Salam untuk semua..
Pilkada serentak di berbagai daerah dalam NKRI sudah berlangsung dengan para pemenangnya. Tinggallah saat ini mencari-cari sisi lemah dari pelaksanaannya baik sejak tahap penetapan calon sampai dengan penetapan pemenang.
Beberapa waktu lalu, terdapat "kegaduhan" mengenai penetapan calon kepala daerah yang "eks terhukum atau narapidana korupsi" di beberapa daerah sulawesi dan papua (mungkin ada yang terlewatkan). Calon-calon tersebut sebelumnya disahkan oleh KPUD untuk ikut serta proses pilkada (kampanye), akan tetapi pada masa-masa kritis (waktu yang singkat sebelum pencoblosan) terjadi perubahan yang saya perhatikan dari berbagai news adalah rekomendasi bawaslu yang melakukan koreksi keputusan KPUD terhadap syarat calon kepala daerah eks terhukum.Â
Jika diamati dalil rekomendasi bawaslu yang menganulir eks terhukum adalah penafsiran bawaslu tentang status narapidana dari calon kepala daerah. Sampai saat ini, saya kurang dapat memahami penafsiran bawaslu atas status tersebut, akan tetapi yang saya tahu Mahkamah Agung - RI sebagai lembaga ahli hukum tertinggi di Republik Indonesia belum menjadi sandaran dalam penafsiran status seorang eks narapidana sedangkan penentuan status tersebut haruslah memahami secara cermat makna undang-undang yang memgatur.
Berkaitan dengan hal di atas, secara logis gugatan yang sedang berjalan di PTTUN oleh beberapa calon kepala daerah akan seirama dengan alur pikiran Mahkamah Agung RI. KPU/D sebagai lembaga pengatur dan pelaksana pilkada sebaiknya mulai membangun pondasi bernegara yang lebih baik berkaitan dengan upaya hukum terhadap Putusan Hakim yang mungkin kurang menguntungkan atau membatalkan keputusan KPU/D. Artinya, tidak semua kekalahan atau pembatalan keputusan KPU/D harus dilakukan upaya hukum tertinggi dan terakhir apalagi jika ditemukan pertimbangan hukum yang secara jelas mempedomani alur pikiran Mahkamah Agung.Â
Pendapat yang demikian didasari atas proses persidangan yang akan memakan biaya dan waktu yang cukup berdampak bagi kepentingan umum bukan soal reputasi KPU/D. Terlebih lagi, alasan-alasan kasasi/banding ke Mahkamah Agung hanya didasari perbedaan penafsiran subyektif ataupun harapan untuk mendapatkan Hakim yang agak lain saja. Upaya hukum menjadi hak hukum bagi siapapun namun juga melekat kewajiban untuk menjalankan suatu kebijakan atau keputusan yang efisien dan efektif khususnya lembaga negara yang dibiayai uang rakyat.Â
KPU/D diperkirakan akan menghadapi berbagai gugatan/tuntutan dalam pelaksanaan pilkada akan tetapi diperlukan kebijaksanaan dalam memanfaatkan upaya hukum yang diberikan semata-mata demi kepentingan publik. Sekiranya KPU/D mampu memantapkan diri untuk memilih keputusan terbaik dalam suatu proses hukum.
Tetap semangat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H