Mohon tunggu...
Lyfe

Dilema Anak dan Remaja dalam Tantangan Anak Milenial

12 Desember 2018   18:25 Diperbarui: 12 Desember 2018   18:52 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak dan remaja merupakan kelompok yang besar dalam masyarakat. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia menyatakan bahwa pada tahun 2005 jumlah anak dan remaja usia 0-14 tahun mencapai 63,5 juta orang dari 218 juta keseluruhan jumlah penduduk Indonesia.

Ini berarti jumlah anak dan remaja di Indonesia mencapai 29,1 % dari jumlah keseluruhan penduduk di Indonesia. Dengan jumlah yang sedemikian besar ini tentulah anak dan remaja tidak bisa diabaikan begitu saja dalam gerak kehidupan Gereja dan masyarakat. 

Kehadiran mereka di tengah Gereja dan masyarakat perlu mendapat perhatian, terutama berkaitan dengan proses pengembangan diri yang sedang mereka jalani. Maka, hal yang paling penting untuk diperhatikan bersama yakni Tantangan Zaman. Anak dan remaja seringkali dipandang sebagai harapan bagi bangsa. Mereka menjadi tumpuan Gereja di masa depan. 

Mereka sedang dalam proses perkembangan. Mereka sedang membangun identitias diri. Perkembangan zaman memberikan tantangan yang tidak sedikit bagi perkembangan anak dan remaja. Beberapa persoalan masa sekarang yang ikut mempengaruhi perkembangan anak dan remaja antara lain yakni sebagai Dampak negatif kemajuan teknologi. 

Kemajuan teknologi yang dimotori oleh media komunikasi mempunyai pengaruh yang besar pada perkembangan anak. Di satu pihak berkembangnya media komunikasi memberikan banyak peluang untuk pengembangan anak dan remaja, seperti kemudahan untuk mengakses data yang diperlukan untuk belajar. 

Di lain pihak media komunikasi menghadirkan arus-arus baru pada anak dan remaja, seperti konsumerisme, hedonisme dan materialisme. Hadirnya media komunikasi seringkali juga berakibat pada kurang personalnya relasi anak dan orang-tua, ataupun anak dan remaja menjadi terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. 

Pada saat seperti ini komunikasi personal yang ditandai dengan perjumpaan digantikan dengan komunikasi melalui media yang lebih mementingkan efektivitas daripada sisi personal.

Ada pulula Norma ganda. Artinya,  Anak dan remaja melihat orang-orang dewasa, terutama orang-tua mereka, sebagai figur yang pantas dicontoh. Perkembangan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri disertai pula pergeseran dari masyarakat kolektif ke masyarakat individual. Nilai-nilai budaya kolektif yang menjadi norma dalam kehidupan bersama seringkali tidak dapat diwujudkan dalam hidup sehari-hari. 

Tradisi leluhur menanamkan semangat toleransi, tetapi yang terjadi dalam masyarakat adalah kekerasan, tradisi leluhur menjunjung kejujuran, tetapi korupsi merajalela. Namun, di hadapan anak, orang-tua selalu menekankan perlunya mempertahankan nilai-nilai luhur yang diwariskan dari tradisi. Akibatnya anak berhadapan dengan orang-tua yang mengenakan norma ganda, menuntut anak untuk melakukan sesuatu yang mereka sendiri tidak mampu melakukannya. 

Perkembangan dunia modern menuntut anak dan remaja mampu hidup secara mandiri, mampu membuat pilihan-pilihan sendiri, tetapi pendidikan yang diterima melalui keluarga dan masyarakat masih menekankan kontrol eksternal, serta kurang memberi kesempatan pada anak dan remaja untuk belajar memilih dan mempertanggungjawabkan pilihannya. 

Nah, dari sinilah terjadi Pergeseran fungsi sekolah. Para tokoh pendidikan bangsa Indonesia seperti Rm. F. Van Lith, SJ., Ki Hadjar Dewantara, K.H.A. Dahlan mencita-citakan lembaga pendidikan berfungsi sebagai upaya pencerdasan, pemanusiaan dan transformasi sosial. Dengan pemikiran semacam itu, lembaga pendidikan menumbuhkan tokoh-tokoh pemikir dan pemimpin yang berpengaruh bagi bangsa. Namun, perkembangan zaman membuat peran sekolah lebih dikaitkan dengan upaya untuk menyiapkan tenaga kerja siap pakai. Lembaga pendidikan zaman sekarang lebih mementingkan kompetensi dan ketrampilan kerja daripada pengembangan pribadi yang utuh. 

Kompetensi yang diupayakan seringkali lebih ditentukan oleh kebutuhan dunia industri, sehingga sejak dini anak dikembangkan sesuai tuntutan dunia industri. Apalagi sistem kurikulum yang memberi bobot terlalu besar pada segi kognitif, serta proses pendidikan yang dijalankan dengan banking system, yaitu dengan memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada anak, membuat anak dan remaja kurang berkembang secara utuh. Kuatnya suasana kompetisi di dunia industri berpengaruh pula pada sekolah, sebagaimana tampak pada penekanan yang berlebihan pada hasil belajar peserta didik yang dinyatakan dengan sistem ranking, yang tidak jarang mengakibatkan persaingan yang tidak sehat dari para peserta didik.

Selain itu juga terdapat Perkembangan kemiskinan. Perkembangan ekonomi yang tidak merata mengakibatkan semakin besarnya perbedaan antara golongan kaya dan golongan miskin. 

Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa pada bulan bulan Maret 2006 jumlah orang miskin di Indonesia berjumlah sekitar 39,05 juta orang. Ini berarti 17.75% dari seluruh penduduk Indonesia termasuk kategori miskin.

Mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup. Mereka tidak mampu mengakses fasilitas-fasilitas public seperti pendidikan dan kesehatan. Akibatnya anak dan remaja dari keluarga miskin ini seringkali tidak mampu menempuh pendidikan formal, ataupun mengalami putus sekolah. Mereka menjadi penganggur dan seringkali menjadi anak terlantar, ataupun anak jalanan. 

Tidak sedikit pula anak dan remaja yang harus bekerja demi menyokong kebutuhan ekonomi orang-tua mereka. Anak dan remaja dari keluarga miskin rentan terhadap kekerasan. Kekerasan terhadap anak dan remaja dapat berasal dari orang-orang terdekat mereka, seperti orang-tua yang melampiaskan kekesalannya pada anak. 

Anak dan remaja dapat pula menjadi korban kekerasan dari sesama mereka, atau orang-orang yang lebih tua. Bahkan tidak jarang anak keluarga miskin ini menjadi korban perdagangan anak. Hal ini dikarenakan juga oleh Penyalahgunaan NAPZA. Persoalan penyalahgunaan NAPZA sekarang ini juga merambah pada anak dan remaja. 

Mulai ada gejala bahwa anak usia SD pun rawan terhadap penggunaan NAPZA ini. Hal ini seringkali dipengaruhi oleh rasa ingin tahu yang membawa mereka untuk mencoba, ataupun mereka merupakan korban para pengedar yang dengan halus menggiring anak untuk menjadi pengguna. Dan ketika mereka sudah kecanduan, tidak jarang mereka melakukan tindak kriminal mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan teman-teman sampai pada tindakan kriminal yang lebih besar, demi mendapatkan uang untuk membeli obat-obat yang mereka butuhkan. Karena mereka biasanya menjadi anak yang tertutup, maka tidak jarang orang-tua tidak mengetahui keadaan anak mereka. Seringkali pengenalan orang-tua tentang keadaan anaknya sudah terlambat.

Dengan demikian, solusi yang tepat untuk menanggapi persoalan ini yakni memberikan Dukungan terhadap anak dan remaja. Artinya, Anak dan remaja hidup dalam masa perkembangan. Mereka harus menyelesaikan tugas perkembangan sesuai dengan umurnya. Konvensi Hak-Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 November 1989, menjamin hak anak untuk berekspresi, didengar suaranya serta memperoleh pendidikan bagi pengembangan dirinya.

Hak-hak mereka perlu dilindungi. Untuk itu diperlukan dukungan dari keluarga, lingkungan masyarakat dan negara. Negara dan masyarakat bertugas untuk menjamin bahwa anak dan remaja dapat mengembangkan potensi dirinya serta memberikan perlindungan agar anak dan remaja tidak menjadi korban dari kemajuan zaman. Anak dan remaja berhak didukung, untuk belajar menghargai dengan suara hati yang lurus nilai-nilai moral, serta dengan tulus menghayatinya secara pribadi, pun juga untuk semakin sempurna  mengenal serta mengasihi Allah. 

Melalui sekolah dan pusat-pusat pembinaan, Gereja telah memberikan sumbangan besar bagi pembinaan anak dan remaja. Pendidikan formal memberikan sumbangan bagi anak dan remaja dalam  pengembangan potensi dirinya dan dalam memilih nilai-nilai yang dianutnya. Melalui pendidikan formal ini pula anak dan remaja diberi kesempatan untuk belajar bertanggungjawab atas pilihan hidupnya. Mereka juga diajak untuk belajar menjadi manusia yang memperhatikan sesama dan lingkungan hidupnya. 

Namun disadari bahwa Gereja masih harus memberikan perhatian lebih kepada anak yang kurang beruntung, seperti anak terlantar, anak jalanan, maupun anak yang menjadi korban kekerasan serta korban penyalahgunaan napza. Sudah ada lembaga-lembaga Gereja yang memberi perhatian pada anak dan remaja yang kurang beruntung tersebut sebagaimana yang dijalankan oleh lembaga-lembaga yang memberi perhatian bagi anak yang memerlukan kebutuhan khusus, gerakan-gerakan sosial yang memperhatikan anak terlantar, maupun lembaga gerejawi yang memberikan tempat rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan napza. Namun disadari masih perlu dikembangkannya upaya-upaya yang lebih bersifat preventif daripada kuratif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun