Tulisan ini adalah opini, jadi memang bersifat subyektif, selebihnya hanyalah jawaban pertanyaan : masuk akal atau tidak (make sense) ?
Banjir di Jakarta
Dibilang, Jakarta masih banjir, masih macet , Jokowi “keukeuh” nyapres.
Kalau PDIP atau salah satu partai lain peserta pemilu, tidak ada yang mengusung Jokowiuntuk menjadi capres, maka pada pemilu presiden 2014, tak ada lagi yang bisa mengusung Jokowi nyapres, sekalipun terdengar kuat sebagian masyarakat menginginkan Jokowi menjadi presiden. Atau bahkan seandainya secara pribadi Jokowi berambisi menjadi Presiden, maka hasrat itupun sangat tak masuk akal.
Masalah banjir di BATAVIA, yang sekarang telah bernama JAKARTA, sebenarnya adalah “penyakit kronis” , yang dihadapi sejak masa kolonial Belanda saat itu, sampai sekarang setelah INDONESIA merdeka dan berusia 69 tahun.
Yang terjadi setiap kali banjir, “korban” banjir dibantaran sungai menjadi “berita hangat” termasuk pejabat yang datang , karena merasa perlu membangun citra. Tidak 100% salah, tetapi tidak menyelesaikan masalah.
Sementara keseimbangan lingkungan , daerah hulu sungai ciliwung yang terletak di dua gunung di Jawa Barat Kabupaten Bogor, yaitu gunung Gede dan gunung Pangrango, kondisinya semakin buruk. Mulai dari pembangunan villa di tempat yang salah, juga semakin berkurangnya daerah hijau serapan air, sampai kerusakan di Daerah Aliran Sungai (DAS) .
Sekalipun di DKI Jakarta , hunian liar di bantaran sungai digusur, hunian liar di waduk digusur, menurut saya , pasti banjir di DKI Jakarta belum dapat “sembuh” . ( Catatan : Jokowi tidak menggusur, melainkan menggeser (relokasi) ke Rusun, dan memang belum semua terrelokasi , karena Rusun juga masih perlu ditambah.)
Demikian juga , ide “sodetan Ciliwung –Cisadane” , terakhir ide tsb ditangguhkan oleh Jokowi, karena kalau menurut sayapun, sodetan ciliwung cisadane, untuk saat ini bukan cara penyelesaian yang bisa dijamin “tuntas”. Mengapa ??? .Karena Ciliwung dan Cisadane adalah 2 sungai yang hulunya berada dalam satu wilayah. Hulu Ciliwung berada di 2 gunung , yaitu Gunung Gede dan Pangrango, sementara hulu Cisadane berada di 2 gunung, yaitu Gunung Pangrango dan gunung Salak. Ketiga gunung ini “bertetangga” .Sehingga kemungkinan curah hujan dan “saat” hujan , relatif sama. Jadi ide sodetan untuk 2 sungai, dengan kemungkinan “tinggi muka air” yang relatif sama pada waktu yang juga sama (berbarengan) , sangat mungkin tidak akan efektif.
Berapa sungai mengalir di Jakarta, Silahkan hitung sendiri.
Sumber : http://pro-metropolitika.blogspot.com/2013/01/jakarta-dikepung-13-sungai-1.html
“13 sungai atau kali yangmelewati Jakarta adalah Kali Mookevart (di pinggir Jalan Daan Mogot, sebagian besar melintasibarat Jakarta), Kali Angke (melintasi wilayah selatan dan barat Jakarta), Pesanggrahan(melintasi wilayah selatan dan barat), dan Grogol (selatan dan barat), Krukut (selatan, tengah), Baru Barat (tengah), Ciliwung (selatan, timur, dan tengah), Baru Timur (tengah, selatan, dan timur), Cipinang (timur dan tengah), Sunter(timur dan tengah), Buaran (timur), Jatikramat (timur), dan Kali Cakung (timur).
Kali atau sungai-sungaiitu pada akhirnya bermuara di teluk Jakarta. Ada yang langsung sampai ke laut, ada pula yang harus terhubung dengan Kanal BanjirBarat, Kanal Banjir Timur, Cengkareng Drain, dan Cakung Drain.
Sungai-sungai tersebut selain berada di wilayah Jakarta, juga melintasi wilayah Jawa Barat (Kab/Kota Bogor, Kota Depok, Kab/Kota Bekasi), dan Banten (Kab/Kota Tangerang).
Dalam Buku Pedoman Siaga Banjir Provinsi DKI Jakarta disebutkan, jumlah itu tidak termasuk kali-kali kecil seperti Kali Kreo, Kali Meruya, Ulujami, Tanjungan, Kamal, Sekretaris (barat Jakarta), Ciragil, Mampang, Cideng, Pasarminggu, Bata, Bukitduri, Surabaya, Gresik, Muaraangke, Besar, Cibubur , Pakin, Mati, dan Muarakarang (tengah Jakarta), serta Kali Utan Kayu, Sentiong, Pademangan barat, Pademangan timur, Lagoa, Koja, Pinang, Cakung Lama, dan Kali Petukangan,di timur Jakarta.”
Hal yang mempersulit usaha mengatasi banjir, juga disebabkan kondisi gorong gorong, yang konon berisi jaringan kabel dari berbagai instansi, dimana hal ini mengurangi kemampuan gorong gorong menyalurkan air. Tidak hanya jaringan kabel, sampah yang terbawa air masuk kedalam gorong gorong semakin mengurangi kemampuan fungsi gorong gorong, diperparah dengan pemeliharaan dan pembersihan gorong gorong yang belum maksimal, menyebabkan Daerah Tergenang di Jakarta , masih tetap ada.
Jadi sangat jelas , bahwa banjir di Jakarta tak akan selesai dan mampu diselesaikan hanya oleh Pemda Pemprov DKI Jakarta. Karena, air yang masuk ke sungai dan melewati Jakarta terkait dengan pemda / pemprov Jawa Barat dan Pemprov Banten. So what ?
MACET DI JAKARTA.
Soal macet, agar lebih singkat, langsung saja , apa penyebab kemacetan di Jakarta ??
“Jumlah kendaraan pribadi” dibanding“Jumlah Angkutan Umum” dibanding “Panjang Jalan”, tidak proporsional.
Kebijakan Pemerintah Pusat yang tak sejalan dengan kemacetan DKI Jakarta yaitu : Mobil murah (bebas PPnBM) konsumsi rendah BBM, semakin memacu kemacetan di Jakarta. Hampir separuh penjualan mobil di Indonesia (sekitar 40%), dijual di DKI Jakarta.
Project Public transport di DKI Jakarta yang tak kunjung berjalan, seperti MRT, Monorail, dan Jalur Busway yang tak steril, sebelum masa bakti Jokowi Ahok menyebabkan penyakit ini kronis, membentuk pola pergerakan masyarakat bergantung pada kendaraan pribadi semakin kental dan memerlukan waktu lebih lama untuk mencairkan, agar mau berubah untukmenggunakan publik transport.
Selain kendaraan pribadi milik penduduk Jakarta, terdapat beban tambahan jumlah kendaraan pribadi dari daerah sekitar Jakarta (Bodetabek).
Opini saya :
Menambah panjang jalan ( diluar jalur jalan MRT, Monoril ) , adalah paling sulit dan tak efektif.
Yang paling bisa dilakukan ( dalam kewenangan Pemprov DKI ) adalah , MRT, Monoril, sterilisasi jalur Busway ( sementara akan berakibat bertambah macet, tetapi memaksa pemakai kendaraan pribadi berpikir ulang untuk alternatif menggunakan “kendaraan Umum “) , penerapan ERP ( belum dijalankan) , Pajak Kendaraan bermotor pribadi progresif, dll.
Selain sterilisasi jalur busway, pemprov DKI Jakarta telah mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) yang lain , seperti membebaskan okupasi jalan raya oleh PKL (Pedagang Kaki lima), dengan menggeser PKL kedalam pasar, yaitu di Tanah Abang dan Pasar Minggu. Selanjutnya, tentu para walikota bisa meneruskan program yang sama dimasing masing wilayahnya, setelah 2 contoh yang dibidani oleh JokoHok.
Yang telah terbantu dari pihak lain adalah adanya “KRL” Jabodetabek yang relatiftelah sangat membaik, kecuali pada satu hal , kapasitas daya angkut tersedia , khususnya pada jam berangkat dan pulang kerja. Dalam hal ini PT KAI Persero harus mendapat acungan jempol. Rasanya harus 2 jari jempol untuk PT KAI.
Intinya , solusi masalah macet di DKI Jakarta ( Juga kota besar lainnya ) adalah transportasi umum / Public Transport. Secara umum dapat dikatakan bahwa, misal kebijakan pemerintah pusat seperti mobil murah hemat energi boleh diberi insentif ( tetapi bukan bebas pajak – karena pendapatan Pajak adalah hak untuk dikembalikan ke seluruh rakyat ) misal insentif atas pencapaian hasil ekspor, insentif pembuatan sarana pengolahan limbah, dll. Masalah produksi mobil pribadi adalah lebih dominan masalah bisnis secara umum, sebaliknya masalah pembangunan Public Transport memang membutuhkan keterlibatan pemerintah daerahdan pemerintah pusat bersama-sama.Pemerintah pusat dapat membantu mengurangi beban dampak kemacetan di DKI Jakarta dan kota besar lainnya, , yaitu mulai dari kebijakan industri, pembangunan infrastruktur, penyebaran pembangunan sentra industri, dlsbnya.
Jadi kemacetan Jakarta , selain dipengaruhi kebijakan pemerintah pusat, juga terpengaruh oleh adanya kendaran pribadi dari Pemda Pemprov tetangga yang masuk dan menambah beban jalan di DKI Jakarta.
Masalah kemacetan DKI Jakarta, akan menjadi jauh lebih mudah terselesaikan bila kebijakan Pemerintah Pusat dan kebijakan Pemprov DKI Jakarta adalah sejalan, mempunyai arah yang sama. Dan juga ada kerja sama,untuk masalah publik transport bersama Pemda dari Pemprov tetangga.
Apakah bila Jokowi terpilih jadi presiden, dan Basuki Ahok meneruskan menjadi gubernur DKI Jakarta, akankah persoalan Banjir dan macet DKI Jakarta menjadi lebih mudah diselesaikan.
Bila sejatinya masalah banjir dan macet di Jakarta, bukan semata-mata murni disebabkan oleh DKI Jakarta dan diderita oleh DKI Jakarta, melainkan terkait dengan kebijakan pemerintah pusat dan 2 pemprov tetangga, maka bila Jokowi benar terpilih menjadi Presiden, maka masalah banjir dan macet di DKI Jakarta , logikanya menjadi lebih mudah , mengingat Jokowi sangat memahami permasalahan banjir dan macet Jakarta secara komprehensive.
So, seyogyanya penduduk DKI Jakarta ( hanya yang benar2 penduduk DKI Jakarta – karena mungkin yang khawatir justru bukan penduduk Jakarta ) , sekali lagi hanya penduduk DKI Jakarta, tidak khawatir Jokowi nyapres dan melupakan DKI Jakarta, sebaliknya timbul harapan baru dan semakin optimis banjir dan macet di Jakarta akan lebih cepat terselesaikan karena terbantu oleh seorang presiden yang memahami jakarta dengan sangat baik.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H