Andai ku anak menteri. Tentu hidupku tak sesusah begini. Kerja, bangun jam tiga pagi. Pulang sore, badan seperti digebuki.
Andai ku anak menteri. Hidup enak tentu kunikmati. Ada masalah denganku, di belakang, bapak siap berdiri.
Andai ku anak menteri. Divonis pidana pun ku masih bisa pergi-pergi. Masa bodo omongan orang nanti, bisa-bisanya hukum ditelanjangi.
Andai ku anak menteri. Persetan keadilan. Persetan hati nurani. Sebab kataku, hukum negara ini mudah dikebiri. Gampang dibeli.
Tapi ku bukan anak menteri. Ku hanya keturunan si miskin petani. Sedari kecil diajak kerja. Diajari mandiri.
Tapi ku bukan anak menteri. Ku Cuma pedagang biasa yang keliling kampung sehari-hari yang berprinsip; “Jujur panglimaku. Norma-norma wajib kupatuhi”.
Apa gunanya jadi anak menteri. Hidup terjamin, orang lain mencaci. Kata mereka, contohlah keluarga Nabi dan sahabatnya ketika bersalah dan dihakimi.
Apa gunanya jadi anak menteri. Enaknya tak abadi. Tanggung jawab di akhirat menanti. Tak tahukah ia, hukuman dunia memperingan siksa di akhirat?, demikian kata Pak Haji.
Apa gunanya jadi anak menteri. Tentu lebih baguslah jadi anak petani. Harta halal. Nafkah halal. Pasti berkah dunia akhirat dicicipi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H