Beberapa waktu lalu masyarakat kita sempat dihebohkan dengan kehadiran aplikasi yang cukup mengundang kontroversi. TikTok, sebuah aplikasi video musik yang menawarkan keasyikan dalam me-lypsinc-kan lirik lagu dengan diikuti gerakan atau goyangan ini seketika melejit di kalangan masyarakat. Dalam waktu yang cukup singkat, TikTok  seolah menjadi idola baru bagi para pengguna sosial media, terutamanya remaja. Muser---sebutan bagi para pengguna aplikasi ini---tidak hanya datang dari kalangan remaja saja. Namun mulai anak-anak bahkan sampai orang dewasa pun turut ketagihan memainkan aplikasi ini.
TikTok merupakan sebuah aplikasi buatan Tiongkok yang masuk ke Indonesia sekitar akhir tahun 2017 lalu. Tujuan awal diciptakannya aplikasi ini selain sebagai sarana hiburan, juga sebagai sarana berkreativitas bagi para pengguna sosial media dalam menciptakan video-video musik pendek yang menarik dan menghibur.
Namun, di balik tujuan itu, tidak sedikit dari para pengguna TikTok yang bisa dibilang, kelewat kreatif, sampai-sampai mereka tidak hanya memperlihatkan kebolehannya dalam me-lypsinc-kan sebuah lagu dan mengikuti gerakannya, tapi bahkan juga sampai mempertontonkan konten atau lebih tepatnya bagian dari tubuh mereka yang terbilang sensitif untuk dikonsumsi oleh banyak orang. Tak jarang pula video-video tersebut diikuti dengan beberapa goyangan yang dinilai tidak sesuai, kurang pantas, bahkan tidak senonoh.
Di samping itu, contoh lain dari bentuk 'kelewat kreatif' para Muser ini adalah menggunakan TikTok di waktu, tempat, dan dengan objek yang tidak seharusnya. Katakanlah, beberapa waktu lalu sempat viral video TikTok yang mengundang kontroversi seperti sekelompok ibu-ibu dengan menggunakan seragam PNS yang bergoyang asyik di saat jam kerja, atau saat sekelompok bidan menjadikan bayi baru lahir sebagai objek mereka dalam bermain TikTok. Meski niatnya tetap ingin menghibur dan tidak ada sedikit pun maksud buruk lainnya, tapi tetap saja, tindakan mereka tidak bisa dibenarkan karena dianggap merugikan banyak pihak/instansi tertentu, tanpa mereka sadari.
Kontroversi-kontroversi itulah yang akhirnya menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Hingga akhirnya mendorong munculnya banyak petisi yang menyatakan dan menginginkan aplikasi TikTok untuk dinonaktifkan atau diblokir. Hal tersebut sontak semakin menambah ketidakselasaran pendapat antara mereka yang pro dan kontra terhadap aplikasi TikTok.
Menanggapi berita terkait pemblokiran aplikasi sejuta umat oleh Kominfo ini, beberapa waktu lalu saya sempat melakukan sedikit tanya jawab dengan dua narasumber berbeda. Narasumber pertama yang saya hadirkan adalah Andreas, seorang Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa & Sastra Inggris, Unesa.
Mengapa mahasiswa?
Karena di sini saya berpikir, mahasiswa adalah bagian dari masyarakat. Mereka berhak menjadi sarana penyampaian aspirasi bagi masyarakat. Di samping itu, mahasiswa memiliki pemikiran yang cukup kritis dalam memandang satu masalah. Dengan itulah, saya harapkan mahasiswa, mewakili masyarakat, bisa menyampaikan pendapatnya secara netral, tanpa memihak dari sisi mana pun, dan memiliki visi/pandangan yang sama dengan masyarakat umum.
Narasumber kedua, Dela Rosita. Adalah seorang mantan pengguna aplikasi TikTok. Kenapa saya memilih dari kalangan pengguna TikTok? Karena tentu kita juga ingin tahu, bagaimana pendapat mereka mendengar berita tentang diblokirnya TikTok dan dampak bagi mereka seperti apa? Karena kita sebagai masyarakat umum mungkin tidak bisa menyimpulkan bagaimana mereka menyikapi kasus ini, maka dari itulah saya hadirkan langsung salah seorang pengguna TikTok untuk mengetahui semuanya.
Saat ditemui dalam satu kesempatan, Andreas menyatakan bahwa dirinya cukup senang karena aplikasi TikTok diblokir. "Ya, saya merasa senang TikTok diblokir. Karena memang kurang edukatif. Tapi kembali lagi ke tujuan awalnya, TikTok hanya untuk menghibur. Namun sayangnya, itu justru malah disalahgunakan."
Saat disinggung mengenai batasan-batasan dalam penggunaan TikTok, Andreas justru lebih menekankan tentang harus adanya batasan umur dalam mengoperasikan perangkat elektronik, "Sebenarnya yang salah bukan developer-nya, namun user-nya. Menurut saya, TikTok lebih cocok untuk orang de   wasa, bukan anak-anak. Tapi kadang, ketidakdewasaan orang dewasa inilah yang membuat mereka tidak mampu mengarahkan anak atau orang di bawah usia mereka saat menggunakan TikTok."