Mohon tunggu...
bonnie setiawan
bonnie setiawan Mohon Tunggu... -

alumnus ilmu politik FISIP-UI 1980

Selanjutnya

Tutup

Money

Mengapa APEC dan WTO Bermasalah?

29 Oktober 2013   14:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:53 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang APEC dan WTO

Konperensi APEC tahun ini diadakan di Bali, Indonesia pada tanggal 1-8 Oktober 2013. Menariknya pada tanggal 3-6 Desember 2013 di Bali juga akan diadakan Konperensi yang jauh lebih besar, yaitu Konperensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-9. Kedua konperensi ini berkaitan satu sama lain, meskipun APEC bukanlah bagian dari WTO. APEC adalah forum investasi dan perdagangan bebas yang bersifat informal dan tidak mengikat serta dalam lingkup kerjasama kawasan Asia-Pasifik, sementara WTO adalah forum perdagangan formal yang sifatnya sangat mengikat dalam lingkup kerjasama multilateral dunia. Persamaannya, keduanya mempromosikan perdagangan bebas yang semakin terbuka dan semakin bebas. WTO berdiri tahun 1994, tahun yang sama dengan dimulainya Bogor Goals yang merupakan rumusan tujuan dasar APEC dari hasil Konperensi APEC di Bogor tahun 1994: sebuah kawasan investasi dan perdagangan yang bebas dan terbuka. Ide perdagangan bebas ini sesuai dengan garis faham neo-liberal dan konsensus Washington yang sedang marak-maraknya ketika itu.

Dalam perjalanannya, APEC lebih banyak dikenal sebagai forum yang bukan hanya membicarakan perdagangan bebas saja. Sesuai dengan sifatnya yang merupakan forum informal, maka APEC sangat dipengaruhi oleh kepentingan sesaat dan konteks waktu diadakannya konperensi. Hingga saat ini, APEC juga dikenal sebagai forum yang didominasi oleh kepentingan geo-politik Amerika Serikat, meskipun di dalamnya juga terdapat Negara semacam China (bergabung tahun 1991) dan Rusia (bergabung di APEC tahun 1998). Bila kita baca visi APEC yang dituangkan dalam Yokohama Vision tahun 2010, maka visinya adalah sebuah masyarakat (kawasan) yang terintegrasi secara ekonomi,  bertumbuh secara berkualitas, dan dalam lingkungan ekonomi yang aman (secure). Visi “keamanan” ini yang lalu sering ditafsirkan AS sebagai agenda keamanan (security) juga, dengan jalan memerangi terorisme di berbagai belahan dunia. Demikian pula ambisi APEC untuk menjadikannya sebagai sebuah FTAAP (Free Trade Area of Asia Pacific), lebih banyak didorong oleh ambisi geo-politik AS dalam mendominasi percaturan politik Asia Pasifik, terutama semenjak kebangkitan China yang berhasil menjadi kekuatan ekonomi utama di Asia timur. APEC juga menyaksikan bahwa sejak berdirinya di tahun 1989, tahun yang sama dengan tumbangnya tembok Berlin, maka AS  kemudian menjadi penguasa tunggal dunia yang sangat dominan (unipolar); tetapi kini sedang dalam keadaan surut dan melihat pasang naiknya negara-negara yang sanggup menantang hegemoninya selama ini (China, Rusia, dan Negara-negara Amerika Latin seperti Brazil dan Venezuela) yang dikenal sebagai situasi multipolar.

Naiknya Perdagangan Abad 21

Dalam konperensi APEC 2011 di Honolulu, AS, hasilnya adalah menggarisbawahi ambisi visi APEC bagi terciptanya sebuah kesepakatan perdagangan baru abad 21 (“the next generation trade and investment issues that should be included in 21stcentury trade agreements in the region, including a Free Trade Area of the Asia-Pacific (FTAAP”). Selanjutnya dalam Konperensi APEC di Vladivostok, Rusia tahun 2012, penekanan diberikan kepada kinerja ekonomi rantai pasokan (supply chain performance) dan pertumbuhan inovatif (innovative growth), terutama melalui integrasi ekonomi kawasan serta fasilitasi investasi dan perdagangan. Nampak bahwa hasil APEC di Vladivostoc sangat diwarnai oleh kepentingan perekonomian Negara-negara yang sedang bangkit, yaitu China dan Rusia. Dalam konperensi tersebut juga terlihat adanya perbedaan pandangan antara AS dengan Rusia dalam melihat tatanan global dunia. Kini apa yang akan dihasilkan oleh Konperensi APEC 2013 di Indonesia? Dalam rilisnya, kementerian Perdagangan Indonesia menekankan pada Bogor Goals, kesinambungan ekonomi global dan mempromosikan konektivitas. Di lain pihak, Kementeran Luar Negeri juga menyatakan secara spesifik bahwa agenda utama konperensi APEC adalah pada agenda konektivitas regional, khususnya sebuah kerangka konektivitas APEC dan kemitraan dalam investasi dan pengembangan infrastruktur. Ini sesuai dengan hasil pertemuan SOM (Senior Official Meeting) APEC di Surabaya pada April 2013 yang lalu, yang mengarah bagi adanya kerangka konektivitas yang menyatu guna merendahkan biaya-biaya berbisnis, sehingga memfasilitasi pergerakan orang, barang, jasa, informasi dan enerji di dalam kawasan perekonomian APEC.

Jadi apa yang sebenarnya menjadi benang merah dalam pembahasan di APEC akhir-akhir ini?

Tidak lain adalah munculnya ekonomi investasi dan perdagangan baru abad 21, sebagaimana yang telah disinggung dalam konperensi APEC di Honolulu.  Ini adalah tema utama dari ekonomi rantai pasokan (supply chain) yang kini telah menjadi mode utama produksi barang dan jasa di seluruh dunia. Kini para analis menyatakan adanya perdagangan abad 21 yang jauh berbeda dengan perdagangan abad 20 atau perdagangan barang-barang (trade of goods) yang selama ini kita kenal. Para analis menyebutnya sebagai perdagangan tugas-tugas (trade of tasks). Ini karena negara-negara tidak lagi berdagang barang jadi (finished goods), tapi berbagi tugas dalam membuat barang-barang, yang melibatkan jasa, investasi dan perdagangan sekaligus. Karena itulah rezim perdagangan internasional sedang mengalami perubahan besar-besaran, dan hal tersebut yang tercermin di dalam dinamika di APEC dan WTO. Ini adalah tahap mutakhir dari kapitalisme global. Paper yang dihasilkan oleh ERSD (Economic Research and Statistic Division) dari WTO di tahun 2011, menggambarkan apa yang disebutnya sebagai “21st Century Regionalism” yang merupakan model baru bagi sistem perdagangan yang jauh lebih kompleks dari sistem perdagangan abad 20 yang selama ini dikenal. Sistem perdagangan baru ini dengan sendirinya merubah semua pandangan dan aturan perdagangan yang kita kenal selama ini dari yang tadinya berfokus kepada akses pasar, kini bergeser kepada kepentingan rezim pasar yang lebih kompleks. Kepentingan pasar yang lebih besar dan kompleks tersebut yang dinamakan kaitan perdagangan-investasi-jasa (trade-investment-service nexus), yang sebangun dengan apa yang disebut sebagai jaringan produksi global (global production network) yang merupakan bangunan yang merangkai internasionalisasi rantai pasokan dari berbagai tempat di dunia. Dalam pengertian ini maka perdagangan, investasi dan jasa telah saling berbaur dan bertumpang-tindih. Karenanya reorganisasi dan restrukturisasi lintas global telah merubah istilah-istilah lama dan memotong lintasan batas-batas antara kategori yang berbeda-beda dari produksi barang-barang dan jasa atau perdagangan dan investasi ke dalam satu rantai produksi global yang terkonsolidasi.  Kini produksi barang-barang dapat saja dikategorikan sebagai jasa-jasa, begitupun sebaliknya; demikian pula investasi dapat dikatakan sebagai perdagangan, dan sebaliknya.

Karena itu tidak heran bila Menteri Perdagangan Gita Wiryawan menyampaikan tentang pentingnya sektor jasa dalam perekonomian global sekarang dan dalam pertemuan APEC, khususnya dalam memberikan nilai tambah dalam rantai nilai (value chain). Katanya:

"Ada tiga hal yang dapat difokuskan dalam mengambil kebijakan yangmendukung posisi jasa sebagai nilai tambah dalam kegiatan produksi diIndonesia, yaitu bagaimana jasa dapat mendukung rantai nilai, bagaimana mengambil keuntungan dari tingginya kecenderungan konsumsi di Indonesia, dan bagaimana Indonesia dapat menciptakan lingkungan bisnis yang bersahabat (business friendly environment)."

Kini tidak mengherankan bahwa agenda rantai pasokan dan jaringan produksi rantai pasokan global sedang menjadi agenda utama yang mengikat forum-forum baik APEC maupun WTO. Sekarang setiap forum perdagangan dan investasi, serta juga forum-forum blok kawasan ekonomi menetapkan agenda baru dalam mengintegrasikan perdagangan rantai pasokan ke dalam kebijakan nasional masing-masing Negara. Dalam hal ini pemerintah Indonesia telah menjadi ‘relawan’ yang handal dalam mempromosikan agenda ini, dengan menjadi tuan rumah dari dua forum yang sangat penting tersebut, APEC dan WTO. Pernyataan Menteri Perdagangan diatas juga sarat dengan agenda kepentingan global (bukan kepentingan nasional). Akan tetapi apa keuntungannya bagi Indonesia sendiri?

Dimana Posisi Indonesia?

Bila dilihat integrasi Indonesia ke dalam jaringan produksi regional Asia Timur, maka sebenarnya keikutsertaan Indonesia masih sangat lemah. Ini karena Indonesia tidak berusaha memajukan industrinya, melainkan hanya menjadi penjual bahan-bahan mentah dan masih mengantungkan sumber pendapatannya dari migas. Karena itu pula rezim ekonomi-politiknya bukanlah rezim pro-industri, melainkan rezim rente yang primitif sifatnya, yaitu menjadi broker dan rente sumber-sumber alam dari rakyatnya sendiri. Surplus dari sumber-sumber alam sebagian besar tetap lari ke luar, dan sebagian kecil masuk ke kantong-kantong para penguasa rente. Sebenarnya dengan keadaan ini, Indonesia tidak akan menjadi pendukung ekonomi rantai pasokan global, baik dari APEC maupun WTO, karena Indonesia tidak punya kepentingan kesana. Hal ini tidak seperti Thailand, Malaysia dan Filipina yang sudah terintegrasi ke dalam jaringan produksi regional. Karenanya menjadi aneh bila Indonesia memaksakan diri menjadi tuan rumah konperensi APEC dan WTO yang sedang mempromosikan ekonomi rantai pasokan. Di lain pihak tidak kelihatan adanya rumusan-rumusan dari Indonesia sendiri yang membela kepentingan nasionalnya yang khusus, yaitu sebagai negara penghasil bahan mentah, sebagai negara agraris dan sumberdaya alam, yang berkehendak memajukan sektor-sektor tersebut agar bisa menjadi negara pengolah bahan mentah. Agar bisa kesana, Indonesia memerlukan kebijakan industrial yang kuat disertai oleh program reforma agraria yang juga kuat, yang memerlukan campur-tangan Negara yang juga kuat dalam menjalankan kebijakan-kebijakan tersebut. Dalam hal ini yang justru dibutuhkan adalah adanya policy space (ruang kebijakan) yang lebar dan luas di dalam negeri, yang untuk ini tidak harus bersesuaian dengan rezim liberalisasi perdagangan bebas APEC dan WTO yang justru mempersempit dan menutup ‘policy space’ tersebut.

Demikian pula bila kita melihat program pemerintah dalam MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dengan jangka waktu tahun 2011-2025, yang sebenarnya hanya ditujukan bagi menjawab masalah-masalah logistik dan distribusi dari ekonomi rantai pasokan global. MP3EI lebih berfokus pada program pencarian nilai tambah di dalam keseluruhan industri rantai nilai, yang terkait dengan jaringan komoditas global dan regional. Hal ini juga merupakan satu bagian saja, disamping bagian lainnya dari MP3EI berupa pengembangan wilayah (Koridor) dan pembangunan infrastruktur serta kapasitas logistik. Secara umum, MP3EI adalah sebuah disain rantai nilai/pasokan, yang merupakan keharusan dalam skema globalisasi sekarang. Permasalahannya adalah apakah posisi Indonesia hanya menjadi sub-bagian saja dari rantai nilai global atau menjadi bagian otonom yang mampu menjalankan kepentingan-kepentingan pembangunan industri nasionalnya? Nampaknya, MP3EI ada di posisi pertama, yaitu menjadi sub-bagian saja, dan tidak mengedepankan kepentingan perekonomian nasionalnya, apalagi pembangunan industrialnya. MP3EI hanya menjadi bagian pemasok bahan-bahan mentah dan komoditas pertanian (di bagian hulu) untuk industri-industri di luar, serta menjadi pasar bagi barang-barang jadi dari industri luar (hilir). Nilai tambah yang dimaksudkannya masihlah di tingkat komoditas mentah atau setengah jadi, bukan sebagai industri pengolah. Inilah yang dimaksudkan Menteri Perdagangan Gita Wiryawan sebagai pengembangan sektor jasa tersebut.

Apa Kepentingan Nasional Indonesia?

Jadi apa yang salah dengan ‘menjadi tuan rumah’ APEC dan WTO? Yang salah adalah tidak adanya kepentingan nasional yang jelas di dalam forum-forum tersebut. Justru yang terjadi adalah menundukkan kembali kepentingan nasional kepada kepentingan global; kepada kepentingan korporasi-korporasi global yang dirayu untuk berinvestasi dan ber’dagang’ di Indonesia dalam kerangka jaringan rantai pasokan global, dengan mengorbankan biaya-biaya pembangunan yang luar biasa besarnya melalui MP3EI yang justru untuk melayani kepentingan global tersebut. Sementara kepentingan nasonal dan rakyat Indonesia sendiri (sebagai pelaku usaha sektor riel di bidang pertanian, perkebunan, pertambangan, kelautan, kehutanan, kerajinan kecil dan industri kecil/menengah) justru diabaikan dan tidak pernah dilindungi oleh pemerintahnya sendiri. Rezim liberalisasi ekonomi Indonesia ini sudah lama mengkhianati amanat konstitusi dengan menggadaikan kedaulatan ekonomi Indonesia kepada ekonomi asing; menggantungkan dirinya kepada utang dan investasi asing; serta menjalankan rezim liberalisasi import besar-besaran yang mematikan petani dan produsen Indonesia sendiri.

Saatnya kembali mengatakan, bahwa yang dibutuhkan Indonesia adalah kemandirian di bidang ekonomi, dengan mengandalkan pada kekuatannya sendiri yang mempunyai kekayaan alam berlimpah, tenaga kerja produktif yang potensial, serta pasar domestik yang besar. Perkuat terlebih dahulu ekonomi dalam negeri, pasar dalam negeri dan sumberdaya manusia Indonesia. Dengan itu ekonomi Indonesia akan bisa melampaui ekonomi-ekonomi Negara-negara lain, dan mampu mengatasi dominasi asing di berbagai bidang. Karenanya sebaiknya kita katakan stop liberalisasi perdagangan APEC dan WTO, dan jalankan program kemandirian nasional sekarang juga !

Richard Balwin, “21st Century Regionalism: Filling the gap between 21st century trade and 20th century trade rules”, Manuscript date April 2011, ERSD-WTO, Geneva, hlm 3, 8.

Lihat di “Bogor Goals "Sedot" Investasi Anggota APEC 2013”, tentang laporan tertulis Puskom Kemendag dalam http://economy.okezone.com/read/2013/04/20/320/794888/redirect, 23 September 2013, 23:00

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun