Mohon tunggu...
Bowo Leksono
Bowo Leksono Mohon Tunggu... -

Pertama membuat film pendek tahun 2004 berjudul “Orang Buta & Penuntunnya”. Dan film fiksi ini menjadi tonggak sejarah perfilman di Purbalingga.\r\n\r\nBerangkat dari gelanggang teater sejak 1994, mantan wartawan ini telah menelorkan puluhan film, fiksi dan dokumenter. Berbagai ajang festival film pun diikuti dan beberapa diantaranya menyabet nominasi dan penghargaan.\r\n\r\nBersama beberapa komunitas film di Purbalingga, pada 2006, alumni Fakultas Hukum UNDIP Semarang ini membentuk komunitas bersama bernama Cinema Lovers Community (CLC). Komunitas ini semacam lembaga payung yang memfasilitasi kegiatan perfilman berbasis komunitas di Purbalingga dengan menyelenggarakan workshop film, produksi film, pemutaran film, database film, dan festival film.\r\n\r\nDalam komunitas yang sampai saat ini menjadi musuh Pemkab Purbalingga ini, ia bertindak sebagai direktur. Mulai 2007, CLC menggelar Parade Film Purbalingga (PFP) yang pada akhirnya menjadi event tahunan bernama Festival Film Purbalingga (FFP) hingga kini.\r\n\r\nSaat ini, sutradara yang juga Direktur Operasional Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) ini, berusaha rajin memproduksi film pendek dan membidani kelahiran generasi sineas muda di tanah kelahirannya, Purbalingga.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Film SMAN Rembang Sabet Juara Umum FFA 2011

22 Oktober 2011   19:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:37 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film dokumenter "Gulma yang Bernilai Guna" dari SMA Negeri Rembang, Purbalingga dianugerahi Juara Umum Festival Film Anak (FFA) 2011 Medan. Film yang disutradarai Astri Rakhma Adisti ini berhasil menyabet Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Kameraman Terbaik, dan Editor Terbaik kategori dokumenter. Sementara kategori fiksi, film berjudul "Sarung" dari SMA Muhammadiyah 1 Purbalingga menyabet Editor Terbaik.

Malam penganugerahan festival berskala nasional yang telah memasuki tahun ke-4 ini diselenggarakan di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara, Medan, Jumat malam, 21 Oktober 2011.

Astri Rakhma Adisti merasa bangga film garapan Ekstra Kulikuler Sinematografi SMA-nya mendapat penghargaan di ajang FFA. "Penghargaan untuk kesekian kali bagi film kami ini, semoga menjadi pemicu bagi kami dan adik-adik kelas kami untuk peka terhadap lingkungan dengan jalan membuat film," ungkap sutradara yang duduk di kelas XI ini.

Tak Banyak Diperhatikan Pemkab

Film "Gulma yang Bernilai Guna" mengangkat sosok almarhum Mbah Gepuk (1905-2002) sebagai seorang petani sekaligus seniman pinggiran. Kakek yang hidup di tanah kelahiran Panglima Besar Jenderal Sudirman, Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Purbalingga ini secara otodidak menciptakan wayang suket (rumput) yang tak ternilai harganya.

Di tangan Mbah Gepuk, rumput yang dikenal sebagai gulma mempuyai nilai guna. Namanya mencuat sebagai seorang maestro wayang suket setelah kerap muncul di media massa sekitar tahun 1990-an. Sindhunata (Romo Sindhu), budayawan yang saat itu sebagai wartawan salah satu koran nasional menemukan sosok unik Mbah Gepuk.

Mulai tahun 1995, karya-karya wayang suket Mbah Gepuk dipamerkan mulai dari Yogyakarta dan Jakarta. Beruntung, sepeninggal kakek yang semasa hidupnya dihabiskan di ladang ini, masih ada orang-orang dekat yang meneruskan tugas sucinya, menganyam rumput menjadi tokoh-tokoh pewayangan. Adalah Badriyanto, cucunya dan Ikhsanudin, anak muda Bantarbarang yang juga belajar seni secara otodidak.

Sayang, potensi seni ini tak banyak diperhatikan Pemerintah Kabupaten Purbalingga. Pemkab setempat hanya mengabadikan beberapa karya Mbah Gepuk di Museum Wayang yang dimiliki daerah itu. Sementara tidak ada perhatian sama sekali terhadap keberlangsungan wayang suket sebagai sebuah karya seni adiluhung.

Gambaran kisah wayang suket Mbah Gepuk ini terekam dalam film produksi tahun 2011 yang sempat menyabet berbagai penghargaan seperti, Official Selection Malang Film Video Festival (MafvieFest) 2011, Film Dokumenter Terbaik dan Film Dokumenter Favorit Penonton Festival Film Purbalingga (FFP) 2011, dan Best Creative Idea Tourism Movie Competition 2011.

Pegiat Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga Asep Triyatno mengatakan setiap penyelenggaraan FFA, karya-karya film pelajar Purbalingga tak pernah absen dikirimkan di ajang insan perfilman anak yang digelar oleh Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan dan Sineas Film Documentary (SFD) Medan. "Tak hanya itu, setiap tahun pula film-film pelajar Purbalingga diapresiasi dan berprestasi di Sumatera Utara," tuturnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun