Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi, apalagi tahu apa maksudmu menghancurkan tanah lapang tempatku bermain bola sore kemarin.
Saya hanya heran, saat saya melihat air mata serta darah mengalir, teriak histeris juga umpatan dan bau amis dari tubuh-tubuh yang tergeletak di sepanjang jalan di pagi buta yang dingin.
Hariku menjadi kacau, hiruk pikuk orang berlari tak karuan, berteriak-teriak meminta tolong dan kulihat sejumlah orang lagi memikul senjata saling menembak satu sama lain.
Saya kebingungan di dalam rangkul Ibu yang berlari ketakutan sambil menyumpahi Rusia dan namamu, Tuan Putin.
Dengarkan, saya sedang tertidur lelap, sedang bermimpi menjadi seorang pesepak bola seperti Shevchenko, atau petinju seperti Klitschko bersaudara yang membawa nama negaraku harum menyebar.
Tetapi datangmu terlalu pagi, terlalu buas untuk dinihari yang hening dalam dunia mimpi yang ku bangun dari dongeng Ibuku di ujung malam tentang kejayaan Soviet sebelum tidurku tak sadar.
Tuan putin, bolehkah kuhabiskan mimpiku dulu? Bolehkah aku tidur dengan tenang di di bawa hujan salju di akhir Februari? Bolehkah kehangatan peluk ibuku menemaniku sampai pagi? Bolehkah kamu sedikit bersabar?
Langit subuh yang biasanya teduh, hari ini meraung-raung oleh suara bising jet tempur berselang cahaya dan bunyi gemuruh mengikutinya. Aku kagum, karena yang ku tahu gambar seperti itu adalah perayaan ulang tahun dari teman-teman seusiaku yang bermain mercun.
Paginya baru ku sadar, saat Ayahku yang dinihari tadi pamit katanya ada urusan pekerjaan yang harus diselesaikan belum juga kembali, serta mata gelisah sang Ibu mengawas setiap orang yang keluar masuk ruangan sempit ini. Oh ternyata subuh tadi mimpiku sedang diracun.
Oleh kepulan asap dini hari tadi, kini nafasku sesak, mulai batuk-batuk dan pandanganku mulai kabur karena terasa perih sehingga Aku merengek-rengek pada  Ibu dan Ibu hanya mengelus-elus pundakku sambil menggendongku mengayun.
Aku tanya pada Ibuku, mengapa hari ini tidak seperti biasanya? Di jalanan sana hanya ada pria-pria bersenjata sibuk menggotong orang-orang yang subuh tadi kulihat tergeletak di jalanan saat sirine berbunyi dan kita serentak berlari kencang tak peduli menuju stasiun?
Lalu Ibuku menatap wajahku yang kebingungan, menenangkanku yang merengek dan berbisik di telingaku,"Husss,diam Nak. Kita sedang tidak baik-baik. Ayahmu belum kembali dan mari kita berdoa semoga Ayahmu lekas kembali."
"Rusia telah menyerang kota kita, rumah kita telah hancur, sekolahmu sudah roboh, tanah lapang tempat kamu bermain bola telah menjadi lautan abu. Buku-buku pelajaranmu serta bola yang sering kau mainkan mungkin telah menjadi debu. Pun Gereja barangkali."
"Kita sedang tidak baik-baik. Ayahmu pergi mengangkat senjata, berjuang dengan pria-pria pemberani di luar sana untuk mempertahankan negara kita. Banyak nyawa tak terselamatkan, mungkin juga teman-temanmu. Sementara kita aman disini."
Tuan Putin, bisakah Anda merasa apa yang sedang kami rasa? Kami tidak ingin berperang. Begitu pula dengan Ayahku yang pergi dan belum kembali. Kami hanya orang-orang biasa yang tidak mengerti dengan masalah ini. Jalanku masih panjang.
Masih banyak cerita yang ingin ku tulis dalam sejarah hidupku, tetapi bukan kisah pahit seperti hari ini. Aku terlalu kecil untuk diajarkan kebencian. Aku terlalu kecil untuk menjadi korban dari perang.
Apalagi kalau sampai harus ditinggalkan oleh Ayahku, atau saja mungkin Ibuku. Aku tidak pernah bermimpi tentang perang, jadi hentikan sudah peperangan ini. Aku hanya ingin bersekolah, bermain bola dengan teman-temanku dan menjadi sukses untuk semua orang.
Kupang, 26 Februari2022_St. Lucifer
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H