Mohon tunggu...
bonnie setiawan
bonnie setiawan Mohon Tunggu... -

alumnus ilmu politik FISIP-UI 1980

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

100 Hari Pemerintahan Jokowi: Analisis Kondisi Politik dan Gerakan Relawan

31 Januari 2015   06:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:04 3848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Agenda pembahasan ini dicoba menyajikan secara ringkas analisa kondisi faktual Masyarakat Indonesia dan Politik Indonesia pasca kemenangan Jokowi-JK. Butir-butir pembahasan mencakup:

i.          Konstelasi politik dalam struktur kekuasaan ekonomi-politik Negara, terutama dalam lembaga legislatif dan Eksekutif

ii.         Arah politik dari partai-partai politik ke depan (KIH vs KMP)

iii.         Kecenderungan arah politik organisasi non-partai dan organisasi rakyat

iv.        Masa depan organisasi dan gerakan relawan

v.         Arah Perkembangan Geopolitik Internasional

***

I.Konstelasi politik dalam struktur kekuasaan ekonomi-politik Negara, terutama dalam lembaga legislatif dan Eksekutif

Pemerintahan Jokowi-JK yang kini menapak kepada 100 hari pemerintahannya, merupakan bagian dari transisi kepada pemerintahan yang menolak rezim neo-liberal serta menegaskan prinsipnya atas paham nasionalisme dan demokrasi sebagai prasyarat bagi dibangunnya Indonesia baru yang lebih baik. Pemerintahan Jokowi-JK adalah sebuah rezim baru yang bukan kelanjutan dari rezim SBY-Budiono yang sepenuhnya neo-liberal. Pemerintahan Jokowi-JK dengan dasar pandangannya mengenai Trisakti dan penerapannya dalam Nawa-Cita, adalah sebuah upaya baru dari sebuah pemerintahan yang nasionalistis dan juga demokratis. Hal ini sesuai dengan pokok-pokok pandangan yang juga disampaikan oleh Seknas Jokowi dalam “Jalan Kemandirian Bangsa”.

Akan tetapi pemerintahan Jokowi-JK dan kabinet yang disusunnya, dalam kenyataannya tidaklah bisa lepas dari rezim ekonomi-politik lama (Orba). Konteks Jokowi-JK tidaklah berdiri dalam ruang yang kosong, tetapi berasal dari bangunan ekonomi-politik yang lama. Karenanya tidak heran bahwa komposisi kabinet mencerminkan hal tersebut. Ini mengakibatkan kekecewaan di kalangan pendukung Jokowi dan masyarakat. Hanya Jokowi nampaknya yang benar-benar ‘firm’ dengan garis Trisakti dan Nawa-Cita. Sementara para menteri, bisa terbagi dua. Di satu pihak, golongan menteri yang seirama dan seide dengan Jokowi sebagai “pembaharu” (reformer) politik. Di lain pihak, adalah golongan menteri yang merupakan bagian dari ekonomi-politik oligarki lama (Orba), dengan kepentingan dan budaya politik rentenya.

Negara dengan sendirinya terdiri dari percampuran kedua golongan tersebut, dalam sebuah upaya transisi ke depan yang tidak mudah. Belum lagi bahwa pertentangan politik dalam Pemilu 2014 antara dua kandidat presiden (Prabowo dan Jokowi) nyatanya berlanjut sampai saat ini, yaitu antara Kelompok Merah Putih (KMP) pendukung Prabowo dengan Kelompok Indonesia Hebat (KIH) pendukung Jokowi, yang sangat nyata terlihat dalam konflik-konflik di parlemen. KMP adalah cerminan dari warisan fasis-militeris Orba yang sudah out-of-date tetapi masih kelihatan sangat kuat karena ekonomi-politiknya senyatanya juga masih kuat warisan Orba. Kekuatan mereka dibuktikan dengan dimonopolinya kepemimpinan parlemen (DPR dan MPR) oleh KMP, yang menyebabkan sulitnya posisi pemerintah dalam menghadapi manuver-manuver legislatif, terutama dalam hal-hal yang menyangkut konsultasi dan persetujuan DPR dalam hal anggaran, UU dan pengangkatan jabatan-jabatan strategis tertentu.

Hal inilah yang mewarnai berbagai hal hingga 100 hari pemerintahan Jokowi-JK. Bisa dicatat adanya tindakan dan kebijakan pembaharuan yang senapas dengan Trisakti, seperti yang dijalankan oleh menteri Perikanan dan Kelautan, Susi Pudjiastuti; menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri; menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo; menteri Bappenas dan PPN, Andrinof Chaniago; menteri Luar negeri, Retno Lestari; dan menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan. Sementara itu kita juga melihat menteri-menteri yang nampaknya masih mengidap langgam politik lama, seperti menteri BUMN, Rini Suwandi; menko Perekonomian Sofyan Jalil; menteri agraria dan tata-ruang Ferry Mursyidan Baldan dan menko Polhukam Eddy Tejo Purdijanto. Di lain pihak adanya menteri-menteri yang membawa aspirasi yang sebenarnya bertentangan dengan Trisakti, yaitu membawa nafas liberalisme seperti menteri ESDM, Sudirman Said dan menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Masih ditunggu tindakan menteri-menteri lain yang nampaknya masih pasif dan tidak aktif. Kebijakan dan tindakan yang bertabrakan dengan Trisakti sesungguhnya membahayakan dan mensabotase program-program Nawa-Cita Jokowi ke depan.

Pertentangan yang semakin nampak dalam transisi ekonomi-politik ini adalah kasus KPK versus Kepolisian dan PDIP di satu pihak, dan DPR di lain pihak. Dan Jokowi terjebak ditengah-tengahnya. Kesemrawutan konflik ini berasal dari praktek-praktek koruptif yang terus-menerus dilindungi hingga kini oleh berbagai pihak, karena pihak-pihak tersebut juga melakukan praktek-praktek rente dan korupsi yang berkembang-biak. Korupsi sebenarnya adalah sebuah isu yang menjadi titik temu dari berbagai ketegangan kepentingan dari banyak pihak, sehingga isu anti-korupsi sebenarnya menjadi isu strategis yang diperlukan berbagai kekuatan demokratis.

Dengan demikian ekonomi-politik korupsi sebenanya mencerminkan ekonomi-politik rezim lama dan baru. Sayangnya isu korupsi tidak sampai kepada isu penyelewengan para pemilik modal, seperti kasus penggusuran tanah di Karawang atau di pegunungan Kendeng. Juga tidak menyentuh kepada keberadaan Freeport di Papua ataupun kekerasan mematikan atas anak-muda Papua di Paniai. Dalam hal ini, Jokowi kembali terjebak di dalamnya dan tidak mampu berdiri sebagai figur presiden yang didambakan rakyatnya.

II.Arah politik dari partai-partai politik ke depan (KIH vs KMP)

Dengan melihat pertentangan-pertentangan yang hiruk-pikuk di parlemen sampai sekarang, serta kompromi terakhir atas UU Pilkada Langsung, dapat dikatakan bahwa sebenarnya pertentangan-pertentangan tersebut berasal dari orang-orang yang sama yang berasal dari rezim yang sama juga. Hampir kebanyakan 10 partai-partai politik peserta pemilu 2014 berasal dari oligarki rezim Orba dengan budaya politik dan praktek rente yang sama. Bahwa KMP adalah representasi fasis-militeris, sementara KIH adalah representasi modernis-liberalis, yang mengakibatkan konflik-konflik spesifik diantara mereka. Tetapi pertentangan di antara mereka bukanlah pertentangan utama, karena sesungguhnya berasal dari kubu yang sama juga. Kini dalam masa transisi ke Indonesia baru, pertentangan-pertentangan tersebut sebenarnya bisa diakomodasikan. Justru yang tidak bisa diakomodir dan akan menimbulkan konflik serius, adalah antara kubu Jokowi dengan rezim lama tersebut. Dan karena itulah, konflik KPK-Kepolisian sekarang ataupun kekerasan di Papua oleh pihak tentara, adalah sinyal dari ketidaksetujuan sebagian besar anasir rezim lama atas proyek transisi Jokowi kepada nasionalisme baru Trisakti. Inilah yang kiranya patut diperhatikan dengan seksama oleh kita semua.

Presiden Jokowi akan segera menghadapi ketidaksetujuan dan protes diam-diam, bahkan juga sabotase dan intrik, dari para birokrat Orba yang telah menikmati privilese yang begitu lama, penguasa-penguasa militer dan polisi yang tidak tersentuh oleh KPK, ataupun oligarki partai-partai politik rezim lama yang menikmati semua kebijakan dan praktek rente Negara. Hal ini yang akan terus tercermin dalam dinamika di parlemen, serta dalam hiruk-pikuk berbagai kasus yang akan timbul tenggelam setiap saat pada pemerintahan Jokowi-JK. Akibatnya bisa saja pemerintahan menjadi tidak efektif dalam menjalankan Trisakti dan Nawa-Cita, karena gangguan-gangguan tersebut. Dan inilah yang sebenarnya menjadi ancaman riil bagi Presiden Jokowi.

III.Kecenderungan arah politik organisasi non-partai dan organisasi rakyat

Berbagai organisasi masyarakat sipil, kalangan profesi, pengusaha kecil dan menengah, hingga organisasi-organisasi rakyat dari petani, buruh, nelayan dan masyarakat adat, semuanya menunggu kebijakan-kebijakan yang mendasar dari pemerintahan Jokowi-JK yang segaris dengan Trisakti dan Nawa-Cita. Tentulah masih terlalu awal untuk bisa melihat gerak langkah pemerintahan baru ini. Kecenderungan-keenderungan yang terjadi sebagaimana analisa di atas memperlihatkan bahwa tanpa adanya kesatuan Jokowi dengan kekuatan-kekuatan masyarakat yang riil, maka Jokowi akan dapat diombang-ambingkan oleh lingkaran anasir-anasir rezim lama Orba di dalam pemerintahannya sendiri, dan terjepit di dalam berbagai kepentingan yang bermain di tingkatan elit saja.

Dari sejak Pemilu 2014, terlihat sekali bagaimana masyarakat luas bersikap keras atas berbagai isu ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Demikian pula masyarakat luas sangat mendambakan adanya nasionalisme yang nyata dan bekerja demi mereka. Akibat-akibat praktek neo-liberalisme dalam rezim SBY-Budiono, menyebabkan Indonesia yang semakin terpuruk, dan sebagian besar rakyat semakin miskin dan menderita, sebagaimana tercermin dalam indeks Gini yang semakin parah. Karenanya rakyat tidak mau lagi dibohongi, dan memilih hanya dua kandidat yang kedua-duanya menyuarakan isu-isu anti-liberalisme dan nasionalisme Trisakti dari Bung Karno. Inilah sebenarnya aspirasi dasar dari masyarakat sekarang. Karenanya kekecewaan rakyat saat ini, tidak akan jauh dari isu-isu keadilan sosial dan nasionalisme. Dan inilah yang harus segera dijawab oleh pemerintahan baru.

IV.Masa depan organisasi dan gerakan relawan

Kosakata relawan sendiri adalah sebuah fenomena baru yang lahir semenjak hadirnya Jokowi dalam politik Indonesia. Relawan sebenarnya adalah representasi kelompok-kelompok kelas menengah yang tidak puas dengan berbagai ketidakadilan sosial dan terpuruknya Indonesia oleh proses liberalisme dan globalisasi. Karenanya kelas menengah sebenarnya juga bereaksi sama sebagaimana kelompok-kelompok dan organisasi masyarakat lainnya seperti diatas. Bedanya kelas menengah mampu mengorganisasikan dirinya lebih baik, menyampaikan pandangannya lebih artikulatif, dan menyuarakan pesan-pesannya dengan lebih beragam dengan menggunakan berbagai perangkat mutakhir, termasuk melalui beragam media sosial. Relawan sebenarnya perluasan dari kelompok-kelompok masyarakat sipil yang muncul dalam melawan rezim Orba, yang direpresentasikan oleh gerakan mahasiswa, ornop-ornop (LSM) dan organisasi-organisasi rakyat.

Seknas Jokowi adalah bagian dari gerakan relawan ini. Dan terbukti bahwa gerakan relawan seperti Seknas Jokowi mampu memainkan peran yang lebih besar dari kelompok-kelompok politik tradisional. Karenanya gerakan relawan akan tetap memainkan peran penting dalam pemerintahan Jokowi, karena Jokowi sebenarnya identik dengan gerakan relawan. Bahkan gerakan relawan sebenarnya tidak disukai oleh anasir-anasir rezim lama, karena relawan tidak dapat dikontrol dan tidak dapat dikendalikan oleh mereka.

Kiranya cukup mengherankan bahwa relawan tidak cukup dirangkul oleh Jokowi setelah menjadi presiden. Hal ini menimbulkan pertanyaan tersendiri. Tulang punggung Jokowi sebenarnya adalah gerakan relawan, dan keberhasilan pemerintahan Jokowi dengan sendirinya adalah dengan mengakomodasikan gerakan relawan sebagai bagian dari pemerintahannya. Yang dimaksud bagian dari pemerintahannya, adalah orang-orangnya dapat sebagai bagian langsung di dalam pemerintahannya ataupun sebagai kolaborator kritis di sampingnya. Jokowi kelihatannya menyadari hal ini, akan tetapi tidak mau terburu-buru menjalankannya akibat gesekan dan ketidaksukaan yang jelas antara para oligarki partai politik dengan para relawan. Ucapan Menko Polhukam mencerminkan hal ini, “Rakyat yang tidak jelas.”

Posisi gerakan relawan pasca Pemilu tentulah jauh berbeda dengan ketika masa Pemilu. Dan itulah sebenarnya yang harus terjadi. Relawan harus masuk menjadi bagian dari pemerintahan baru serta menjadi pendamping dan pengawal dari program-program Trisakti dan Nawa-Cita pemerintahan.  Apakah dengan demikian relawan kehilangan independensinya? Tentu saja tidak. Karena agenda memperjuangkan kemenangan Jokowi adalah satu bagian dengan agenda menjadikan pemerintahannya menjadi pemerintahan rakyat yang adil, demokratis dan nasionalis. Dan untuk itu orang-per-orang di dalam relawan harus masuk memperkuat pemerintahan Jokowi maupun mengawalnya. Itu adalah konsekuensi sejak awal. Justru aneh bila relawan kemudian pergi menyingkir dari Jokowi atau menjadi oposisi.

V.Arah Perkembangan Geopolitik Internasional

Pemerintahan Jokowi persis berada di dalam perubahan yang fundamental dari geo-politik global. Sejak Desember 2014, Tiongkok menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia menggeser Amerika. Hal ini yang sudah diprediksi oleh dunia, menyebabkan medan ketegangan geo-politik akan bergeser ke Asia Pasifik. Dan ini ditandai oleh bergesernya 60% kekuatan militer Amerika ke kawasan Asia Pasifik. Pertentangan utama kini terjadi antara Tiongkok (dan Rusia) dengan Amerika (dan Eropa). Tiongkok yang menyadari kini sebagai kekuatan utama dunia, mulai memperlihatkan giginya, lewat kepentingan maritimnya atas kawasan Laut Cina Selatan dan Jalur Sutra Maritim. Tiongkok dan Rusia juga semakin dekat, terutama lewat Shanghai Cooperation Organization (SCO) ataupun menandingi peran Bank Dunia dan IMF dengan inisiatif keuangan baru. Dan terpenting juga, kini Tiongkok menjadi kekuatan industri dan perdagangan utama dunia, dimana sebagian besar industri dunia berpusat dan diproduksi di Tiongkok. Demikian pula BRICS kini menjadi kekuatan dunia yang kuat, yang akan menjadi alternatif dari dunia lama (OECD ataupun G-8).

Di lain pihak perlu diwaspadai agresivitas Amerika yang merasa terancam karena digeser oleh Tiongkok, sehingga kini memusatkan perhatiannya pada Asia dan musuhnya tersebut. Perlu disimak adanya 13 basis militer Amerika yang mengelilingi kepulauan Indonesia, sejak dari Diego Garcia dan Christmas Island di Samudera Hindia, lalu di PNG dan Darwin di Australia, hingga Filipina dan Singapura di ASEAN. Demikian pula dengan menggunakan senjata instrumen keuangan dan minyak dunia yang dapat membuat ketidakstabilan global. Apalagi kepentingan Amerika dalam penguasaan pertambangan dan migas di Indonesia sangatlah besar dan tentu tidak mau dikurangi.

Indonesia tepat ada di tengah-tengah pertarungan geo-politik global tersebut. Karenanya naiknya Jokowi dan program-program berlandaskan Trisakti, lewat Nawa-Cita, Revolusi Mental, dan Poros Maritim Dunia adalah tepat waktu dan sesuai dengan perkembangan global. Karenanya semua program-program Jokowi tersebut haruslah dijalankan oleh orang-orang yang berideologi Trisakti. Yang terjadi sekarang adalah kebalikannya. Demikian pula tuntutan untuk mengawal program-program Nawa-Cita ini agar tetap di jalurnya dan konsisten sangatlah besar. Dan itu hanya bisa terwujud bila Jokowi dan relawan bisa bersatu-padu.

VI.Kesimpulan

Tidak bisa lain, kita harus menyimpulkan bahwa Jokowi harus terus dikawal. Bukan saja karena Jokowi sendirian selama ini di dalam pemerintahannya, tetapi juga karena anasir-anasir rezim lama (oligarki Orba) dan kaum liberalisme masihlah aktif dan terus merangsek masuk ke dalam pemerintahannya. Akibatnya, seperti yang sudah kita lihat bersama, menyebabkan posisi Jokowi terjepit dan terjebak dalam permainan dan batasan-batasan yang mereka buat. Agenda kaum oligarki rente dan Liberalis adalah sama, yaitu menguasai kekuasaan, siapapun presidennya. Mereka tidak menyukai Jokowi, dan mereka akan terus mencoba menguasainya untuk kepentingan-kepentingan mereka, serta menjauhkan Jokowi dari para pendukungnya dan relawannya. Mereka akan menjalankan pseudo-Trisakti dan menyelewengkan program-program Nawa-Cita. Dan itu ancaman yang nyata.

Jelas bagi Relawan, gerakan rakyat dan gerakan masyarakat sipil, bagaimana harus bersikap menghadapi semua ini. Satukan langkah menghadang kekuatan kaum oligarki rente dan liberalis. Kita harus bermain di semua lini, semua fron, semua tempat, untuk memperkuat posisi kita. Terus kawal Jokowi, ada disamping Jokowi, bersama-sama dengan Jokowi, mendukung kebijakannya yang baik dan mengkritik kebijakannya yang keliru. Relawan juga harus semakin kuat sebagai organisasi. Tidak bisa lagi sebagai “relawan”, tapi harus sebagai “full-timer” di banyak tugas dan posisi. Menghadang oligarki tidaklah bisa kecil-kecil dan sampingan, tapi harus besar, kuat dan terorganisir.

* Presentasi disampaikan pada Seminar dan Rakernas Seknas Jokowi, “Mengawal Nawa Cita”, di Jakarta, 29 Januari 2015. Penulis adalah Anggota Tim Ahli Seknas Jokowi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun