Hingga saat ini, belum ada suatu definisi atau pemaknaan yang sifatnya universal terhadap ekstremisme, khususnya ekstremisme kekerasan (violent extremism). Sebagian pihak berpandangan bahwa ekstremisme merupakan suatu pilihan sadar untuk menggunakan instrumen kekerasan, atau untuk mendukung penggunaan intsrumen kekerasan, guna meraih keuntungan di bidang politik, agama, dan ideologi[1].Â
USAID, sebuah lembaga internasional milik Amerika Serikat, memaknai ekstremisme kekerasan sebagai suatu sokongan, pelibatan diri, penyiapan, serta dukungan terhadap kekerasan yang dimotivasi dan dibenarkan secara ideologis guna meraih objektif-objektif di bidang sosial, ekonomi, dan politik[2].
Pemerintah Australia memiliki definisi tersendiri mengenai ekstremisme kekerasan. Ekstremisme kekerasan diterjemahkan sebagai suatu keyakinan dan tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan mendukung atau menggunakan kekerasan guna meraih tujuan-tujuan ideologi, agama, serta politik. Hal tersebut mencakup terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya yang memiliki motivasi politik dan kekerasan yang bersifat komunal[3].Â
Dewasa ini, pemaknaan terhadap ekstremisme kerap disamakan atau dipukul rata dengan radikalisme, padahal keduanya merupakan konsep yang berbeda satu sama lain[4]. Ekstremisme cenderung dilakukan oleh kaum supremasi yang berfikiran tertutup, sedangkan radikalisme cenderung dilakukan oleh kelompok egalitarian yang terbuka. Dalam konteks Indonesia, ekstremisme berbasis kekerasan telah eksis secara masif sejak dulu hingga kini[5].
Ada banyak data dan temuan yang menunjukkan bahwa aksi-aksi ekstremisme berbasis kekerasan hingga menjurus kepada terorisme merupakan hal yang sangat nyata terjadi di Indonesia, hingga masuk kategori sebagai sesuatu hal yang sangat mengkhawatirkan. Merujuk kapada laporan USAID pada 2016, calon anggota ISIS asal Indonesia yang direkrut dapat terpapar ekstremisme melalui media sosial. Menurut pakar keamanan dari Universitas Monash Australia, Profesor Greg Barton, ISIS memandang bahwa Indonesia merupakan ladang yang sangat subur untuk proses rekrutmen karena banyaknya Muslim Indonesia yang memobilisasi diri ke Irak dan Suriah[6]. Â
Pesantren-pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia juga disinyalir sebagai tempat tumbuh berkembangnya ekstremisme secara masif. Sebagai contoh, pesantren yang didirikan oleh pendiri sekaligus pemimpin Jamaah Islamiyah (JI), Ustadz Abu Bakar Baasyir, telah memproduksi para jihadis yang turun untuk bertempur di Irak dan Suriah.Â
Sydney Jones dari Institut Analis Kebijakan Konflik yang berbasis di Jakarta mengungkapkan temuannya bahwa sedikitnya 40 pesantren di Indonesia memiliki keterkaitan dengan jaringan teroris. USAID, lembaga donor milik Amerika Serikat, juga merilis temuannya, bahwa sejumlah kecil masjid telah berkembang menjadi ladang tumbuhnya ekstremisme dan radikalisme, khususnya kelompok-kelompok yang Pro-ISIS[7].
Mengacu kepada fenomena tersebut di atas, dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa ekstremisme berbasis kekerasan hingga mengarah kepada terorisme bukan lagi merupakan suatu hal yang bersifat laten (tersembunyi dan potensial) bagi Indonesia, melainkan sebuah ancaman yang bersifat nyata dan mendesak untuk disikapi.Â
Pemerintah Indonesia sendiri tidak tinggal diam dalam melihat dan mencermati situasi ini. Beragam kebijakan ditempuh oleh Pemerintah Indonesia untuk memadamkan benih-benih ekstremisme kekerasan yang tumbuh, baik melalui langkah pencegahan (mitigatif) maupun melalui langkah penindakan (kuratif). Pemerintah melalui berbagai institusi terkait seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI)[8] Â bahu-membahu secara simultan mencegah dan memadamkan aksi-aksi ekstremisme kekerasan hingga terorisme di Indonesia.
Secara garis besar, upaya penanganan ekstremisme berbasis kekerasan di Indonesia terbagi menjadi dua rumpun utama, yakni kontra-ekstremisme yang bersifat domestik dan kontra-ekstremisme yang bersifat internasional. Dalam konteks kontra-ekstremisme yang bersifat domestik, pemerintah menerbitkan peraturan hukum serta pembentukan badan khusus kontra-terorisme. Pasca Bom Bali pada 2002, Pemerintah Indonesia yang pada waktu itu berada di bawah rezim Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perppu tersebut lebih lanjut disahkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme. Regulasi ini menjadi payung hukum bagi pemerintah untuk menyelidiki, menuntut, dan menghukum kelompok ekstremis dan teroris secara efisien.
Lebih lanjut, pada 30 Juli 2010, Pemerintah Indonesia menerbitkan adendum Undang-Undang Tahun 2003, serta Peraturan Presiden (Perpres) No. 46 yang menjadi landasan hukum bagi pembentukan BNPT RI. Badan ini secara ofisial bertugas melakukan pengawasan dan koordinasi terhadap semua unit anti-terorisme yang sudah eksis di Indonesia sebelumnya seperti Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, Badan Intelijen Negara (BIN), Satuan 81 Gulung Teror (Sat Gultor) milik TNI, dan Desk Anti-terorisme. Badan ini melaporkan tugasnya kepada Presiden Republik Indonesia, akan tetapi aktivitas operasional sehari-hari dikelola oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia (Kemenko Polhukam RI)[9].