Mohon tunggu...
Edo Hendra Kusuma
Edo Hendra Kusuma Mohon Tunggu... Human Resources - Presiden of Asean Studies Forum

Teacher

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Eksplorasi Awal Membaca Potensi Konflik di Kabupaten Lahat

9 Juni 2020   21:51 Diperbarui: 9 Juni 2020   22:57 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai wilayah yang besar, terdiri dari 360 Desa, 18 Kelurahan, 24 Kecamatan, jumlah masyarakat 427.320 jiwa (BPS 2017), menceriminkan keberagaman kehidupan yang ada di Kabupaten Lahat. Satu sisi besarnya wilayah, potensi daerah, dan budaya merupakan sebagai karunia yang harus disyukuri. Namun, Sisi lainnya, juga berpotensi menimbulkan konflik (Johni Najwan).

Dari perspektif sosial, konflik tidak dapat dihindari pada aktivitas kehidupan yang beragam. Jenis-jenis konflik yang akan timbul dari keberagaman kehidupan tersebut begitu banyak, diantaranya konflik agrari dan konflik agama. 

Sosiolog Thamrin Awal Tomangula saat diwawancara oleh Berita Satu jelang Pilpres-Pilkada 2014 mengatakan, salah satu wilayah yang mempunyai akar konflik agraria hasil dari pemetaan adalah Sumatera Selatan.

Dalam dua tahun terakhir, setidaknya ada dua kasus konflik agraria yang disebabkan perebutan tanah antara masyarakat dan perusahaan, implikasi dari kasus tersebut mengakibatkan dua orang meninggal dunia.

Sementara itu, implikasi dari penistaan agama yang terjadi di Jakarta, sengitnya persaingan pada Pilpres 2019, membuka Buterfly effect yang tidak melihat batas, dan juga tiba di Kabupaten Lahat. 

Peristiwa "Alung", salah seorang penduduk di Kabupaten Lahat, membuat komentar kepada salah satu ulama, dengan konotasi negatif, yang membuat salah satu golongan tidak terima ber-implikasi pada terjadinya "Potensi" konflik antar umat beragam. 

Dari perspektif Intelijen dalam pembedahan soal konflik bukan hanya memperlajari sebab akibat konflik, niscaya memakan waktu (Hendropriyono). Oleh karena itu, yang diperlukan adalah bagaimana konflik itu segara bisa dikendalikan dan diselesaikan secara damai dan bijaksana, agar tidak menimbulkan dis-integrasi sosial dalam kehidupan masyarakat (Paul Bohannan).

Saat pecahnya konflik beragama di Poso, bermula dari perebutan jabatan bupati berakhir kepada konflik beragama. Menarik untuk menyelami akar konflik tersebut, sebagai satu fakta sebelum konflik terjadi, keharmonisan antar umat beragama amat baik, sebagaimana ungkapan Daltin Tamalagi, Sosiolog dari Universitas Tanduloka dalam wawancara bersama Tempo, "Selama puluhan tahun warga muslim dan non muslim awalnya hidup berdampingan dan damai".

Fakta tersebut, gugur saat pecahnya konflik beragama di poso, KH. Yahya Al-Amiri ulama kharismatik dari Poso, melalui Tempo dirinya mengatakan, "Akarnya adalah perebutan elite politik lokal untuk memegang tampuk pimpinan daerah, untuk mewujudkan keinginan mereka lalu meraka menggunakan umat agama sebagai sarana. 

Konflik "Poso" adalah duka kita bersama, konflik politik yang berubah menjadi sangat personal yang membeberkan kepedihan, dan penderitaan. Akhir dari konflik tersebut, adalah perdamaian. 

Bahwa dalam setiap konflik yang terjadi pasti mempunyai sebab, dan Jeda. Sebab adalah akar persoalan, dan jeda adalah pendekatan penyelesaian. 

Kasus Poso, sebelum pertikaian beragama meluas, yang menjadi sebab adalah perebutan kekuasaan. Sempat mereda saat dalang konflik ditangkap, namun berulang kembali saat pemuda kristen yang sedang mabuk memukul penjaga masjid, imbas dari persoalan tersebut membuka multi effect yang akhirnya meluas bukan lagi pada tataran konflik kekuasaan namun pada konflik agama, yaitu Islam dan Kristen.

Adnan Arsal panglima poso dari kelompok Islam dalam wawancarnya di dalam salah satu kanal youtube, mengatakan bahwa peluang konflik saat itu tidak sampai kepada konflik beragama sangat mungkin terjadi, akan tetapi penyelesaian konflik  yang tidak tuntas terutama persoalan penegakan keadilan hukum baik dari umat Islam maupun Kristen, menjadi jalan terbuka untuk gelombang kedua dari konflik tersebut terjadi.

Dalam setiap konflik tentu terdapat sebuah pola termasuk dalam konflik poso, dimulai oleh konflik kekuasaan, berimbas kepada konflik yang lebih personal, dan mengalami Jeda, dalam hal ini adalah masa yang genting apabila penanganan tidak sampai selesai maka akan berlanjut kepada konflik serupa yang lebih besar dan berakhir kepada konflik beragama. Pola, tersebut tidak hanya terjadi di Poso, semisal di Khasmir, Mindanao, dan juga Patani. 

Hasil pembacaan penulis saat ini Gejala konflik dengan pola yang sama saat konflik di Poso samar-samar sedang terjadi di Kabupaten Lahat . Proses Alung, menjadi pandora box. Kehati-hatian dan penanganan yang rigit patutnya menjadi perhatian khusus. memang diperlukan penelitian lebih mendalam soal apakah benar posisi gejala tersebut sedang berada di fase "Jeda" dalam masyarakat Lahat. namun, patut juga sebagai pertimbangan tulisan ini menjadi Wake Up Call kita semuanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun