Mohon tunggu...
Bonardo Paruntungan
Bonardo Paruntungan Mohon Tunggu... -

Hanya saya saja!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Warna-Warni Keterangan Ahli dalam Kasus Kematian Mirna

15 September 2016   16:51 Diperbarui: 15 September 2016   17:03 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salam untuk semua...

 Ahli Gatot S. Lawrence pada persidangan yang lalu memberi pernyataan menarik dan refklektif bahwa seharusnya tidak sampai terjadi beda pendapat tajam antara ahli yang satu dengan yang lain dalam pengungkapan kasus kematian mirna. Pernyataan reflektif itu seharusnya ditangkap jelas oleh seluruh ahli yang sudah dan yang akan didengar di persidangan selanjutnya. Termasuk, tidak pantasnya ahli-ahli tersebut berdebat atau beropini selebihnya di media massa setelah selesai memberi keterangan karena masyarakat tidak semuanya memiliki kemampuan menyaring pendapat ahli-ahli tersebut secara baik, apalagi tidak berilmu atau berpendidikan sama dengan ahli.

Hak ahli tersebut menyampaikan tambahan keterangan di media massa namun hal tersebut sia-sia belaka dalam mencari kebenaran materiil di kasus ini. Jadi, moga-moga saja pernyataan reflektif tersebut dapat menunda ahli-ahli berpolemik atau menambah-nambah atau mengklarifikasi atau apapun namanya tentang pengetahuannya terkait kasus ini di media massa. 

Untuk mendampingi pernyataan reflektif dari ahli Gatot S. lawrence tersebut, perlu diingat kembali bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 angka 28 KUHAP). Saat seseorang diajukan sebagai ahli di persidangan, yang dibutuhkan adalah dia sesuai keahliannya (khusus) menerangkan hal terkait keahliannya (khusus). Ahli patologi tidak menyatakan hal yang menjadi domain ahli dokter forensik, ataupun domain ahli toksikologi dan demikian selanjutnya. 

Persoalannya adalah keahlian khusus tersebut bisa saja mengambil sebagian keahlian khusus lainnya seperti ahli patologi forensik yang menurut wikis sebagai berikut: Patologi forensik adalah cabang patologi berkaitan dengan penentuan penyebab kematian berdasarkan pemeriksaan atas mayat (autopsi). Jika, mencermati keterangan ahli Gatot S.L sebagai ahli patologi anatomi, dan ahli toksikologi DR. Budiawan bahwa mereka tidak dalam kompetensi menentukan penyebab kematian (cause of death). Ahli-ahli dari JPU dan Penasehat Hukum seharusnya bisa bersepakat bahwa ahli yang menentukan sebab kematian adalah ahli forensik bukan ahli patologi, ahli toksikologi maupun ahli lainnya seperti kriminolog, psikolog dan lain-lain.

Sekilas soal forensik, ada kutipan berikut ini:

Crime scene technicians and forensic scientists both play a crucial role in investigating and solving crimes. Crime scene technicians primarily analyze the scene of a crime or accident and collect evidence. Forensic scientists analyze that evidence in search of clues pointing to a possible suspect, cause of death or other key piece of information.(http://work.chron.com/difference-between-crime-scene-technicians-forensic-scientists-14185.html). Indonesia pernah ada seorang dokter forensik yang sangat terkenal yakni dr Abdul Mun'im Idris, Sp.F. Beliau dari pengamatan internet seringkali menemukan fakta-fakta terhadap jenazah untuk mengurutkan penyebab-penyebab kematian seseorang. Hal ini juga digaungkan oleh ahli Gatot S.L bahwa mencari penyebab kematian membutuhkan proses penemuan yang cukup panjang. Ahli Gatot S.L seperti mengajak untuk sedikit memperluas jangkauan atau kemungkinan cause of death dalam kasus mirna. Ternyata, hal ini langsung ditanggapi dr. Slamet Purnomo, Sp.F bahwa dirinya sudah menganalisis dan mengeliminir adanya sakit dalam diri mirna, meskipun tidak dijelaskan atas dasar riwayat atau resume medis atau hanya didasarkan keterangan pihak keluarga. 

Dalam kasus mirna, dokter forensik yang didengar di persidangan sudah menyatakan bahwa penyebab kematian mirna adalah menelan sianida yang berasal dari kopi yang disedotnya. Persoalannya adalah semua ahli sepakat bahwa tidak ada autopsi melainkan pengambilan sampel cairan dan organ tubuh tertentu. Prof Budi Sampurna ahli forensik UI juga menyakini kebutuhan autopsi tersebut, namun semuanya berpulang pada keputusan keluarga korban. Jadi, kalu boleh disimpulkan ssementara bahwa autopsi yang tidak dilakukan menjadi sisi ketidaksempurnaan dari scientific investigation yang sedang dilakukan oleh penyidik dalam kasus mirna.

Lalu, apakah "warna warni" yang sebenarnya terjadi dari ahli-ahli yang memiliki keahlian khusus di kasus ini ? Apabila, diamati seluruh rangkaian keterangan ahli bidang kedokteran dalam kasus ini, bisa dibuatkan step-step sederhana sebagai berikut :

Step 1 : Kopi diduga ada sianida sejumlah 7400 mg/l 

Step 2 : Autopsi

Step 3 : temuan sianida di lambung pasca diformalin 

Kopi diduga ada sianida sejumlah 7400 mg/L

Barang bukti satu ini, sudah dicoba untuk diulangi oleh ahli toksikologi dari pihak Jessica untuk merekonstruksi ulang wujud kopi dengan 7400 mg/L. Sayangnya, hal ini ditanggapi seolah-olah kopi itu harus diminum untuk menegaskan gejala-gejala yang akan terjadi. Argumen harus diminum ini sangat tidak diperlukan karena sedotan mirna belum tentu sama dengan sedotan orang lain kalu memang ada yang harus melakukannya (potensi pidana).

Ada yang menarik, ahli dr. Nursamran subandi ada menerangkan bahwa sisa 0,2 mg di cairan sample lambung harus juga dinilai adanya proses transport dari mulut ke lambung (mungkin absorpsi) dan proses formalin. Nah, disinilah kuncinya bahwa ahli dr.Nursamran sendiri belum bisa memastikan itungan proses transportasi atau absorpsi tersebut sehingga menemukan 0,2 mg. Namun, bukankah beliau melakukan perhitungan waktu penaruhan zat sianida ke kopi tersebut melalui kinetika kimia ? Apakah kinetika kimia yang dilakukan kurang diexplore oleh dirinya dan ahli kimia lainnya ? 

Yang terjadi justru, membuat simulasi kopi diberikan sianida untuk mencocokkan persepsi dari orang awam atau saksi fakta tentang warnanya dan baunya. Yang akhirnya, membuka debat baru soal warna bisa sangat berbeda dan bau tidak ada tabelnya atau konsensus ilmiahnya.

Sepertinya, ahli kinetika kimia harus melakukannya dengan variabel segala macam yang cukup repot jika dipikirkan. 

"Chemical kinetics is the study of the speed at which chemical and physical processes take place. In a chemical reaction it is the amount of product that forms in a given interval of time or it can be defined as the amount of reactant that disappears in a given interval of time. Scientists that study rates at which processes occur are called kinetists."(Sumber).

Autopsi

Proses krusial dan signifikan dalam dunia forensik ini adalah celah besar dalam kasus mirna yang masih menganga lebar sampai saat ini Berulang kali nampak JPU berusaha mengantisipasi dengan berpegang pada keterangan ahli patologi forensik, ahli forensik dan ahli kimia yang sudah diajukannya selain alasan keluarga dan sudah diformalinnya. Padahal, menurut UU kewenangan itu berada ditangan penyidik. Namun sekali lagi babak baru proses penyelidikan dan penyidikan suatu kejahatan masih memerlukan perbaikan-perbaikan. 

Temuan sianida di lambung setelah formalin

Sebenarnya isu ini sudah harus selesai jika merujuk index scorpus yang dikemukakan ahli Gatot S.L bahwa 0,2 mg dalam lambung, diakui secara dunia adalah akibat dari post mortem. Konsensus ini tidak bisa dikesampingkan seolah-olah dapat dirubah karena kasus ini. Salah satu uraian soal scopus ada di sumber ini.

Pertanyaannya adalah apakah ahli-ahli JPU terkait sudah menjelaskan soal post mortem ini ? Belum lagi, bahwa semua ahli mengakui formalin mampu mengganggu zat-zat dalam tubuh jenazah. Sampai saat ini, tidak nampak argumen jelas tentang variabel satu ini. Ahli di pihak Jessica jika menganalisis report ahli toksikologi JPU dan visum et repertum yang menggantungkan hasil labkrim memiliki kesamaan pendapat bahwa pernyataan tertulis yang menjadi bukti surat dalam kasus ini adalah non konklusif artinya tidak dapat disimpulkan namun dikualifisir sebagai pernyataan tidak menyalahkan atau tidak membenarkan. 

Banyak perbedaan pendapat ahli dalam kasus ini, nampaknya membuat praktek scientific investigation menghangat apalagi proses persidangan marathon dan terekspose luas ini akan memberi babak baru kemajuan proses scientific investigation guna antisipasi kejahatan modern termasuk korupsi dan TPPU. Artinya, keuntungan diperoleh bagi sistem peradilan pidana di Indonesia dan Mahkamah Agung RI semoga memberi pedoman komprehensif.

Penutup, semoga ahli-ahli dapat kembali memaknai bahwa proses peradilan dimana dirinya diperiksa tersebut hanyalah untuk menunaikan kewajibannya untuk menegakkan keadilan sesuai amanat pasal 179 ayat 1 KUHAP :

"orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan"

Keadilan atau justice atau fairness adalah salah satu tujuan proses peradilan berupa putusan hakim, dan keadilan bisa ditemukan dalam berbagai teori, akan tetapi keadilan jelas memberi akibat kepada Terdakwa maupun Korban. 

Tetap semangat!

Bonardo Paruntungan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun