Mengapa Kaji Ulang?
Butir-butir penghayatan dan pengamalan Pancasila--yang dulu lebih terkenal sebagai "Butir-butir Pancasila" saja--perlu diperkenalkan dan disebarluaskan lagi, karena sejatinya ia disusun untuk memudahkan mempelajari, menghayati, dan mengamalkan Pancasila.
Akan tetapi, terhadapnya perlu dikaji-ulang lebih dahulu. Pada akhir Orde Baru, butir-butir itu sesungguhnya sudah pernah disempurnakan, yaitu ditambah jumlahnya dari 36 menjadi 45. Sayangnya, Orde Baru tumbang dan pemasyarakatan Pancasila pun berhenti.
Sila-sila Pancasila dirumuskan dalam kalimat-kalimat singkat yang tidak lengkap subjek, predikat dan objeknya, untuk menggambarkan konsep-konsep abstrak yang universal, dengan ruang lingkup yang sangat luas dan dalam, sehingga memang tidak operasional.
Agar operasional--dalam arti lebih mudah dipahami maksudnya, untuk kemudian diwujudkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari--konsep-konsep abstrak ini harus "diturunkan" ke dalam kalimat-kalimat yang lengkap subjek, predikat dan objeknya.
Beberapa butir menganjurkan cara berpikir atau bersikap--artinya, dari berbagai hal, maka apa yang dirumuskan dalam butir-butir itulah yang dianggap benar, baik dan/atau bermanfaat.
Beberapa butir lainnya dirumuskan dengan predikat berupa kata kerja yang relatif dapat langsung diwujudkan dalam tindak-tanduk atau perilaku sehari-hari.
Butir-butir inilah yang hendaknya menjadi inti kurikulum pendidikan Pancasila, yang merupakan pendidikan moral atau budi-pekerti (akhlaq), khususnya bagi remaja usia 12 sampai 22 tahun.
Pendidikan Moral, Bukan Kewarganegaraan
Pendidikan Moral Pancasila--yang bertujuan menanamkan cara berpikir, bersikap dan bertindak tertentu--jauh lebih berfaedah dari Pendidikan Kewarganegaraan dewasa ini, yang berfokus dan bertumpu pada pengenalan teori-teori negara, hukum dan pemerintahan.
Sayangnya, butir-butir yang ada sekarang tidak kalah abstrak dan universalnya dengan rumusan sila-silanya sendiri, maka kaji-ulang difokuskan pada operasionalisasi nilai-nilai dalam tiap sila, dengan cara memulai tiap rumusan dengan kata kerja.
Tiap-tiap rumusan butir hendaknya dapat dibaca dengan membubuhkan kata "saya" di depannya, agar menjadi sugesti bagi yang membaca untuk melakukan apa yang dibacanya itu.
Tiap-tiap butir yang lama diidentifikasi konsep-konsep kuncinya. Rumusan butir-butir lama yang masih terlalu universal nilai-nilainya dirumuskan ulang, dipecah dan dirinci ke dalam beberapa butir yang baru.
Jika ditemui redundansi atau pengulangan konsep kunci, maka butir-butir lama bersangkutan dilebur menjadi satu atau beberapa butir baru, setelah sebelumnya dilakukan perumusan ulang dan perincian.
Butir-butir baru diurutkan, dimulai dari rumusan-rumusan yang berkenaan dengan cara berpikir, diikuti cara bersikap, kemudian cara bertindak yang dapat langsung diwujudkan sebagai perilaku sehari-hari.
Empat Puluh Lima Butir
Angka 45 adalah angka yang simbolik dan afektif bagi Bangsa Indonesia, maka penambahan dari 36 menjadi 45 merupakan suatu perbaikan yang perlu disambut baik dan dipertahankan.
Sayangnya, persebaran dari yang 45 butir itu ke dalam sila-sila yang lima tidak merata, sehingga, tidak hanya secara simbolik dan estetik, tetapi secara sistematik juga merupakan kekurangan.
Dalam rumusannya kini, Sila Pertama memiliki 7 butir, Sila Kedua 10 butir, Sila Ketiga 7 butir, Sila Keempat 10 butir, dan Sila Kelima 11 butir.
Oleh karena itu, dalam rumusan baru, tiap-tiap sila dirinci ke dalam 9 butir. Angka 9 dalam numerologi Jawa melambangkan semangat, keindahan, kemuliaan dan kesempurnaan.
Rumusan baru yang lebih baik sistematikanya, sekaligus simbolik dan estetik ini, diharapkan akan menambah semangat para pembelajar, sehingga Pancasila benar-benar menjadi kenyataan yang hidup dalam pikiran, sikap dan perilaku Bangsa Indonesia sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H