Mohon tunggu...
Bono B Priambodo
Bono B Priambodo Mohon Tunggu... Dosen - Kandidat Doktor di Amsterdam Institute for Social Science Research

Bercita-cita jadi buaya keroncong atau merbot mesjid, sekarang malah mengajar hukum adat, koperasi, administrasi negara, lingkungan dan SdA di FHUI.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemerdekaan Itu Komunal, Bukan Personal

3 November 2014   04:12 Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:04 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Privasi-sebagaimana segala macam hak perorangan termasuk hal milik-tidak sekadar BERFUNGSI sosial, tetapi ADALAH fungsi sosial itu sendiri. Artinya, ia baru berguna/berfungsi dalam konteks sosial. Apa gunanya privasi jika seseorang hidup seorang diri di sebuah pulau terpencil di tengah lautan? Dengan begitu, sudah barang tentu, segala macam hak individu pun adalah ciptaan manusia dalam bermasyarakat; bukan ciptaan Tuhan!

Oleh sebab itu, hogere optrekking oleh Proklamasi 17 Agustus 1945 sesungguhnya mengembalikan manusia pada fitrahnya. Sudah menjadi fitrah manusia untuk selalu membutuhkan manusia lain dalam hidupnya, meski ada waktu-waktu di mana ia pun butuh sendirian. Hidup bersama yang menindas kepribadian adalah tidak alami, begitu pula kepentingan pribadi yang mengatasi kepentingan bersama.

Itu pula sebabnya, kemerdekaan adalah hak bangsa atau komunalitas apapun. Kemerdekaan adalah "hak" masyarakat. Terserah pada masyarakat untuk memberikannya pada pribadi-pribadi yang membutuhkannya. Demikianlah yang dikehendaki oleh "perikemanusiaan" atau hakikat kemanusiaan, yaitu, sejatinya keberadaan manusia hidup di muka bumi.

Dengan demikian pula, tidak boleh ada kelompok manusia yang merasa lebih tinggi derajat dan martabatnya dari kelompok-kelompok manusia lainnya, karena merasa lebih tinggi mutu budaya atau peradabannya. Tuhan Maha Adil menyebar manusia secara merata ke seluruh permukaan bumi. Berbeda tempat hidup, berbeda pula budayanya. Perbedaan budaya ini tidak berarti yang satu lebih tinggi dari lainnya.

Inilah memang pangkal penjajahan, merasa lebih tinggi dari lainnya, lalu tamak ingin semuanya; Atau sebaliknya, berangkat dari ketamakan, merenggut orang lain dari martabatnya, merasa menjadi pemenang, merasa lebih tinggi. Ini bertentangan dengan "perikeadilan," yakni, hakikat keadilan di mana kelompok-kelompok manusia ditakdirkan berbeda-beda, namun setara pada hakikatnya di mata Tuhan Yang Maha Esa.

Wallahu'alam bishawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun