Sementara Ibu tinggal di Jakarta Timur, saya tinggal di Jakarta Selatan. Setiap ada kesempatan saya pasti mengunjungi beliau kalau sedang di Jakarta. Namun, selama menunggu acara hajatan 1.000 harian setelah Ayah berpulang, Ibu banyak di Malang, di rumah adik saya. Kemudian ketika Ibu di Jakarta, saya menginap dengan keluarga saya. Cucu-cucunya pun senang eyang mereka yang cerewet ini ada di Jakarta.
Kebetulan hari itu saya sedang datang sendiri, jadi kami bisa bicara berdua. Tak lama berselang, beliau ambil air wudu untuk salat. Karena saya sudah salat duluan sebelum ke sana, saya pun mengambil kesempatan ini untuk menelepon adik saya di Malang. Saya naik ke lantai dua untuk bicara dengan adik saya, "Dek, itu surat tanah bagaimana ceritanya?"
Tanpa jeda, adik saya langsung bercerita, "Begini Mas, aku dapat surat beberapa bulan lalu dari bank.
Ternyata surat tanah dan rumah Bapak-Ibu ini dijaminkan ke bank dengan nilai 80% dari nilai rumah 3 tahun yang lalu, tepat 3 bulan sebelum Bapak meninggal."
"Sama siapa dijaminkannya?"
"Almarhum Bapak yang jaminkan aset rumah sebagai avalis. Yang pinjam perusahaan Bapak sama mitranya, orang Singapura, Julian Kho namanya. Ketika dijaminkan, selang 3 kemudian kemudian Bapak wafat. Rupanya Julian culas Mas, dia tidak pernah bayar cicilan dan rumah ini sejak pertama digadaikan, tidak pernah dicicil bayaran. Sekarang sudah "call 5" dan akan dilelang 3 bulan lagi. Dan yang lebih menyakitkannya lagi, nilai bunga serta pokok sudah 2 kali lipat. Harus bayar dua kali lipat kita."
Mendengar informasi ini, darah saya memuncak dan asli saya marah, marah sekali. Bajingan tuh orang Singapura, segala sumpah serapah keluar dari mulut saya. Gemetar badan saya menahan amarah. #bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H