Mohon tunggu...
Bono B Priambodo
Bono B Priambodo Mohon Tunggu... Dosen - Kandidat Doktor di Amsterdam Institute for Social Science Research

Bercita-cita jadi buaya keroncong atau merbot mesjid, sekarang malah mengajar hukum adat, koperasi, administrasi negara, lingkungan dan SdA di FHUI.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Krecek Lagi, Terong Lagi di Warung Dilla

6 Oktober 2014   17:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:11 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang akan anda lakukan, ketika pagi-pagi sedang mengumpulkan mood untuk menyicil tumpukan berbagai pekerjaan menyebalkan, tiba-tiba kolega ruang sebelah mengingatkan mengenai pekerjaan-pekerjaan itu? Sungguh rasanya seperti udah susah-susah niup balon tiup tiba-tiba ada yang ngeremes. Kalau saya, tidak ada jalan lain. Satu-satunya pertolongan pertama yang tepat untuk situasi seperti ini adalah... segera sarapan. Maka bergegaslah saya menuju Kantin Ikatan Wanita Keluarga Fakultas Hukum Universitas Indonesia (IWK-FHUI) yang terletak di utara atau di belakang gedung C Kampus FHUI.

Entah sudah berapa tahun saya selalu sarapan di Warung Dilla atau di Dilla's Kitchen, gerai paling barat di Kantin IWK; mungkin sejak pulang dari Belanda pada 2009, sejak berdirinya kantin baru itu juga. Dulu terkadang saya suka pesan Bubur Ayam Ian "Padasuka," atau Lontong Sayur Lik Mino--yang akan saya laporkan juga di lain kesempatan. Akan tetapi, memang lebih sering Warung Dilla itu. Herannya, menu yang saya pesan selalu yang itu-itu juga. Setahun belakangan ini saya selalu memilih Nasi Merah, Tumis Pare atau Terong Balado sebagai sayurnya, Telor Balado atau--beberapa hari terakhir ini--Telor Ceplok mungkin ceritanya Bumbu Rujak sebagai lauk utamanya... dan Sayur Krecek!

Beberapa hidangan di Warung Dilla, tampak antara lain Kornet Goreng Telur

Tahun-tahun pertama makan di Warung Dilla, saya ingat selalu makan Cumi Empang sebagai lauk utama. Seingat saya, ketika itu saya masih disiplin menghindari telur, entah mengapa. Belakangan Cumi Empang sudah tidak pernah menarik perhatian lagi, meski bukan karena baunya yang memang dominan. Saya juga ingat pernah suka Tumis Sawi Putihnya--karena saya memang penyuka Sawi Putih--sampai suatu hari saya temukan daun seledri di dalamnya. Daun seledri dalam Tumis Sawi?! Pembaca yang Budiman, setahu saya--ini pun boleh nanya adik saya Bobi Agustine yang pakar kuliner--bumbu Tumis Sawi selain brambang bawang ya lengkuas, jika ada modal dapatlah ditambahkan udang kupas segar atau ebi agar lebih aromatik.

Selebihnya, jika Tumis Pare dan Terong Balado sudah habis, alternatifnya adalah Tumis Buncis. Buncis juga sayuran kesukaan saya. Dimasak dengan tauco atau biasa saja, mantabp di tempadt! Saking sukanya, saya pernah makan Tumis Buncis di Restoran Echo Roso, Magelang sampai menangis saking enaknya, dan karena kangen pada masakan Ibu juga, ketika dahulu bersekolah di sana. Akan tetapi, Tumis Buncis di Warung Dilla sejujurnya rata-rata air saja. Sepertinya, Mbak Lela, penanggung-jawab warung itu, memang tidak memberikan penekanan apapun pada hidangan-hidangan vegetarian yang disajikan.

Lalu apakah Tumis Pare dan Terong Baladonya istimewa? Tidak juga. Saya sampai tidak tahu dan tidak peduli lagi mengapa pilihan saya selalu jatuh pada salah satu dari keduanya. Mengenai terong, saya selalu bercanda dengan teman-teman, terong berkhasiat untuk menjaga agar pikiran bapak-bapak menjelang empat puluhan di lingkungan kampus yang sangat kondusif ini tetap berada dalam koridor. Sebagaimana diketahui, terong jika digoreng maka lemas begitu, bukan? Hehehe. Oh ya, selain Warung Dilla, sebenarnya saya juga beberapa kali sarapan Nasi Padang di Kantin IWK meski jarang. Lauknya juga selalu itu, Telur Dadar dan... Terong Balado.

1412567645530971889
1412567645530971889
Nasi Merah, Sayur Krecek, Terong Balado dan Telor Ceplok ceritanya Bumbu Rujak

Namun demikian, liputan ini sesungguhnya mengenai Sayur Krecek. Sejujurnya, apapun makanannya, selalu ada Krecek di menu saya jika makan di Warung Dilla. Apakah karena rasanya juara? Sekali lagi, tidak juga. Bahkan, bolehlah saya akui di sini bahwa Krecek Warung Dilla bisa jadi salah satu sayur krecek paling mendelep yang pernah saya rasakan seumur hidup. Saya bahkan tidak tega menyebutnya sambel goreng krecek, karena sambel goreng krecek adalah makanan terhormat, hidangan raja-raja. Mengenai sambel goreng krecek, saya sebenarnya lebih suka yang kurang bersantan namun tegas pedasnya, seperti Gudeg Atmo, Jl. Gandaria Kebayoran Baru, atau sekurangnya Bu Tjondro. Krecek Warung Dilla juga kurang bersantan, tapi... ah, sudahlah.

Selain yang sudah saya laporkan, masih banyak hidangan lain di Warung Dilla. Salah satu yang kelihatannya lumayan happening meski saya tidak suka adalah bebek-bebekan, dibakar atau digoreng garing. Menurut teman saya yang suka, sambelnya enak. Selain itu, yang kelihatannya juga disukai mahasiswa adalah Kornet Goreng Telur. Saya tidak tahu kornet merek apa yang digunakan; namun pastinya bukan Bernardi, karena kalau Bernardi rasanya mustahil dijual Rp. 5,000 per potongnya. Terkadang jika saya cukup iseng, saya beli juga Kornet Goreng Telur itu, meski sebagai bapak-bapak menjelang empat puluhan tentu harus membatasi konsumsinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun