iHujan selalu mampu melahirkan perenungan, menelisik ke dalam sosok bernama ego. Menanya dan menjawab sendiri disuatu tempat bernama hati. Entah apa istimewanya hujan mampu menghadirkan sisi romantis dan melankolis. Apa mungkin akibat terpaan angin sepoi, suhu yang mendekap manja, atau suara air yang tumpah ruah yang selalu menyisakan titik-titik air.
Rinai menatap kosong menembus jendela kaca yang dihiasi bercak hujan. Memperhatikan tumpahan air yang membuat tanaman bergirang. Ia mengetuk-ngetuk  pena yang sedari tadi ia pegang. Buku tulis dihadapannya masih tetap kosong. Padahal sudah setengah jam dia duduk dengan posisi itu.
Dari balik jendela kaca, Rinai memperhatikan seorang anak perempuan yang tampak girang di tengah hujan, menikmati curahan rahmat Tuhan. Tetesan air jernih dari langit langsung mengguyur tubuh anak perempuan itu. Air meresap dalam kulit kepala hingga telapak kaki. Anak itu berlarian diantara hujan dan rerumputan. Tertawa bebas beradu dengan  gemuruh hujan. Menari dan bernyanyi dengan riang gembira seperti hujan adalah kekasihnya yang telah lama ia tunggu. Rinai tersenyum tetapi tatapannya tetap lekat pada sosok anak perempuan di tengah hujan itu.
Disaat orang lain menjauh dan membuat batas dengan hujan anak itu justru berlari mendapatkannya. Melompat-lompat dengan satu kaki bergantian kiri dan kanan. Jika ada botol minuman bekas ia berhenti, memungutnya, dan memasukkannya ke tas punggung plastik yang ia kenakan. Sesekali ia berputar-putar atau sekedar mematung seraya memejamkan mata merasakan air meresap ke kulitnya.
Anak perempuan itu tampak sangat bahagia dan bebas. Ada anak-anak lain disana laki-laki dan perempuan namun tak sebahagia dia. Baginya bahagia bukan karena harta benda, bukan pula karena hujan tapi baginya tak ada alasan untuk bahagia seperti juga tak ada alasan untuk tidak bahagia. Hidup adalah kebahagiaan tanpa alasan. Itu perenungan yang ia dapatkan setiap kali ia menutup mata mematung dan merasakan hujan meresap ke kulitnya.
Rinai tertegun, seketika suara hentakan pena mengenai meja pun terhenti. Dari ujung matanya menggenang air, lama-kelamaan turun mengenai pipi sampai dagu. Kertas putih yang belum tergores pena itu kini basah karena air mata.
Hujan yang biasa menemaninya menari, bernyanyi, dan merenung kini harus diganti dengan air mata. Setiap tetes air mata dirasakannya meresap ke kulit. Namun sangat berbeda dengan hujan, walau mereka berdua mampu memberi ketenangan.
Memang Rinai tak lagi harus berkeliaran di jalanan tidur di emperan dan memunguti barang bekas. Sekarang, anak perempuan yang selalu tampak bahagia itu sudah duduk disalah satu ruangan dari sebuah rumah nan megah, tapi bersamaan dengan itu ia justru merasa kehilangan. Sejak jiwanya dikungkung, dipaksa menjadi anak yang mampu bersaing dengan anak lain, harus menang dalam segala kompetisi karena begitulah dia dibentuk oleh keluarga yang mengangkatnya dari tumpukan sampah ke dalam kandang nan megah ini, yang telah berjanji memberinya kebahagiaan. Kebahagiaan yang justru merenggut kebahagiaan Rinai.
Kini baginya hujan bukan lagi membawanya pada perenungan, pertanyaan, dan jawaban pada sosok bernama ego di suatu tempat bernama hati. Tetapi hujan hanya menyisakan kenangan. Kenangan bahwa ia pernah bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H