Tak dapat dipungkiri, reformasi selain menumbuhkan kebebasan politik juga menjadi pemicu meningkatnya gejolak menulis masyarakat Indonesia. Kendati peningkatan ini belum cukup signifikan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura (tolok ukurnya adalah jumlah buku yang dibaca oleh satu penduduk dalam 1 tahun dibandingkan dengan jumlah penduduk suatu negara), namun secara kasat mata peningkatan itu tetap ada dan tidak bisa kita nafikan. Lihat saja di Gramedia Book Stores, tiap hari kita mnyaksikan pertambahan buku-buku pada rak "display buku baru."
Apa kita-kira penyebab gairah menulis itu meningkat? Hal ini dipicu oleh antara lain kebebasan untuk mengeluarkan dan menyalurkan pelbagai pendapat dalam berbagai bentuk, baik yang pro maupun yang kontra mainstream yang sudah ada di tengah masyarakat pasca reformasi. Selain itu, semakin banyaknya media yang menyediakan "ruang" untuk menulis, dan menampung pelbagai tanggapan atas tulisan yang ditampilkan tersebut. Ruang-ruang ini pada umumnya disediakan oleh kanal-kanal berita yang dimiliki oleh para penerbit tradisional seperti majalah, koran, atau pun tabloid yang kemudian melahirkan kembarannya dalam bentuk digital karena tuntutan jaman dan teknologi serta pasar, seperti Kompas dengan Kompas.com, Tempo dengan Tempo.co, Pikiran Rakyat dengan Pikiran Rakyat Online, dan masih banyak lagi. Belum lagi bertambahnya media jejaring sosial yang menyediakan aplikasi gratis dalam format blog, seperti Blogspot, Wordpress, Tumblr, Posterous, Twitter, Xanga, dan Weeby dan masih banyak lagi. Dengan aplikasi gratis ini kita bisa menuangkan segala ide dalam bentuk yang dikenal dengan "tulisan blog" atau disingkat "blog" saja.
Dalam dua paragraf di atas, saya menggunakan kata "menulis" untuk menggambarkan aktifitas kreatif tulis-menulis masyarakat Indonesia yang semakin meningkat. Dan kata "menulis" ini di "ruang publik" sudah bisa diterima tanpa reserve. Yang saya maksudkan dengan "ruang publik" adalah media ruang seperti koran, majalah, tabloid, blog, dan perbukuan.
Namun aktifitas "kreatif" tulis-menulis ini di "ruang belajar," atau lebih tepatnya di sekolah, masih mempertahankan istilah tradisional yang salah kaprah dan sangat menyesatkan, yakni "mengarang." Secara defisini "menulis" dan "mengarang" adalah dua kata yang berbeda. Kendati keduanya mengandung makna yang bermuara pada kreatifitas "menulis."
Menulis memiliki makna yang lebih luas ketimbang mengarang. Menulis dalam diskursus proses kreatif memperagakan proses menulis yang bisa bersumber dari mana saja : otak si penulis, hasil riset, hasil studi pustaka, sumber dari para pakar, dll. Sehingga dari proses kreatif menulis lahirlah pelbagai bentuk tulisan seperti : fiksi dan non fiksi, tulisan ilmiah, tesis, artikel, tesis, biografi, dll.
Sedangkan mengarang lebih kepada hasil otak si pengarang. Dan hasil dari mengarang lebih kepada bentuk fiksi, karena merupakan hasil "karangan" hasil yang direka-reka oleh si pengarang.
Oleh karena itu, pemaknaan menulis lebih memiliki dimensi yang lebih luas ketimbang mengarang dan semoga sekolah formal mulai menggunakan kata "menulis" ketimbang "mengarang" agar menumbuhkan minat menulis para anak didik, karena "menulis" memiliki arti yang lebih luas ketimbang mengarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H