Mohon tunggu...
bot sosani
bot sosani Mohon Tunggu... -

Life is never ending journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah Malin Kundang ala UPBM Unpad, Sebuah Premis Antitesis

26 Mei 2012   06:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:46 929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malin Kundang, Harta Pusaka, Mamak yang durjana, dongeng dan legenda, edukasi dan petatah petitih Minangkabau yang diselingi gurauan cerdas khas mahasiswa, membuat nyaris 1000 penonton di Sasana Budaya Ganesha tidak beranjak selama 3,5 jam penampilan Unit Pencinta Budaya Minangkabau – Universitas Padjadjaran. Pagelaran seni Drama dan Randai dalam rangka peringatan ulang tahun ke 25 (Lustrum V) ini seolah menyihir penonton untuk tetap bertahan dan menemukan jawaban, benarkah seonggok batu di Pantai Air Manis di kota Padang itu adalah batu Malin Kundang?

Diadaptasi bebas dari cerpen Malin Kundang karya Es Ito, seorang penulis kontroversial yang terkenal lewat Novel Negara Kelima dan Rahasia Meedee, UPBM berani menyuguhkannya kedalam bentuk panggung broadway berbalut kesenian tradisional Minangkabau. Meski tidak sedikit kecaman terhadap gaya penuturan ‘vulgar’ ala Es Ito dalam cerpennya, namun UPBM mencoba mengemasnya menjadi lebih halus, sarat pesan moral dan berujung pada penokohan Malin Kundang yang protagonis, berlawanan dengan legenda yang ada di masyarakat .

Tidak hanya bermodal cerpen Es Ito, UPBM juga mencoba mencari premis sejarah untuk memperkuat hipotesa drama tersebut. Mengambil setting pedalaman Minangkabau pada penghujung abad 17, dimana pada waktu itu terjadi kemerosotan moral dan penyalahgunaan institusi adat di daerah Dataran Tinggi Minangkabau. Kondisi inilah yang kemudian menyulut terjadinya gerakan Paderi di Minangkabau Utara, dan menjadi momentum renaisance kebudayaan Minangkabau keseluruhan.

Sebagaimana cerpen aslinya. UPBM juga mengaitkan kisah Malin Kundang dengan kejadian Tsunami yang melanda pesisir barat Sumatera Barat pada tanggal 10 Februari 1797. Dahsyatnya Tsunami tersebut membuat sebongkah batu karang sebesar kapal terdampar di pesisir pantai Air Manis. Dan menurut hipotesa UPBM, inilah yang kemudian dianggap oleh masyarakat sebagai kapal Malin Kundang yang durhaka dan dikutuk jadi batu oleh sang Bunda.

13380130222004606751
13380130222004606751

Terlepas dari benar atau tidaknya hipotesis tersebut, tapi kejelian UPBM mengaitkan fakta sejarah dengan legenda yang ada dimasyarakat patut diacungi jempol. Legenda adalah sejarah yang belum bisa dibuktikan dan sangat multi interpretatif. Sebagai Unit kegiatan penalaran budaya, UPBM memang sudah pada porsinya mengangkat sisi lain dari legenda-legenda yang ada di masyarakat. Disamping tetap mengusung nilai-nilai edukasi yang ada di dalamnya.

Apa yang dilakukan UPBM ini bukan yang pertama kalinya. Pada tahun 1999, industri film Hollywood memproduksi film “Ever After” yang menceritakan kisah Cinderella, sebuah dongeng anak-anak dari Perancis. Namun dalam novel ini tidak ada Ibu Peri dan Labu sebagaimana dalam dongeng, malah kisah Cinderella ditautkan dengan kisah percintaan Raja Henry yang memerintah Perancis pada awal abad ke XVI, dimana pada saat itu Perancis yang tadinya tertinggal dari Italia dan Spanyol, akhirnya bisa menjadi Pusat Kebudayaan Renaisance Eropa.

Kembali ke UPBM yang merupakan satu-satunya Unit Kemahasiswaan di Unpad yang berbasiskan penalaran budaya lokal, dalam hal ini budaya Minangkabau, penulis memberikan acungn jempol atas kreatifitas ini. Meskipun masih ada satu atau dua kekurangan dalam pelaksanaan pagelaran, ataupun inkonsistensi dalam alur cerita, namun secara keseluruhan Pagelaran Seni “Another Story of Malin Kundang” ini sudah mendekati sempurna. Apalagi dilihat dari latar belakang anggota UPBM yang multi etnis dan tidak memiliki latar belakang seni tradisional Minangkabau. Selamat Ulang Tahun ke 25 untuk UPBM Unpad. (BSP)

13380127061426478233
13380127061426478233

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun