DANUR: I CAN SEE GHOSTS berhasil menjadi pionir kembali bangkitnya film-film horor Indonesia yang telah cukup lama meredup. Di balik besarnya gerusan film-film yang mengangkat genre percintaan, ditambah dengan gempuran film-film Hollywood yang sukses merajai dunia perfilman Internasional, membuat eksistensi film horor, sebutlah Indonesia, mulai tersingkirkan.
Namun hal itu tidak lagi terjadi ketika tepat satu tahun lalu, bulan Maret 2017, Pichouse Film yang dinaungi langsung oleh MD Pictures mengeluarkan sebuah gebrakan baru dalam dunia perfilman tanah air. DANUR: I CAN SEE GHOSTS hadir sebagai bentuk  penyempurnaan imej film horor Indonesia ke arah yang lebih baik.
Setelah sebelumnya film horor tanah air dikenal kerap menampilkan adegan-adegan yang mungkin kurang pantas, maka DANUR hadir untuk mengubah persepsi itu dan menciptakan sebuah pandangan yang baru.
Dengan mengangkat kehidupan pribadi seorang perempuan Indigo bernama Risa Saraswati, dan Prilly Latuconsina sebagai aktris yang dipercaya untuk memerankan tokoh utamanya, DANUR sukses menempatkan diri menjadi film horor terlaris sepanjang masa, pada saat itu---lima bulan sebelum Pengabdi Setan merebut gelar tersebut.
Dan berharap kembali mendulang kesuksesan yang sama, maka tepat satu tahun setelahnya---sekarang---rilislah DANUR 2 MADDAH sebagai sekuel dari film DANUR: I CAN SEE GHOSTS.
*SPOILER ALERT*
Peran Beberapa Tokoh yang Kurang Tereksplor Maksimal
Jika kalian sudah pernah menonton DANUR yang pertama, tentu kalian sudah mengenal baik---maaf, mungkin mengetahui---bahwa Risa (Prilly Latuconsina) memiliki tiga teman hantu kecil, yaitu Peter, Janshen, dan William. Namun di film keduanya, ada dua tambahan teman hantu kecil, yakni Hans dan Hendrick.
Sebenarnya, memang seperti itulah formasi yang sebenarnya---berdasarkan dari apa yang Risa tulis di novel-novelnya selama ini. Namun aku merasa, kelimanya di sini tidak berperan apa-apa di sepanjang cerita, honestly. Malah, mungkin hanya terkesan untuk meramaikan saja?
Memang, konflik utama film ini tidak terletak pada mereka, namun aku melihatnya sayang saja. Kelima hantu kecil ini hanya hadir sebagai selingan, sebagai pengurai ketegangan di tengah-tengah filmnya. Apalagi hadirnya Hans dan Hendrick di film ini tidak meninggalkan kesan tersendiri bagiku.
Jika di film pertama, kita sebut saja itu merupakan intro. Perkenalan dengan kehidupan Risa, juga dengan teman-teman kecilnya. Meski sama, konflik utama film tersebut tidak ada pada mereka (hantu kecil), namun setidaknya di film itu aku bisa menemukan seperti apa peran mereka, dan untuk apa mereka ada.
Hubungan mereka dengan Risa, meski terbilang aneh, namun cukup meninggalkan kesan. Didukung dengan alunan lagu boneka abdi yang terselip di beberapa bagian, sangat membuat penonton terngiang-ngiang setelahnya. Yah, mungkin hadirnya kelima hantu kecil ini sebagai penolong dalam setiap masalah yang dialami Risa.
Tapi kembali lagi, aku kurang bisa menemukan di bagian mana mereka bisa disebut sebagai penolong tersebut.
Lalu, tokoh lain seperti Tante Tina, aku rasa juga tidak memiliki porsi lebih. Dalam maksud begini, di film ini, konflik utamanya ada di dalam keluarga Tante Tina (Sophia Latjuba) dan Om Ahmad (Bucek Depp).
Saat Risa dan Angki (Shawn Adrian) merasa ada sesuatu yang salah---yang dikaitkan dengan hal supranatural---terjadi pada Om Ahmad, aku berharap akan ada serentetan teror yang mengusik keluarga itu. Terutama Tante Tina. Aku berharapnya Tante Tina lah yang menjadi 'sasaran empuk' teror tersebut.
Jika hal itu terjadi, hadirnya Tante Tina di sini pun tidak akan terasa percuma, bahkan kualitas aktingnya pun akan tereksplor secara maksimal. Lebih dari hanya sekedar menjerit-jerit di lantai tempat tidur. I'm sure that she can do better than that. Namun rupanya tidak demikian.
Sepanjang film, cerita hanya berpusat pada sudut pandang Risa, si tokoh utamanya. Kita tidak diberi ruang luas untuk mengetahui cerita dari sudut pandang lain. Sehingga aku merasa ceritanya agak sempit untuk dilihat dari berbagai sisi.
Ivanna, Sosok Hantu Iconic yang Cantik, Lucu, dan Seram di Saat Bersamaan
Jika di film DANUR pertama, kita akan bertemu dengan sosok hantu bernama Asih, namun beda halnya di film ini. Kita akan berkenalan dengan sosok hantu Belanda cantik bernama Ivanna---lebih cantik dari Asih tentunya. Gaya berpakaian Ivanna yang sangat khas---aku tidak tahu persis apa gaya dan model pakaian yang dikenakan Ivanna.
Namun sekilas, kita bisa melihat, sebuah gaun Belanda bergaya kuno dengan warna pastel yang dihiasi oleh sentuhan motif bunga dan motif rumit lainnya, yang sulit untuk kudeskripsikan.
Penampilan Ivanna yang mungkin bisa dibilang khas ini, membuat penonton tidak mudah lepas dari bayang-bayangnya. Ditunjang dengan suara ketawanya yang keras dan cenderung seperti berteriak di tiap ujungnya, membuatnya seram secara keseluruhan. I mean, tidak hanya seram secara visual saja.
Dalam beberapa pengambilan adegan, aku benar-benar bisa melihat seperti apa seramnya Ivanna dengan balutan khasnya tersebut. Bagian yang paling kusuka adalah tiap kali kamera mengambil gambar Ivanna yang sedang berdiri dari jarak yang cukup jauh. I'm so scared, swear! Apalagi saat ia sedang berdiri di depan pavilion, dibawahi oleh remangnya lampu malam, dan asap yang beterbangan di sekitar, I was like; oh, this movie has made a very good change!
Namun meski begitu, di beberapa bagian, aku merasa penampilan Ivanna sebenarnya juga terlihat lucu. Terlebih aku merasa bahwa make up Ivanna agak terlihat mirip seperti, badut? I don't know how Ivanna looks like in her 'real life' dan aku juga tidak tahu seperti apa pendapat kalian.
Tapi yang jelas, tampilan rias Ivanna ini aku rasa terlalu berlebih sehingga dalam beberapa adegan, bukannya merasa takut, aku---dan penonton lain pada saat itu---juga tertawa.
Parade Jumpscares yang Tidak Murahan
Di bagian-bagian awal, hampir sampai pertengahan malah, penonton akan ditakut-takuti dengan diselipkannya beberapa jumpscares yang sangat tidak terduga.
Tidak seperti film pertama yang hanya mengandalkan backsound untuk mengaget-ngateti penontonnya, tapi di film ini jumpscares-nya lebih dari itu. Lebih dari segi kualitasnya, yang terkesan tidak murahan, dan tidak sekedar ada supaya dianggap seram saja.
Beberapa jumpscares dipikirkan dan dihadirkan dengan cukup baik, sehingga kita sebagai penonton benar-benar bisa mendapatkan kesan seram dan takut itu.
Tapi aku agak merasa risih dengan salah satu adegan, di mana Ivanna memainkan piano dan Prilly berada di sampingnya. Tiba-tiba saja, secara cepat ia pindah posisi dari depan piano ke samping Prilly yang otomatis membuat keterkejutan yang tak terduga. Meski berhasil membuat penonton kaget, namun aku rasa ini terkesan terlau cepat dan, hah?
Menurutku, ada baiknya jika Ivanna menghilang terlebih dahulu untuk beberapa detik, sebagai jeda sebentar yang menimbulkan keheningan, lalu baru memunculkan diri di dekat Prilly. Aku rasa, itu lebih menarik dan akan benar-benar attacks our heart!
Kerjasama Baik antara Tim, Sutradara, dan Pemain yang Membuahkan Hasil Luar Biasa
Keberhasilan film Danur 2 ini, digadang-gadang juga karena keahlian sang sutradara, Awi Suryadi dalam memonitor sepanjang proses syuting, terutama dalam hal pengambilan gambar. Pengambilan gambar untuk beberapa adegan yang terlihat tidak biasa, sangat menunjukkan nilai estetika dalam dunia perfilman yang luar biasa.
Sebenarnya aku tidak terlalu tahu seperti apa sepak terjang Om Awi selama di dunia perfilman sebelum ia menggarap Danur. Namun melihat dari beberapa sumber dan 'kesaksian' beberapa orang, I'm really sure that he's the one who has a great abilty to make things cool.
Lalu, kemampuan akting Prilly Latuconsina yang sangat mumpuni adalah penunjang lain yang berhasil membawa film ini meraih kesuksesan---dua juta penonton sebelum genap dua minggu tayang.
She did everything better, better, and better than the previous movie. Ada beberapa adegan yang memang mengharuskan Prilly untuk menunjukkan kemampuan beraktingnya secara totalitas, dan itu ia eksekusi dengan sangat baik.
Dan perlu diketahui, di film ini, Risa Saraswati---tokoh aslinya, sekaligus penulis buku Danur, Maddah, Sunyaruri, dan lain-lain---juga ikut ambil peran. Yakni sebagai dokter.
Tapi aneh saja, rumah sakit tempat Bu Dokter Risa bekerja dibiarkan tidak terawat baik. Lampu nyala mati sendri dan penerangan sangat minim. Apakah ini menyesuaikan dokternya? Hahahahaha. Everything could be possible, right?
 Aku Jatuh Cinta dengan 'Dia', yang Tidak Mau disebut Namanya
Di balik creepy-nya film ini, terselip sebuah kisah cinta tidak biasa, yang didasari oleh bayang-bayang masa lalu yang tidak pernah lepas, dan rasa kesetiaan yang sudah mengakar di dalam hati. This is the special thing, kita akan turut menyecap sedikit rasa manis yang terselip di akhir ceritanya. That was really a sweet ending.Â
 -This is the end of review Danur 2: Maddah-
Kesuksesan film Danur 2 Maddah yang tidak kalah dari film pertamanya, tentu akan menjadi dorongan yang lebih kuat untuk kembali digarapnya salah satu novel dari Risa Saraswati menjadi film berikutnya. Yang saya harapkan segera, Danur 3 Sunyaruri.
Salam, dan cintai film dalam negeri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H