat. Permufakatan jahat ini merujuk kepada kejahatan terorganisasi, khususnya yang memiliki jaringan luas.

Secara ontologis keilmuan, permufakatan jahat terdiri atas tiga jenis, yakni konspirasi rantai (chain conspiracy), konspirasi roda (wheel conspiracy), serta konspirasi korporasi (enterprise conspiracy). Secara sederhana, konspirasi rantai adalah permufakatan jahat antara dua orang atau lebih untuk bersama-sama melakukan tindak pidana. Sementara itu, konspirasi roda adalah permufakatan jahat antara dua orang atau lebih yang bersama-sama sepakat untuk melakukan kejahatan itu. 

Sedangkan konspirasi korporasi merupakan permufakatan jahat antara dua orang atau lebih yang bersekongkol untuk melakukan, membantu, memfasilitasi, serta memberikan konsultasi untuk menjadi anggota organisasi kejahatan atau bahkan mengorganisasikan suatu tindak pidana. Konspirasi korporasi termaktub dalam Racketeer Influenced Corrupt Organization (RICO) Act yang berlaku sejak 1970 di Amerika Serikat, yang kemudian diambil oleh UN Convention Against Illicit Traffic Narcotic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances pada 1988 yang telah diratifikasi.

Terminologi "permufakatan jahat" seyogianya menjadi kata kunci dalam pemberantasan kejahatan narkoba karena istilah ini menjadi pembuka dan penuntun kepada kejahatan lainnya yang terkait di dalamnya, yakni kejahatan pencucian uang. Melalui pemahaman ini, diharapkan bahwa para pelaku kejahatan narkoba tidak hanya dapat dijerat melalui UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika saja, tapi juga melalui Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Dasar hukum dari penggunaan UU TPPU ini adalah kejahatan narkoba, dipandang dari perspektif hukum, merupakan tindak pidana yang bermotifkan "capital and economic gain". Terlebih lagi para pelaku tidak hanya bersifat individual, tapi juga dapat berbentuk korporasi, organisasi kriminal, bahkan sindikat kejahatan lintas batas negara. Jika pelakunya adalah korporasi, maka perlu diselidiki lebih jauh siapa yang bertanggung jawab dalam organisasi tersebut, apakah pengurus korporasi, pengendali, atau orang yang melaksanakan perintah untuk dan atas nama yang berbasis kepentingan korporasi atau "corporate liability".

Penyelidikan tersebut bisa dikembangkan lebih jauh lagi apabila hasilnya signifikan, seperti penelusuran mengenai ke mana saja transaksi keuangan dilakukan dengan meminta laporan hasil harta kekayaan anak beserta istrinya seperti yang tercantum dalam Pasal 97 dan 98 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan berkelitkelindannya kejahatan narkoba dan kejahatan pencucian uang, dengan kejahatan terorisme. Bisa saja hasil kejahatan narkoba digunakan untuk mendanai kejahatan terorisme setelah melalui proses pencucian uang terlebih dahulu.

Oleh sebab itu, benang merah yang bisa ditarik dari diskursus mengenai kejahatan narkoba di sini dengan merujuk pada postur dan korelasi kejahatan narkoba dengan kejahatan lainnya adalah diperlukan sinergi dan kerja sama antara para pemangku kepentingan dalam pemberantasan narkoba, yakni BNN selaku leading sector, dengan pihak-pihak terkait seperti Polri, TNI, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ditjen Bea Cukai Kemenkeu RI, Ditjen Imigrasi Kemenkumham RI, serta perbankan nasional, baik pemerintah maupun swasta. 

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kejahatan narkoba, tidak hanya digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa saja seperti halnya kejahatan korupsi dan terorisme, tapi juga kejahatan yang bersifat terorganisasi dengan baik dan kompleks. Dikatakan kompleks karena kejahatan ini memiliki korelasi dengan kejahatan lainnya, yakni tindak pidana pencucian uang untuk mengaburkan hasil dari kejahatan tersebut.

Pemberantasan kejahatan narkoba dengan berbasis penelusuran pada tindak pidana pencucian uang merupakan sebuah upaya yang komprehensif karena dapat memangkas akar dari kejahatan ini, yakni sumber pendanaan dari sisi hulu, serta aliran dana di sisi hilir. Hanya saja masih terdapat persoalan yang harus dipecahkan untuk mengoptimalkan kegiatan ini. 

Meskipun UU TPPU sudah dikombinasikan dengan UU Narkotika, angka pengungkapan kasus kejahatan narkoba pada TPPU masih sedikit apabila dibandingkan dengan total kasus kejahatan narkoba secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti masih lemahnya sinergitas (good will) dari seluruh lembaga terkait TPPU, belum optimalnya sumber daya manusia (SDM) yang bertugas sebagai penyidik BNN dan Polri, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, termasuk kinerja dan integritas aparat penegak hukum yang belum maksimal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun